Dasar Teori Ijma’ : Mengukur Kredibilitas Data Sarjana Revisionis
7 mins read

Dasar Teori Ijma’ : Mengukur Kredibilitas Data Sarjana Revisionis

Beberapa hari yang lalu, terselenggara acara diskusi seputar diskursus Al-Qur’an di Institute PTIQ Jakarta, menghadirkan dua akademisi populer karena karyanya yang saat ini sedang menjadi perbincangan di dunia akademis Indonesia, yaitu Mun’im Sirry, guru besar Islamic Studies di Notre Dame University, Amerika, dan Muhammad Nuruddin, akademisi yang sedang menempuh Doktoral di Al-Azhar, Kairo, Mesir.

Cara penyampaian data dari keduanya menampilkan secara jelas letak perbedaan epistemik dua kajian keislaman, khususnya perbincangan tentang Al-Qur’an. Dua tokoh ini menampilkan kajian Islam sebagai perwakilan dari sarjana Timur dan Barat yang memperkaya percaturan pemikiran Islam di Indonesia. Menariknya, keduanya tidak saja menjadi penghias kajian ilmiah yang sedang berkembang, melainkan pula menampilkan kembali pertarungan ilmiah kritik mengkritik dalam sebuah karya, yang beberapa dekade enggan untuk dilirik oleh para sarjana lokal.

Di antara diskusi yang berjalan, satu hal yang menjadi bahasan menarik, yaitu perihal pengambilan data yang dilakukan oleh Mun’im Sirry untuk memperkuat dasar teori yang ia bangun. Cara pengambilan data yang dilakukan oleh Mun’im Sirry sebagai sarjana revisionis kerap menyamaratakan semua pendapat tanpa mempertimbangkan ijma’ atau konsensus di kalangan intelektual Islam. Bahkan, ciri khas mendramatisir data ala sarjana modern yang ia tampilkan sangat tampak atas bacaannya terhadap naskah-naskah data sebagai penguat atas asumsi dasar yang dibangun.

Tema yang diangkat seputar pembahasan tentang status Al-Qur’an sebagai Kalam, Mun’im enggan memperkuat datanya dengan dalil-dalil ayat sebagai metode istidlal. Ada satu data yang ia paparkan sebagai penguat dalam kitab Al-Itqan karya As-Suyuthi terkait proses pewahyuan, yang dalam penjelasan As-Suyuthi menampilkan beberapa pendapat. Satu pendapat diambil oleh Mun’im sebagai penguat teori dasarnya, yang dalam penjelasannya itu As-Suyuthi menampilkan ayat Al-Qur’an.

__________________________

Baca Juga

__________________________

Pengambilan data yang dilakukan Mun’im dalam Al-Itqan sebagai penguat klaimnya bahwa Al-Qur’an bukan saja Kalam Allah, tetapi juga sekaligus Kalam Nabi, malahirkan sebuat statemen darinya bahwa klaimnya itu bukan perkara baru, menurutnya pendapat tersebut dari dulu sudah terdapat ulama’ yang berpendapat demikian. Untuk menguatkan klaimnya, Mun’im di antaranya mengutip satu qaul yang dikutip oleh As-Suyuthi perihal perbedaan pendapat para ulama klasik dalam proses turunnya wahyu.

Dalam tulisan ini, tidak akan membahas mengenai klaim Mun’im yang kurang tepat memahami teks yang disadur oleh As-Suyuthi dalam menampilkan perbedaan proses pewahyuan di antara para ulama klasik. Akan tetapi, tulisan ini lebih menyoroti pada pembahasan tentang pengambilan data oleh Mun’im Sirry yang menyamaratakan semua pendapat sebagai temuan baru, dan menghiraukan ijma’. Sementara tulisan terkait ketidaktepatan atas apa yang ia kutip dari As-Suyuthi akan dibahas dalam tulisan terpisah.

Terlepas dari apa yang disebut oleh Abdul Wahab Ahmad, salah satu pakar ilmu kalam, bahwa model penelitian Barat seperti yang diangkat Mun’im sebenarnya tidak peduli dengan keilmuan Islam, melainkan sekadar menulis dan publikasi saja. Akan tetapi, sebagai pembelajar tradisi kajian Islam, merasa penting untuk mengulas dan menanggapinya sehingga dapat dipahami secara mendalam mengapa ijma’ menjadi landasan dogmatis dalam Kajian ilmu keIslaman dan bagaimana dasar teoritisnya.

Dasar Teori Ijma’ dalam Kajian Keislaman

Dr. Afifuddin Dimyati, dalam pengantar karyanya Irsyad ad-Darisin Ila Ijma’i al-Mufassirin mengutip dasar teori ijma’ yang dikemukakan oleh Imam Az-Zarkasyi:

“والسر في اختصاص هذه الأمة بالصواب في الإجماع أنهم الجماعة بالحقيقة؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم بعث إلى الكافة، والأنبياء قبله إنما بعث النبي لقومه، وهم بعض من كل. فيصدق على كل أمة أن المؤمنين غير منحصرين فيهم في عصر واحد، وأما هذه الأمة فالمؤمنون منحصرون فيهم، ويد الله مع الجماعة، فلهذا – والله أعلم – خصها بالصواب.”

