Telaah Makna Fisabilillah sebagai Penerima Zakat dalam Surah At-Taubah Ayat 60
11 mins read

Telaah Makna Fisabilillah sebagai Penerima Zakat dalam Surah At-Taubah Ayat 60

Pemaknaan kata Sabilillah sebagai bagian dari delapan golongan yang berhak menerima zakat kerap menjadi pembahasan yang dilematis dan semi-problematis. Problem ini terus menjadi sorotan di kalangan intelektual Muslim. Tanpa sedikit pun menganggapnya sebagai bagian dari perdebatan basi, pembahasan ini merupakan bagian dari penghidupan tradisi khazanah keilmuan Islam yang perlu dipertahankan dan diapresiasi.

Ada dua titik tekan pembahasan yang menjadi sorotan, yaitu antara memaknai kata Sabilillah dalam makna awal (Historis) yang berarti jihad dan memaknainya sebagai Sabilil Khair berdasarkan makna literal. Klaim dalam tulisan ini adalah bahwa kata Sabilillah yang berarti jihad didasarkan pada makna awal, sedangkan Sabilil Khair didasarkan pada makna literal, yang akan dibahas dalam pembahasan selanjutnya.

Tidak dalam rangka melahirkan makna baru, kajian ini lebih berfokus pada menganalisis dan memotret kembali metodologi setiap pendapat terkait kata Fisabilillah dalam Al-Qur’an. Metodologi ini meliputi narasi pendekatan para fuqaha’, dalam hal ini para ulama mazhab yang mayoritas sepakat memilih makna jihad, serta narasi metodologis sebagian mufasir yang memilih makna literal sebagai Fisabilil Khair, yang berarti suatu jalan kebaikan.

__________________

Baca Juga

__________________

Kata Fisabilillah dalam Al-Qur’an

Para ulama mazhab umumnya menafsirkan kata Fisabilillah sebagai jihad, karena dalam Al-Qur’an kata tersebut selalu dikaitkan dengan konteks jihad. Terdapat sekitar 65 ayat yang membahas Fisabilillah, dan secara historis, semuanya bermakna jihad atau setidaknya berkaitan dengan konflik ideologis antara Muslim dan kafir. Pendapat ini dianut oleh mayoritas ulama, kecuali mazhab Maliki yang memahami Fisabilillah sebagai Sabilil Khair (jalan kebaikan), tetapi khusus dalam konteks zakat mal, bukan zakat fitrah.

Berikut beberapa contoh ayat yang mengandung kata Fisabilillah:

  1. Al-Baqarah 154: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah bahwa mereka itu mati. Bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”
    → Maknanya berkaitan dengan kemuliaan para syuhada dalam jihad.
  2. Al-Baqarah 262: “Orang-orang yang menginfakkan harta mereka di jalan Allah, kemudian tidak mengiringi infak itu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), bagi mereka pahala di sisi Tuhan mereka.”
    → Maknanya merujuk pada infak yang digunakan untuk kepentingan jihad.
  3. Al-A’raf 45: “Mereka adalah orang-orang yang menghalang-halangi (orang lain) dari jalan Allah serta menginginkan jalan itu menjadi bengkok.”
    → Menunjukkan bahwa kaum kafir berusaha menghambat tersebarnya agama Allah.

Dari tiga ayat ini, dapat disimpulkan bahwa Fisabilillah dalam Al-Qur’an sangat kuat bermakna jihad, terutama dalam konteks ayat tentang zakat. Bahkan dalam ayat yang tidak secara langsung berbicara tentang jihad, tetap terlihat unsur perseteruan ideologis antara Muslim dan kafir, seperti dalam Surah Al-A’raf ayat 45. Oleh karena itu, berdasarkan analisis terhadap 65 ayat tersebut, pemaknaan Fisabilillah sebagai jihad menjadi argumen yang kuat dan sulit dibantah, sekaligus melemahkan tafsiran yang menganggapnya sebagai sekadar jalan kebaikan

Tela’ah Linguistik Penafsiran Kata Fisabilillah dalam Ayat Ashnaf al-Zakat.

