Lima Langkah Menuju Tafsir Mawdlui
8 mins read

Lima Langkah Menuju Tafsir Mawdlui

Tafsir Mawdlui secara bahasa adalah terdiri dari susunan dua kata yaitu Tafsir artinya penjelasan atau menjelaskan dan Mawdluiy (موضوعي) yang artinya adalah yang berbentuk tema. Dari makna bahasa ini dikembangkan bahwa Tafsir Mawdlui adalah metode penulisan tafsir untuk membahas atau menjelaskan satu tema (mawdlu) tertentu dengan mengumpulkan hasil analisis ayat-ayat tertentu dalam al-Qur’an yang masih dalam satu tema atau satu pembahasan dan hasil dari setiap ayat tersebut disusun secara sistematis sesuai dengan hal yang palin dasar, mulai arti tema (mawdlu), rukun tema, syarat tema dan hal-hal lain yang mendukung keutuhan makna tema yang dibahas.  Matode penulisan tafsir ini adalah metode tafsir yang akan memudahkan pembaca untuk memenuhi kebutuhannya dalam mencari hukum Islam dalam al-qur’an akan tetapi metode ini memerlukan waktu yang cukup panjang bagi anda yang menyusunnya karena anda harus memalui beberapa tahapan, yaitu:

  1. Menentukan dan memahami tema (Mawdlu)

Langkah pertama adalah menentukan tema seperti tentang Taufiq, Nikah dan tema lainnya. Disamping menentukan tema, anda harus paham secara komprehensif akan makna tema yang akan dibahas. Hal ini diperlukan untuk menghindari kesalahan menentukan ayat yang akan dijadikan pendukung tema tersebut. Adapun usnur-unsur yang harus diketahui dalam memahami tema adalah sebagaimana dua contoh judul Tafsir Mawdlui berikut:

  1. Konsep Hidayah Perspektif al-Qur’an.

Sebelum menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan tema hidayah, anda harus tahu apa maksud dari hidayah dalam Islam. Bagaimana pendapat ulama tentang konsep hidayah. Karena pembahasan hidayah ini merupakan pembahasan tologi atau akidah, maka anda harus tahu bagaimana pendapat para ulama teologi tentang konsep hidayah dan apakah ada perselisihan dari mereka. Hari ini bertujuan agar anda terhindar dari kesalahan dalam memberikan Kesimpulan makna tema hidayah dalam al-qur’an.

  • Konsep Qital dalam al-qur’an

Sebelum anda menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan tema Qital, anda harus tahu apa maksud dari Qital (perang) dalam Islam. Bagaimana historis tentang perang dalam Islam. Apa yang motif terjadinya peperangan dalam Islam. Karena perang atau Qital ini berkaitan dengan sejarah Islam di masa Rasulullah ﷺ, maka anda harus mempelajari sejarah terkait dengan peperangan di masa Rasulullah ﷺ. Kapan Rasulullah ﷺ diizinkan perang, apa motif Rasulullah ﷺ melakukan peperangan, dengan siapa Rasulullah ﷺ berperang. Semua ini harus dipahami betul oleh anda sebelum melangkah untuk memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan tema perang.

__________________________

Baca Juga

__________________________

Disamping anda memahami historis peperangan di masa Rasulullah ﷺ, anda juga perlu memahami mata rantai pemahaman ulama tentang fikih perang. Karena setiap generasi ulama ada tajdid atau pembaharuan konsep perang yang disesuaikan dengan zamannya. Karena orang kafir zaman sekarang sangat komples dan banyak macamnya. Contoh diantara pemahaman ulama terkait perang adalah membagi lawan perang (orang kafir) menjadi beberapa istilah. Seperti kafir harbi, kafir mu’ahad, kafir musta’man dan kafir lainnya. Dari semua macam kelompok orang kafir hanya orang kafir harbi lah yang boleh diperangi Adapun kafir yang lain dilarang untuk diperangi bahkan diperintahkan untuk dijaga  seperti kafir zimmy.