Dalam teks tersebut, Az-Zarkasyi menjelaskan rahasia umat ini istimewa disebabkan standarisasi kebenaran didasari oleh kesepakatan atau konsensus (ijma’). Dasar teorinya adalah karena Nabi Muhammad Shallahu Alaihi Wasallam diutus secara kaffah kepada seluruh umat manusia, berbeda dengan nabi sebelumnya yang diutus hanya terbatas pada kaumnya sendiri (sebagian manusia saja). Sehingga dibenarkan bahwa sebutan mu’min pada umat terdahulu, tidak dibatasi oleh kalangan internal mereka saja, berbeda dengan zaman Nabi Muhammad yang disebut mu’min dibatasi oleh kalangan internalnya sendiri.

Az-Zarkasyi mengemukakan dasar teoritis mengapa ijma’ menjadi pijakan dalam proses kajian keislaman selain Al-Qur’an dan Hadis. Az-Zarkasyi melakukan suatu telaah historis atas diutusnya nabi secara kaffah kepada semua umat manusia. Dasar teoritis yang dikemukakan Az-Zarkasyi sangat sesuai dengan fakta sejarah, bahwa agama samawi sebelum Nabi Muhammad berjalan bersamaan dalam satu masa dengan agama samawi yang berbeda.

Seperti Yahudi dan Nasrani sebagai agama berbeda dan dianut oleh umat berbeda pula, serta berjalan beriringan dalam satu masa. Sebelum Nabi Muhammad diutus, kedua umat beragama ini disebut sebagai mu’min, tidak saja bagi penganut Yahudi ataupun penganut Nasrani. Atau di Jazirah Arab semisal, umat yang disebut mu’min adalah penganut syariat Nabi Ibrahim, sementara penyembah berhala yang mayoritas dianut oleh kaum jahiliahlah yang disebut kafir.

Berdasarkan kerangka sejarah genealogi beriringannya agama samawi sebelum Nabi Muhammad, ijma’ atau konsensus tidak mungkin diterapkan. Sebab, mu’min atau kebenaran pada masa itu masih terkotak-kotak dengan beriringannya agama samawi yang dipercaya oleh setiap umat tertentu. Berbeda dengan Nabi Muhammad yang diutus secara kaffah lil nas, yang otomatis menghapus agama terdahulu serta wajib diimani tidak saja oleh kalangan tertentu melainkan seluruh umat manusia.

Dasar teori ijma’ dalam Islam yang dikemukakan Az-Zarkasyi melalui fakta sejarah ini, menguatkan hadis nabi yang mengatakan “Yadullah ma’al jama’ah” yang berarti kesepakatan mayoritas adalah bagian dari kehendak Allah yang diridai. Oleh sebab itu, setelah nabi Muhammad, islam berjalan dengan dasar – dasar ilmu yang diajarkan oleh Nabi. Dengan berjalannya Kajian Keislaman ini dan fakta – fakta kehidupan Umat yang begitu kompleks terdapatlah Ijtihad dan analisis untuk menjawab persoalan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya dan tidak terjawab oleh Al Qur’an dan Hadis secara eksklusif. Sehingga Ijma’ menjadi hukum dalam kehidupan beragama.

Atas apa yang dikemukakan oleh az Zakrkasyi ini menunjukkan bahwa keilmuan Islam selama berabad-abad dengan proses bangunan dan nalar keilmuan yang tidak sebentar tidak saja sebagai hiasan agamis, melainkan berdasarkan sebuah dasar-dasar teori ilmu yang didasari penelitian mendalam dan metodologi yang mapan. Sebuah tuduhan bahwa praktek keagamaan saat ini yang berkembang menjadi mayoritas karena didasari oleh oknum-oknum doktrinal dari intelektual masa lalu sehingga menyebabkan berpikir stagnan dan menganggap adalah biang dari kemunduran umat muslim merupakan asumsi yang tidak berdasar.

Fenomena sarjana revisionis yang menawarkan doktrin-doktrin baru dan menganggap perlu adanya revisi pemahaman dari pandangan mayoritas menjadi suatu doktrin yang sangsi terhadap Islam sebagai agama. Sejumlah teori-teori modern yang ditawarkan kerap tidak mengindahkan konsensus (ijma’) ulama yang sudah mapan. Teori-teori metodologis modern ini kemudian dihadirkan terhadap Al-Qur’an yang dipandang sebagai asas tertinggi dalam pembentukan sosial peradaban. Pada akhirnya, Al-Qur’an dipandang sebagai sekadar manuskrip antik, sedangkan ajaran Islam disimpulkan sekadar sebagai ideologi yang mempengaruhi fenomena sosial

Author

Leave a Reply