Fakhruddin al-Razi, dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib, memberikan sebuah pernyataan yang menarik. Al-Razi menyatakan bahwa pemaknaan jihad perang dalam kata fisabilillah dalam ayat ashnaf al-zakat merupakan pemaknaan yang tidaklah final. Pernyataannya ini cukup menjadi pertimbangan menarik dalam melihat kata fisabilillah dalam ayat ashnaf al-zakat lebih jauh. Dari pendapat Al-Razi ini, pembaca akan menyadari kemungkinan bahwa kata fisabilillah dalam ayat ashnaf al-zakat memberikan isyarat bahwa yang dimaksud Al-Qur’an tidak hanya tentang jihad perang.

Misalnya, dengan menelaah kata ini dari segi makna linguistik secara literal. Ibnu Atsir menjelaskan bahwa secara bahasa, sabil bermakna thariq, yang berarti “jalan”. Sementara itu, istilah sabil ketika disandingkan dengan kata Allah menjadi sabilillah, yang bermakna umum bagi setiap pekerjaan yang murni dijalankan untuk mendekatkan diri kepada Allah, baik berupa pekerjaan fardu, sunnah, maupun segala jenis perbuatan baik. Namun, Ibnu Atsir juga menyadari bahwa ketika istilah ini digunakan dalam pemaknaan umumnya, maka sering kali dikhususkan pada jihad. Sehingga, istilah ini yang sebenarnya bisa digunakan untuk banyak pekerjaan menjadi terbatas pada pemaknaan jihad peperangan.

Berangkat dari telaah kebahasaan yang dilakukan oleh Ibnu Atsir, jika ditelusuri lebih rinci dalam ayat-ayat lain, dari 65 ayat yang disebutkan, ada sebagian kecil ayat yang menggunakan fisabilillah tetapi tidak secara khusus bermakna jihad perang. Misalnya, dalam Surah Al-Baqarah ayat 262, Allah berfirman:

alladzîna yunfiqûna amwâlahum fî sabîlillâhi tsumma lâ yutbi‘ûna mâ anfaqû mannaw wa lâ adzal lahum ajruhum ‘inda rabbihim, wa lâ khaufun ‘alaihim wa lâ hum yaḫzanûn

Orang-orang yang menginfakkan harta mereka di jalan Allah, kemudian tidak mengiringi apa yang mereka infakkan itu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), bagi mereka pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih.

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan tentang etika seorang Muslim dalam bersedekah, tanpa membahas tentang perseteruan antara Muslim dan kafir pada masa itu. Kata fisabilillah dalam ayat ini bermakna umum dan tidak terbatas pada jihad peperangan.

Demikian pula dalam ayat ashnaf al-zakat yang terdapat dalam Surah At-Taubah ayat 60, Al-Qur’an hanya menjelaskan golongan yang layak menerima zakat. Dalam Al-Qur’an disebutkan:

innamash-shadaqâtu lil-fuqarâ’i wal-masâkîni wal-‘âmilîna ‘alaihâ wal-mu’allafati qulûbuhum wa fir-riqâbi wal-ghârimîna wa fî sabîlillâhi wabnis-sabîl, farîdlatam minallâh, wallâhu ‘alîmun ḫakîm

 “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana”.

Berbeda dengan mayoritas ayat lain yang dalam teksnya secara langsung memberikan isyarat kuat bahwa fisabilillah bermakna jihad perang, dalam ayat ini tidak terdapat isyarat yang jelas bahwa yang dimaksud adalah jihad perang saja. Para mufassir juga memberikan fakta-fakta historis sebagai penguat tafsir mereka. Misalnya, dalam tafsir al-Tabari—yang merupakan tafsir generasi tertua di era klasik—memang dijelaskan bahwa fisabilillah dalam ayat Ashnaf al-Zakat yang dimaksud adalah perang. Namun, di sisi lain, Al-Tabari juga menukil hadis Nabi yang masih bersifat multitafsir mengenai keabsahan fisabilillah sebagai penerima zakat, yang walaupun dalam keadaan kaya.

