
Dari Kitab Kuning ke Dunia Digital: Transformasi Budaya Literasi di Pesantren
Oleh: Anis Jamil Mahdi
Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional di Indonesia, telah lama menjadi garda depan dalam pelestarian dan pengembangan budaya literasi. Selama berabad-abad, kitab kuning (kumpulan naskah klasik berbahasa Arab) menjadi jantung dari tradisi intelektual pesantren. Kitab-kitab ini, yang mencakup berbagai disiplin ilmu mulai dari fikih, tafsir, hingga tasawuf, tidak hanya dipelajari secara mendalam, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi para santri untuk berpikir kritis, menulis, dan berkontribusi pada khazanah keilmuan Islam. Namun, di era digital yang serba cepat ini, pesantren dihadapkan pada tantangan sekaligus peluang baru dalam mempertahankan dan mengembangkan budaya literasi. Transformasi digital telah mengubah lanskap literasi secara global, dan pesantren pun tidak bisa menghindar dari perubahan ini. Pertanyaannya adalah, bagaimana pesantren mampu beradaptasi dengan dunia digital tanpa kehilangan akar tradisi literasi yang telah lama dipegang teguh?
Transformasi budaya literasi di pesantren bukan hanya sekadar adopsi teknologi, tetapi juga menyangkut perubahan paradigma dalam proses belajar-mengajar. Dahulu, budaya literasi di pesantren didominasi oleh metode sorogan (belajar individual di hadapan guru) dan bandongan (belajar bersama dalam kelompok besar). Metode ini menekankan pada kemampuan menghafal, memahami teks, dan mengaplikasikan ilmu dalam kehidupan sehari-hari. Kini, dengan hadirnya internet dan berbagai platform digital, santri memiliki akses tak terbatas ke berbagai sumber informasi. Mereka dapat membaca artikel online, menonton video pembelajaran, mengikuti forum diskusi, dan berinteraksi dengan para ahli dari seluruh dunia. Hal ini membuka peluang bagi santri untuk mengembangkan kemampuan literasi yang lebih luas, termasuk kemampuan membaca kritis, menulis argumentatif, dan berkomunikasi secara efektif di dunia maya. Selain itu, pesantren juga mulai mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran kitab kuning. Aplikasi digital yang menyediakan teks kitab kuning, terjemahan, dan komentar memungkinkan santri untuk belajar secara lebih interaktif dan efisien. Beberapa pesantren bahkan telah mengembangkan platform e-learning sendiri untuk memudahkan santri dalam mengakses materi pembelajaran dan berinteraksi dengan para guru.
___________________
Baca Juga
- Kontribusi Pesantren dalam Membangun Peradaban Islam
- Menelisik Budaya Bullying di Pesantren: Akar Masalah dan Solusi
- Ketika Musibah Datang: Merenungi Makna Al-Baqarah Ayat 155
- Anjuran Pengembangan Sains dalam Al-Qur’an
- Pahlawan Sejati: Tafsir Ayat-Ayat Resolusi Jihad
- Penerapan Hukum Potong Tangan (Surat al-Maidah ayat 38) di Indonesia: Analisis Ushul Fikih dan Konteks Kebangsaan
- Polemik Zakat : Pembayaran Zakat Melalui Masjid, Sekolah, Ormas dan Kyai Kampung (Bag.1)
- Telaah Makna Fisabilillah sebagai Penerima Zakat dalam Surah At-Taubah Ayat 60
___________________
Argumentasi tentang perlunya adaptasi pesantren terhadap dunia digital bukan berarti mengabaikan nilai-nilai tradisional yang telah lama dipegang teguh. Justru sebaliknya, adaptasi ini bertujuan untuk memperkuat dan memperluas jangkauan tradisi intelektual pesantren. Budaya literasi pesantren yang menekankan pada pemahaman mendalam, berpikir kritis, dan pengamalan ilmu dalam kehidupan sehari-hari sangat relevan di era digital yang penuh dengan informasi yang menyesatkan dan konten yang tidak berkualitas. Dengan membekali santri dengan kemampuan literasi digital yang mumpuni, pesantren dapat menghasilkan generasi muda Islam yang mampu memanfaatkan teknologi untuk menyebarkan nilai-nilai Islam yang moderat, toleran, dan inklusif. Selain itu, kemampuan menulis dan berargumentasi secara efektif di dunia maya juga sangat penting untuk melawan narasi-narasi ekstremis dan intoleran yang seringkali beredar di media sosial. Dengan demikian, transformasi budaya literasi di pesantren bukan hanya tentang mengadopsi teknologi, tetapi juga tentang memperkuat peran pesantren sebagai benteng penjaga nilai-nilai luhur Islam dan kebangsaan.
Sebagai kesimpulan, transformasi budaya literasi di pesantren dari kitab kuning ke dunia digital merupakan sebuah keniscayaan. Pesantren memiliki peran penting dalam membekali santri dengan kemampuan literasi yang relevan dengan tuntutan zaman, tanpa kehilangan akar tradisi intelektual yang telah lama dipegang teguh. Dengan mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran, mengembangkan platform digital yang interaktif, dan membekali santri dengan kemampuan literasi digital yang mumpuni, pesantren dapat menghasilkan generasi muda Islam yang cerdas, kreatif, dan berakhlak mulia. Transformasi ini bukan hanya tentang perubahan teknologi, tetapi juga tentang perubahan paradigma dalam proses belajar-mengajar, yang bertujuan untuk memperkuat dan memperluas jangkauan tradisi intelektual pesantren di era digital. Dengan demikian, pesantren dapat terus berperan sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam di Indonesia dan dunia.