Hubungan Antara Rububiyah dan Uluhiyah dalam Tafsir Surat Al-Fatihah
7 mins read

Hubungan Antara Rububiyah dan Uluhiyah dalam Tafsir Surat Al-Fatihah

Surat Al-Fatihah, yang sering disebut sebagai “Ummul Kitab” atau induk Al-Qur’an, merupakan surat yang sangat istimewa dalam agama Islam. Keistimewaannya bukan hanya karena posisinya sebagai pembuka Al-Qur’an, tetapi juga karena kandungan maknanya yang sangat mendalam dan komprehensif. Surat ini, meskipun singkat, merangkum esensi ajaran Islam, termasuk di dalamnya tauhid yang menjadi fondasi utama keyakinan seorang Muslim. Di antara aspek penting dari tauhid yang tercermin dalam Al-Fatihah adalah hubungan yang erat antara Rububiyah dan Uluhiyah.

Rububiyah, secara sederhana, dapat diartikan sebagai pengakuan dan keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb, Tuhan yang menciptakan, memelihara, mengatur, dan menguasai seluruh alam semesta. Uluhiyah, di sisi lain, adalah pengakuan dan keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Ilah, Tuhan yang berhak disembah, ditaati, dan diabdikan diri kepada-Nya. Hubungan antara Rububiyah dan Uluhiyah dalam Al-Fatihah sangatlah fundamental dan saling melengkapi, membentuk pemahaman tauhid yang utuh dan menyeluruh.

__________________

Baca Juga

__________________

Rububiyah Allah dalam Al-Fatihah: Landasan Uluhiyah

Ayat pertama Al-Fatihah, “Bismillahirrahmanirrahim” (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), sudah mengisyaratkan Rububiyah Allah. Kata “Allah” adalah nama yang mencakup seluruh sifat-sifat kesempurnaan-Nya, termasuk sifat-sifat Rububiyah-Nya. Sifat Ar-Rahman (Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang) menunjukkan bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang kepada seluruh makhluk-Nya. Kasih sayang-Nya ini adalah bukti nyata dari Rububiyah-Nya sebagai Pemelihara dan Pemberi rezeki.

Selanjutnya, ayat kedua, “Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin” (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam), secara eksplisit menegaskan Rububiyah Allah. Kata “Rabbil ‘alamin” (Tuhan semesta alam) menunjukkan bahwa Allah adalah Pemilik, Pencipta, Pengatur, dan Penguasa seluruh alam semesta. Tidak ada satu pun makhluk di alam semesta ini yang berada di luar kendali dan kekuasaan-Nya. Semua makhluk bergantung sepenuhnya kepada Allah dalam segala hal, dari keberadaan hingga keberlangsungan hidupnya.

Pengakuan terhadap Rububiyah Allah ini menjadi landasan bagi pengakuan Uluhiyah Allah. Karena Allah adalah satu-satunya Rabb yang menciptakan, memelihara, dan mengatur seluruh alam semesta, maka hanya Dia-lah yang berhak disembah dan ditaati. Tidak ada satu pun makhluk yang pantas disekutukan dengan-Nya dalam ibadah.

Uluhiyah Allah dalam Al-Fatihah: Konsekuensi Logis dari Rububiyah

Ayat kelima Al-Fatihah, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” (Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan), merupakan puncak dari pengakuan Uluhiyah Allah. Ayat ini adalah pernyataan tegas tentang tauhid uluhiyah, yaitu pengesaan Allah dalam ibadah. Seorang Muslim yang membaca ayat ini berarti berjanji kepada Allah bahwa ia hanya akan menyembah dan beribadah kepada-Nya semata, tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.

Pernyataan “Iyyaka na’budu” (Hanya kepada-Mu kami menyembah) adalah konsekuensi logis dari pengakuan terhadap Rububiyah Allah. Karena Allah adalah satu-satunya Rabb yang menciptakan dan memelihara kita, maka sudah seharusnya kita hanya menyembah dan beribadah kepada-Nya. Menyembah selain Allah berarti mengingkari Rububiyah-Nya dan menduakan-Nya dengan makhluk yang tidak memiliki daya dan kekuatan apa pun.

Selain itu, pernyataan “Iyyaka nasta’in” (Hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan) juga merupakan bagian dari pengakuan Uluhiyah Allah. Memohon pertolongan kepada selain Allah, dalam hal-hal yang hanya mampu dilakukan oleh Allah, berarti menyekutukan-Nya dalam Uluhiyah-Nya. Seorang Muslim harus meyakini bahwa hanya Allah yang memiliki kekuatan dan kemampuan untuk memberikan pertolongan dan bantuan kepada hamba-Nya.

Hubungan Timbal Balik yang Tak Terpisahkan

Hubungan antara Rububiyah dan Uluhiyah dalam Al-Fatihah adalah hubungan timbal balik yang tak terpisahkan. Pengakuan terhadap Rububiyah Allah mengharuskan adanya pengakuan terhadap Uluhiyah-Nya. Sebaliknya, pengakuan terhadap Uluhiyah Allah juga mengimplikasikan pengakuan terhadap Rububiyah-Nya. Keduanya adalah dua sisi dari satu koin yang sama, yaitu tauhid yang utuh dan menyeluruh.

