Membaca Surah Al-Insyirah : Nilai-Nilai Kesehatan dan Etos Kerja
5 mins read

Membaca Surah Al-Insyirah : Nilai-Nilai Kesehatan dan Etos Kerja

Surah Al-Insyirah diawali dengan pertanyaan retoris yang bertujuan menegaskan objek yang dituju. Dalam bahasa Arab, pertanyaan retoris semacam ini disebut istifhām taqrīrī. Allah berfirman dalam Surah Al-Insyirah: “A-lam nasyrah laka shadrak”, yang berarti “Bukankah Kami telah melapangkan dadamu (wahai Muhammad)?” Pertanyaan semacam ini tentu tidak dimaksudkan untuk dijawab. Sebagaimana disampaikan oleh Ibnu ‘Asyur, pertanyaan ini bertujuan sebagai pengingat kepada Nabi Muhammad atas nikmat yang telah diberikan kepadanya, terutama jaminan kebaikan dalam dirinya di tengah-tengah respon negatif dari sebagian besar kaumnya dalam berdakwah.

Untuk menambah rasa optimis pada diri Nabi, Allah menegaskan dalam ayat selanjutnya: “Wa waḍa’nā ‘anka wizrak”, yang berarti “Dan Kami pun telah menurunkan beban darimu.” Dalam sejumlah tafsir dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan meringankan beban di sini adalah masuk Islamnya para pembesar Quraisy, seperti Umar bin Khattab dan Sayyidina Hamzah. Masuknya tokoh-tokoh penting tersebut telah meringankan beban dakwah Nabi Muhammad dalam menyebarkan Islam.

__________________________

Baca Juga

__________________________

Pesan Tentang Kesehatan

Terdapat kata-kata metaforis dalam Al-Qur’an yang mengandung nilai pembelajaran tentang kesehatan jasmani. Pertama adalah kata shadraka dalam ayat pertama, dan kedua adalah kata ẓahraka dalam ayat ketiga. Secara makna, shadraka berarti “dada” dan dẓahraka berarti “punggung.” Apabila Surah Al-Insyirah dibaca secara utuh—sekali lagi penulis tekankan bahwa ini bukanlah tafsir—akan muncul pemahaman penting sebagai pembelajaran (al-dirāsah) tentang kesehatan jasmani.

Ketika Al-Qur’an menyatakan bahwa Allah telah melapangkan dada Nabi, Ibnu ‘Asyur menafsirkan kata Nasyrahu sebagai “melapangkan.” Menurut beliau, kata al-syarḥ secara hakikat bermakna pemisahan satu bagian daging dari bagian lainnya (membelah). Ibnu ‘Asyur menjelaskan bahwa dari makna inilah muncul istilah al-tasyrīḥ (pembedahan) dalam bahasa Arab yang digunakan dalam ilmu kedokteran.

Jika dianalisis lebih dalam, makna literal yang diajukan Ibnu ‘Asyur memiliki korelasi dengan penafsiran para mufasir sebelumnya. Beberapa mufasir menafsirkan secara historis kata al-syarḥ sebagai peristiwa pembelahan dada Nabi sebelum peristiwa Isra’ Mi‘raj. Bahkan, menurut Anas bin Malik, peristiwa tersebut meninggalkan bekas pembelahan secara fisik pada dada Nabi.

Selanjutnya adalah kata dẓahraka, yang secara literal berarti “punggung.” Lebih penting dari itu adalah kata sebelumnya, yaitu anqaḍa, yang berarti “memberatkan.” Secara utuh, ayat ketiga bermakna “yang telah memberatkan punggungmu.” Para mufasir menafsirkan kata anqaḍa sebagai suara retakan yang keluar dari sendi-sendi akibat beratnya beban. Ayat ini secara keseluruhan memberikan pesan bahwa Allah telah meringankan beban dakwah Nabi.

Dari pemilihan kata shadraka dan anqaḍa, beserta konteksnya, tersirat pesan terkait kesehatan jasmani. Kata al-syarḥ mengandung pelajaran penting tentang keniscayaan ilmu sains, khususnya ilmu bedah, dalam mengangkat penyakit dalam. Pembedahan dalam dunia kedokteran umumnya merupakan pilihan terakhir dalam proses penyembuhan. Sementara itu, kata ẓahraka yang berarti punggung, mengandung pesan tentang pentingnya menjaga kesehatan jasmani, sekalipun dalam menghadapi beban kerja yang berat. Sebab, etos kerja seseorang akan terbentuk manakala kondisi fisiknya sehat dan terjaga.

Psikologi Kerja

Dalam Surah Al-Insyirah juga terkandung pesan psikologi perilaku kerja, yakni pentingnya melatih manajemen stres sebelum terjun ke dunia kerja. Hal ini dapat dipahami dari ayat kelima dan keenam. Dalam dua ayat tersebut, Allah memberikan pesan bahwa setiap kesulitan pasti disertai dengan kemudahan. Bahkan dalam menafsirkan ayat ini, Ibnu ‘Asyur mengutip hadis Qudsi yang menyebut bahwa Allah menciptakan satu kesulitan disertai dua kemudahan. Tersirat pesan bahwa setiap tantangan dalam pekerjaan pasti memiliki banyak jalan keluar dan solusi.

Poduktifitas Etos Kerja

Setelah kesehatan dan manajemen stres menjadi bekal, maka etos kerja perlu diperkuat. Tidak ada ruang untuk bersantai-santai dalam mencapai tujuan kerja yang sempurna. Allah berfirman dalam Surah Al-Insyirah ayat ketujuh: “Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan lainnya).” Kendati ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad dalam konteks dakwah, umat beliau tentu dapat mengambil hikmahnya.

Dalam ayat ketujuh ini, Allah mengajarkan kepada Nabi untuk terus melanjutkan (continue) pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya (luzūmul a‘māl). Dengan demikian, ayat ini memberikan pelajaran bahwa etos kerja yang mapan sangat diperlukan agar sebuah tujuan dapat tercapai. Sikap malas dan enggan bekerja keras bukan bagian dari struktur ideal yang diajarkan oleh Al-Qur’an.

Penutup

Surah Al-Insyirah bukan hanya menyimpan makna spiritual yang mendalam, tetapi juga memuat pesan-pesan universal yang relevan dalam kehidupan modern, khususnya dalam hal kesehatan jasmani dan etos kerja. Pemilihan diksi seperti shadraka dan dẓahraka mengisyaratkan pentingnya menjaga kondisi fisik sebagai modal utama dalam menjalani tugas hidup dan tanggung jawab sosial. Selain itu, ayat-ayat yang menekankan adanya kemudahan setelah kesulitan, serta dorongan untuk terus bekerja keras setelah menyelesaikan suatu urusan, memberikan pijakan kuat dalam membangun psikologi kerja yang sehat dan produktif. Dengan membaca Surah Al-Insyirah secara reflektif, umat Islam dapat menggali nilai-nilai praktis yang selaras dengan semangat kemajuan dan profesionalisme dalam kehidupan sehari-hari.

Author