Dalam kesempatan lain, terdapat hadis Nabi yang menunjukkan bahwa Rasulullah tidak selalu memaknai fisabilillah sebagai jihad perang saja. Dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam bab Manasik, disebutkan bahwa suatu ketika ada seorang laki-laki yang ingin menjadikan untanya digunakan fisabilillah (untuk perang), tetapi di sisi lain, istrinya ingin melaksanakan ibadah haji. Menyikapi hal itu, Rasulullah bersabda agar unta tersebut digunakan sebagai kendaraan haji, karena haji termasuk fisabilillah. Bahkan dalam hadis nabi yang lain Rasulullah bersabda ‘‘Berjihadlah terhadap orang musyrik dengan harta kalian, diri kalian, dan lisan kalian.’’

Pendekatan hadis dalam memahami linguistik ayat seperti ini merupakan metode yang lumrah dalam kajian tafsir. Berbeda dengan para fuqaha yang lebih cenderung memaknai fisabilillah sebagai jihad perang saja, para mufassir cenderung lebih fleksibel dalam memaknai kata tersebut, meskipun tetap dalam batas-batas ilmiah. Dari fakta-fakta hadis tadi, tidak heran jika para mufassir masa sahabat seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Hudzaifah bin Yaman menafsirkan fisabilillah mencakup perang, haji, dan umrah.

Salah satu pendapat yang memperkuat fleksibilitas makna fisabilillah adalah pendapat Imam Qaffal, yang dikutip oleh Imam Al-Razi dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib. Dengan mempertimbangkan hadis Nabi serta ayat Al-Qur’an seperti Surah Al-Baqarah ayat 262 yang menunjukkan makna umum, pemaknaan fisabilillah menjadi lebih luas dari sekadar jihad perang. Berdasarkan analisis kebahasaan yang bermakna “jalan kebaikan”, Imam Qaffal—yang didukung oleh Al-Razi—menjelaskan bahwa zakat bisa diterima oleh tokoh agama, pembangunan masjid, dan pekerjaan yang berkaitan dengan syiar agama dan kegiatan sosial keagamaan seperti takfinul mayyit

Meskipun pendapat ini tidak lebih marjuh dibanding pendapat pertama, akan tetapi sekitar 43 ulama klasik dan kontemporer mendukung pandangan bahwa fisabilillah tidak hanya bermakna jihad peperangan.

Ulama’- ulama’ tersebut ialah ; Abu Ubaid bin Salam, Al-Qodhi ‘Iyadh, Fakhruddin Al-Razi, Al-Hasan Al-Naisaburi, Al-Khazin, Al-Thibi, Ahmad bin Yahya, Al-Biqo’i, Muhyiddin Syaikhu Zadah, Al-Shon’ani, Al-Shawi, Al-Alusi, Shadiq Hasan Khan, Jamaluddin Al-Qasami, Muhammad Rasyid Ridla, Syaikh Musthafa Al-Maraghi, Syaikh Mahmud Syaltut, Dr Muhammad Mahmud Hijazi, Syaikh Muhammad Hsanain Makhluf, Syaikh Said Hawa, Syaikhul Azhar Dr Abdul Halim Mahmud, Syaikh Abdul Majid Salim, Syaikh Jadul Haq Ali Jadul Haq (Syaikh Al-Azhar), Syaikh Muhammad Ibrahim Ali Syaikh, Syaikh Manna’ al-Qathan, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jabrin, Dr Yusuf Al-Qardlawi, Syaikh Abdullah Nasih Ulwan, Dr Abdul Karim Zaidan, Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi, Syaikh Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Dr Khalid Abdur Razaq Al-Ani, Dr Muhammad Ibrahim Al-Halfawi, Ustadz Afif Abdul Fattah Thabarah, Dr Muhammad Said Wahbah, Dr Abdul Aziz Muhammad Jamjuh, Dr Abdullahil Muslih, Dr Shalahus Shawi, Dr Muhammad Sulaiman Al-Asyqar, Dr Muhammad Nuaim Yasin, Dr Muhammad Ustman Syabir, Dr Umar Sulaiman Al-Asqar, Al-Utsdaz Doktor Saud bin Abdullah Al-Fanisan.

