Menelisik Budaya Bullying di Pesantren: Akar Masalah dan Solusi
3 mins read

Menelisik Budaya Bullying di Pesantren: Akar Masalah dan Solusi

Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, seringkali dipandang sebagai benteng moral dan tempat penyemaian nilai-nilai luhur. Namun, di balik citra ideal tersebut, tersimpan permasalahan yang kerapkali luput dari perhatian: bullying. Fenomena ini, meski tidak selalu mencuat ke permukaan, merupakan isu serius yang perlu ditangani secara komprehensif, mengingat dampaknya yang merusak bagi perkembangan psikologis dan sosial santri. Artikel ini bertujuan untuk menelisik akar masalah bullying di pesantren serta menawarkan solusi konstruktif untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan kondusif.

Salah satu akar masalah utama bullying di pesantren adalah relasi kuasa yang timpang antara santri senior dan junior. Budaya senioritas yang kuat, seringkali diinterpretasikan secara keliru, menjadi lahan subur bagi praktik perundungan. Santri senior, dengan dalih membina atau mendisiplinkan, kerapkali melakukan tindakan yang merugikan santri junior, mulai dari verbal abuse, perpeloncoan, hingga kekerasan fisik. Selain itu, kurangnya pengawasan dari pihak pengelola pesantren juga berkontribusi terhadap maraknya kasus bullying. Minimnya sistem pelaporan yang efektif dan respons yang lambat terhadap aduan santri membuat pelaku bullying merasa aman dan semakin berani melakukan aksinya. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah faktor lingkungan. Lingkungan pesantren yang terkadang keras dan kompetitif, ditambah dengan beban akademik dan tuntutan moral yang tinggi, dapat memicu frustrasi dan agresi yang kemudian dilampiaskan kepada santri yang lebih lemah.
___________________

Baca Juga

___________________

Untuk mengatasi permasalahan ini, dibutuhkan perubahan paradigma dalam pengelolaan pesantren. Pertama, pesantren perlu merumuskan kebijakan anti-bullying yang jelas dan tegas, serta mensosialisasikannya kepada seluruh warga pesantren, baik santri, guru, maupun pengurus. Kebijakan ini harus mencakup definisi bullying, jenis-jenis tindakan yang dikategorikan sebagai bullying, sanksi bagi pelaku, serta mekanisme pelaporan dan penanganan kasus. Kedua, pesantren perlu meningkatkan pengawasan dan memperkuat sistem pelaporan. Hal ini dapat dilakukan dengan membentuk tim anti-bullying yang terdiri dari guru, santri, dan perwakilan wali santri, serta menyediakan saluran komunikasi yang mudah diakses dan aman bagi korban bullying untuk melaporkan kejadian yang dialaminya. Selain itu, pesantren juga perlu mengaktifkan peran guru sebagai mediator dan konselor bagi santri yang mengalami masalah.

Selain upaya pencegahan dan penanganan dari pihak pesantren, peran aktif dari santri juga sangat penting. Santri perlu diedukasi tentang bahaya bullying dan cara mengidentifikasi serta mencegahnya. Mereka juga perlu didorong untuk berani melaporkan kejadian bullying yang mereka saksikan atau alami, serta untuk saling mendukung dan melindungi satu sama lain. Budaya saling menghormati dan menghargai perbedaan perlu ditanamkan sejak dini, sehingga tercipta lingkungan yang inklusif dan bebas dari diskriminasi. Penting juga untuk melibatkan alumni pesantren dalam upaya pencegahan bullying, misalnya melalui program mentoring atau pelatihan bagi santri.

Dengan upaya yang komprehensif dan berkelanjutan dari semua pihak, diharapkan budaya bullying di pesantren dapat dihilangkan dan digantikan dengan budaya yang lebih positif, yaitu budaya saling menghargai, menghormati, dan mendukung. Pesantren harus menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi santri untuk belajar, berkembang, dan menggapai cita-citanya. Dengan demikian, pesantren dapat kembali menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan yang menghasilkan generasi yang berakhlak mulia dan berkontribusi positif bagi masyarakat.

Author