  • Mencari ayat-ayat atau rangkaian ayat yang mengarah pada pembahasan tema terkait. Sebelum menentukan ayat, anda harus mengetahui dan membedakan makna satu kalimat di satu ayat dan yang terdapat pada kalimat lainnya, khsusunya kalimat-kalimat yang terdapat di ayat-ayat yang dibutuhkan untuk memenuhi kelengkapan pembahasan topik (Mawdlu). Artinya anda harus mengetahui perbedaan makna hakikat dan makna majas, makna kalimat di satu ayat dengan makan kalimat yang sama di ayat yang lain. Seperti makna kalimat hidayah. Hidayah dalam ilmu teologi adalah memasukan iman ke dalah hati seseorang, dan ini hanya bisa dilakukan oleh Allah ﷻ semata. Bahkan Nabi Muhammad ﷺ pun tidak memiliki hak untuk hal ini kecuali ada izin Allah ﷻ, Allah ﷻ berfirman:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (56)[1]

Sesungguhnya kamu tidak dapat memberikan hidayah kepada orang yang engkau cintai, tetapi hanya Allah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia paling tahu tentang orang-orang yang mau petunjuk.

Kemudian bagaimana dengan ayat lain yang mengatakan bahwa al-qur’an dapat memberikan hidayah. Dalam banyak hadis dijelaskan pula bahwa setiap manusia bisa memberikan hidayah. Apakah makna hidayah itu sama dengan makna hidayah pada ayat di atas. Sebagaimana dengan sebdah Rasulullah ﷺ,

قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِعَلِيٍّ: فَوَاللَّهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ

Sabda Rasulullah sallallahu alaihi  wasallam kepada Ali bin Abi Thalib: “Demi Allah, sesungguhnya Allah Ta’ala menunjuki seseorang dengan (dakwah)-mu maka itu lebih bagimu dari unta merah” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad).

يَا عَلِيُّ، لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ عَلَى يَدَيْكَ رَجُلاً خَيْرٌ لَكَ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ

“Wahai Ali, sesungguhnya Allah Ta’ala menunjuki seseorang dengan usaha kedua tanganmu, maka itu lebih bagimu dari tempat manapun yang matahari terbit di atasnya (lebih baik dari dunia dan isinya)” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak).

Allah ﷻ  berfirman:

اِنَّ هٰذَا الْقُرْاٰنَ يَهْدِيْ لِلَّتِيْ هِيَ اَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِيْنَ الَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَهُمْ اَجْرًا كَبِيْرًاۙ ۝٩

Al-Qur’an ini memberi petunjuk (hidayah) ke (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan bahwa bagi mereka ada pahala yang sangat besar.

Imam shawi berpendapat bahwa hidayah ada dua, pertama hidayah bermakna memasukan iman ke dalah hati, ini hanyak hak prerogative Allah ﷻ. Kedua hidayah bermakan ajaran, ini hidayah baila dinisbatkan kepada selain Allah ﷻ. Seperti Rasulullah ﷺ bergelar الهادي  pemberi petunjuk artinya memberikan ilmu atau ajaran, al-qur’an pemberi hidayah artinya bacaan yang memberikan pelajaran, manusia memberi hidayah artinya manusia mengajak pada kebenaran tanpa mengklain mampu memasukkan iman kedalam hati.[i]

  • Menelaah Munasabatul Ayat. Artinya Anda harus memahami keterkaitan rangkaian antar ayat, karena setiap ayat yang akan anda jadikan bahan pokok untuk melengkapi tema, itu berkaitan dengan ayat sebelum atau sesudahnya dan sudah pasti anda akan menemukan makna yang lebih komprehensif daripada memahami ayat secara sepotong-potong.
  • Mencari asbabun nuzul ayat. Artinya anda harus mengetahui asbabun nuzul dari ayat-ayat yang akan di dianalisis kalau memang pada ayat itu ada sebab turunnya. Hal ini diperlukan agar setiap ayat yang akan dijadikan bahan tafsir mawdlui memang benar berkaitan dengan tema. Kecuali anda hanya merangkai tafsir mawdlui dari hasil tafsir yang sudah ada tanpa menafsirkan ayatnya. Anda hanya mengambil pendapat dari para mufasir sebelumnya kemudian dari hasil penafsiran para ulama terdahulu itu anda susun dalam satu tema. Langkah yang terakhir inilah yang banyak diterapkan di zaman sekarang.
  • Menguasai perbedaan tafsir yang diterima dan yang tidak. Artinya anda minimal harus mengetahui perbedaan macam-macam tafsir, diantaranya anda harus memahami tafsir bi al-naqli dan tafsir bi al-ra’yi. Ini bertujuan agar hasil analisis anda tidak bertentangan terlalu jauh dengan hasil tafsir bi al-naqli. Sebagaimana penafsiran pada ayat 101 dari surah al-nisa’:

﴿ وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا﴾ النساء

Apabila kamu bepergian di bumi maka tidak berdosa atas kamu untuk mengqashar shalat, jika kamu khawatir diganggu oleh orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu.