Perbedaan antara sebagian mufassir dan fuqaha dalam hal ini adalah Ulama’ Madzhab menjadi perhatian menarik dalam khazanah kajian keislaman. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa pemaknaan fisabilillah merupakan masalah zanniyah, hasil dari penelitian dan metodologi yang digunakan oleh masing-masing ulama dengan ketelitian ilmiah dan analisa yang matang.

Kesimpulan

Dari berbagai analisis linguistik, tafsir, dan hadis yang telah dipaparkan, jelas bahwa pemaknaan fisabilillah dalam Al-Qur’an tidak terbatas hanya pada jihad perang. Meskipun dalam banyak ayat fisabilillah memang mengacu pada jihad dalam konteks peperangan, ada ayat-ayat lain yang mengisyaratkan tentang kemungkinan maknanya lebih luas, mencakup segala bentuk perjuangan dan pengorbanan di jalan Allah, seperti infak, haji, dan amal kebajikan lainnya.

Tafsir klasik seperti Al-Tabari  mengaitkan fisabilillah dengan jihad perang, tetapi tafsir-tafsir berikutnya, seperti yang dikemukakan oleh Fakhruddin Al-Razi mengutip pendapat Imam Qaffal, membuka kemungkinan interpretasi yang lebih luas. Pendekatan ini juga didukung oleh sebagian sedikit ayat dan beberapa hadis Nabi yang menunjukkan bahwa fisabilillah tidak selalu berkonotasi perang, tetapi juga mencakup ibadah seperti haji dan penggunaan harta di jalan Allah.

Selain itu, perbedaan pendekatan antara fuqaha (ahli fikih) dan mufassir (ahli tafsir) dalam memahami fisabilillah menunjukkan adanya fleksibilitas dalam khazanah keilmuan Islam. Para fuqaha umumnya lebih ketat dalam membatasi makna fisabilillah pada jihad perang, sedangkan para mufassir lebih terbuka terhadap makna yang lebih luas, selama memiliki landasan yang kuat dalam bahasa, hadis, dan konteks ayat.

Implikasi dari kesimpulan ini sangat penting dalam konteks modern, terutama dalam distribusi zakat dan pemahaman jihad. Jika fisabilillah dimaknai secara lebih luas, maka penggunaan dana zakat dapat mencakup berbagai bentuk perjuangan Islam, seperti pendidikan, dakwah, pembangunan fasilitas keagamaan, serta pemberdayaan umat. Hal ini dapat menjadi solusi bagi berbagai permasalahan sosial dan ekonomi yang dihadapi umat Islam.

Pada akhirnya, perbedaan tafsir tentang fisabilillah adalah bagian dari kekayaan intelektual Islam yang harus dipahami dengan pendekatan yang adil dan komprehensif. Dengan mengakui adanya berbagai pendapat ulama, kita dapat mengambil hikmah bahwa Islam adalah agama yang dinamis dan fleksibel dalam menyesuaikan ajarannya dengan kondisi zaman tanpa kehilangan esensi dasarnya.

Sumber :

  • Aqwal al-Ulama’ fi Al-Mashrifi al-Sabi’ Al-Zakat wa fi Sabilillah
  • Tafsir Mafatih al-Ghaib
  • Tafsir al-Thabari

Author