Jika seseorang hanya mengakui Rububiyah Allah tanpa mengakui Uluhiyah-Nya, maka pengakuan tersebut tidaklah sempurna. Ia hanya mengakui bahwa Allah adalah Pencipta dan Pengatur alam semesta, tetapi tidak mengakui bahwa Allah berhak disembah dan ditaati. Pengakuan semacam ini tidak akan membawa seseorang pada keimanan yang sejati.

Demikian pula, jika seseorang hanya mengakui Uluhiyah Allah tanpa mengakui Rububiyah-Nya, maka pengakuan tersebut juga tidaklah sempurna. Ia hanya mengakui bahwa Allah berhak disembah, tetapi tidak mengakui bahwa Allah adalah Pencipta dan Pengatur alam semesta. Pengakuan semacam ini juga tidak akan membawa seseorang pada keimanan yang sejati.

Implikasi Praktis dalam Kehidupan Sehari-hari

Pemahaman yang benar tentang hubungan antara Rububiyah dan Uluhiyah dalam Al-Fatihah memiliki implikasi praktis yang sangat besar dalam kehidupan sehari-hari seorang Muslim. Pemahaman ini akan memengaruhi cara ia berpikir, bertindak, dan berinteraksi dengan dunia sekitarnya.

Pertama, pemahaman ini akan menumbuhkan rasa syukur yang mendalam kepada Allah atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan-Nya. Seorang Muslim akan menyadari bahwa segala sesuatu yang ada padanya, baik itu kesehatan, kekayaan, keluarga, maupun ilmu pengetahuan, adalah berasal dari Allah semata. Oleh karena itu, ia akan selalu berusaha untuk menggunakan nikmat-nikmat tersebut untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.

Kedua, pemahaman ini akan mendorong seorang Muslim untuk selalu bertawakal kepada Allah dalam segala urusan. Ia akan meyakini bahwa hanya Allah yang memiliki kekuatan dan kemampuan untuk memberikan pertolongan dan bantuan kepadanya. Oleh karena itu, ia akan selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik dalam setiap usahanya, sambil tetap menyerahkan hasilnya kepada Allah.

Ketiga, pemahaman ini akan membentengi seorang Muslim dari perbuatan syirik, baik syirik besar maupun syirik kecil. Ia akan meyakini bahwa hanya Allah yang berhak disembah dan ditaati, dan tidak ada satu pun makhluk yang pantas disekutukan dengan-Nya dalam ibadah. Ia akan menjauhi segala bentuk perbuatan yang dapat menjerumuskannya ke dalam syirik, seperti menyembah berhala, meminta pertolongan kepada dukun, atau mengagungkan makhluk secara berlebihan.

Kesimpulan

Hubungan antara Rububiyah dan Uluhiyah dalam tafsir Surat Al-Fatihah adalah fondasi utama tauhid dalam Islam. Pengakuan terhadap Rububiyah Allah sebagai Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur alam semesta mengharuskan adanya pengakuan terhadap Uluhiyah Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Keduanya adalah dua sisi dari satu koin yang sama, membentuk pemahaman tauhid yang utuh dan menyeluruh.

Pemahaman yang benar tentang hubungan ini memiliki implikasi praktis yang sangat besar dalam kehidupan sehari-hari seorang Muslim, menumbuhkan rasa syukur, mendorong tawakal, dan membentengi dari perbuatan syirik. Oleh karena itu, setiap Muslim hendaknya berusaha untuk memahami dan menghayati makna Al-Fatihah secara mendalam, agar dapat mengamalkan ajaran tauhid dengan benar dan sempurna. Dengan demikian, ia akan meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Untuk memperdalam pemahaman tentang hubungan antara Rububiyah dan Uluhiyah dalam Al-Fatihah, disarankan untuk merujuk pada kitab-kitab tafsir klasik dan kontemporer, serta kajian-kajian ilmiah yang membahas tentang tauhid. Dengan mempelajari dan memahami ajaran tauhid secara mendalam, seorang Muslim akan semakin kokoh dalam keimanannya dan semakin dekat dengan Allah SWT.

Semoga artikel ini bermanfaat dan dapat menambah wawasan kita tentang keagungan Surat Al-Fatihah dan pentingnya memahami tauhid yang benar.

Referensi

Al-Qurtubi, A. (n.d.). Tafsir Al-Qurtubi. Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.

Al-Uthaymeen, M. S. (2007). Explanation of the Three Fundamental Principles of Islaam. Dar-us-Salam Publications.

As-Sa’di, A. N. (2018). Tafsir As-Sa’di. Maktaba Dar-us-Salam.

Ibn Kathir, I. (n.d.). Tafsir Ibn Kathir. Dar-us-Salam Publications.

Saleh, F. A. (2019). The Magnificent Principles of Islam: Explanation of Usul Ath-Thalatha. IIPH.

Author