Apabila anda mencukupkan dengan pengetahuan anda terhadap ilmu bahasa arab, maka secara dzahir anda akan berkesimpulan bahwa diantara syarat qashar shalat di perjalanan adalah apabila ada kekhawatiran adanya gangguan orang-orang kafir. Pemahaman ini diambila dari makna dari potongan ayat In Khiftum an Yaftikumuladzina kafaru[2] artinya apabila kamu khawatir diganggu oleh orang-orang kafir di perjalanan. Kesimpulannya apabila di perjalanan tidak ada rasa khawatir gangguan orang-orang kafir karena kondisi orang-orang Islam sudah aman, maka tidak boleh mengqashar shalat selagi masih aman dalam perjalanan.

Kesmipulan tersebut bertentangan dengan tafsir yang sudah disepakati oleh para ulama fikih sejak zaman tabiin sampai sekarang, bahkan bertentangan dengan nas hadis Rasulullah ﷺ . dulu sahabat Umar ra juga bertanya terkait tafsir ayat ini, kemudian Rasulullah ﷺ bersabdah: [3] Qhasar ini adalah sedekah dari Allah, maka terimalah sedekah dari-Nya. Artinya qashar ini tetap bisa diamalkan dalam perjalanan baik dalam keadaan takut atau aman.

Oleh karena itu, syarat qashar dalam ayat tersebut disebut Taghlib. Artinya dalam perjalanan lumrahnya ada rasa takut gangguan orang lain, bukan boleh mengqhashar shalat dengan syarat ada rasa khawatir gangguan orang lain (kafir). Anda bisa melihat perbedaan hasil tafsir dengan dua proses analisis tersebut.

Kesimpulannya bahwa banyak ilmu yang harus dikuasai ileh penyusun tafsir mawdlui sebelum melakukan penafsirannya agar hasil analisisnya lebih mendekati kebenaran. Wallahu A’lam.


[1] يقول تعالى لرسوله ، صلوات الله وسلامه عليه : إنك يا محمد ( إنك لا تهدي من أحببت ) أي : ليس إليك ذلك ، إنما عليك البلاغ ، والله يهدي من يشاء ، وله الحكمة البالغة والحجة الدامغة ، كما قال تعالى : ( ليس عليك هداهم ولكن الله يهدي من يشاء ) [ البقرة : 272 ] ، وقال : ( وما أكثر الناس ولو حرصت بمؤمنين ) [ يوسف : 103 ] .
وهذه الآية أخص من هذا كله ; فإنه قال : ( إنك لا تهدي من أحببت ولكن الله يهدي من يشاء وهو أعلم بالمهتدين ) أي : هو أعلم بمن يستحق الهداية ممن يستحق الغواية ، وقد ثبت في الصحيحين أنها نزلت في أبي طالب عم رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وقد كان يحوطه وينصره ، ويقوم في صفه ويحبه حبا [ شديدا ] طبعيا لا شرعيا ، فلما حضرته الوفاة وحان أجله ، دعاه رسول الله – صلى الله عليه وسلم – إلى الإيمان والدخول في الإسلام ، فسبق القدر فيه ، واختطف من يده ، فاستمر على ما كان عليه من الكفر ، ولله الحكمة التامة .

[2] إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا

[3] وقد أشكل هذا على أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه، حتى سأل عنه النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله ما لنا نقصر الصلاة وقد أمِنَّا؟- أي: والله يقول: { إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا } فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “صدقة تصدق الله بها عليكم فاقبلوا صدقته” أو كما قال.


[i] Ahmad bin Muhammad as-Showi, Hasyiyah al-Allamah al Shawi ala Tafsir al-Jalalain (al Haramain).

Author