IKN dan Jokowi: Tala’ah Geografis Al Mansur dan Ibu Kota Baghdad
Tahun ini akan tercatat dalam sejarah merupakan tahun istimewa. Mengingat dalam rangka memperingati hari ulang tahun yang ke-79, Indonesia menggelar pertama kalinya perayaan HUT Kemerdekaan di Ibu Kota Nusantara sebagai ibu kota baru. Peringatan istimewa ini juga disimbolkan dalam jargon HUT Kemerdekaan ke-79 yang berbunyi “Nusantara Baru, Indonesia Maju.” Ibu Kota Nusantara sendiri, sebagaimana telah diketahui, merupakan ibu kota baru yang dibangun di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi sebagai bagian dari program strategis nasional yang direncanakan sejak pertengahan tahun 2019 dan dimulai pembangunannya pada tahun 2021.
Perpindahan ibu kota dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara, jika membaca sejarah bangsa-bangsa masa lalu, bukan merupakan hal yang tidak lumrah. Pemindahan ibu kota merupakan bagian dari strategi dalam membangun sebuah bangsa yang lebih kuat dari beberapa aspek. Dikutip dari ikn.go.id, secara virtual dalam Peresmian Pembukaan Rakernas Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Presiden Jokowi menyampaikan, “IKN akan kita jadikan sebagai sebuah showcase transformasi, baik di bidang lingkungan, cara kerja, basis ekonomi, teknologi, dan lain-lainnya, termasuk di bidang pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih berkualitas.”
Apabila kita membuka lembar-lembar sejarah peradaban sebelum peradaban modern seperti sekarang, akan ditemukan sejumlah strategi pemerintahan untuk mencapai sebuah misi dengan strategi geografis berupa pemindahan ibu kota. Seperti pada zaman Dinasti Abbasiyah, sejak berdirinya setelah merebut kekuasaan dari Dinasti Umayyah yang beribu kota di Damaskus pada tahun 750 M, bangsa ini berpindah-pindah ibu kota. Di bawah kepemimpinan Abdullah As-Saffah, ibu kota semula berada di Kufah, lalu berpindah ke Hamam A’yun. Setelah Abdullah As-Saffah wafat, kepemimpinan dilanjutkan oleh Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad Al-Mansur. Pada masa Al-Mansur inilah, ibu kota Abbasiyah diresmikan di Baghdad.
__________________________
Baca Juga
- Hakikat Cinta dalam Perspektif Tafsir Asy-Sya’rawi
- Mengenal Ilmu Studi Quran : Dari Zaman Klasik Hingga Kontemporer
- Mendidik dengan Hati, Cinta dan Doa Ala Rasulullah Saw
- Mengurai Keutamaan 10 Hari Bulan Dzulhijjah dalam Al-Quran dan Hadits
- Dilema Perjodohan: Menyelami Perspektif Islam Antara Cinta, Ketaatan, dan Kebahagiaan
- Masih Belum Terlambat, Kiat Berburu Malam Lailatul Qadr
- Antara Pengetahuan Konseptif dan Asensif
__________________________
Dalam catatan Muhammad Arifin Badri, pada saat Al-Mansur menjadi khalifah kedua, Baghdad sebagai ibu kota baru, pada mulanya merupakan wilayah padang pasir yang jauh dari kota-kota lainnya. Alasan pemilihan kota ini, menurut catatan Badri, adalah untuk membangun kekuatan militer yang tangguh sehingga tidak terkontaminasi oleh kepentingan lain yang berinteraksi dengan pemerintahan.
Meskipun dalam catatan historis disebutkan bahwa Baghdad pada mulanya berupa padang pasir luas yang jauh dari keramaian peradaban sebelumnya, ibu kota Baghdad kemudian menjelma menjadi kota besar, pusat peradaban, dan pusat literasi masyarakat Muslim. Terbukti di kota Baghdad ini pada masanya terdapat perpustakaan terbesar yang bernama Baytul Hikmah.
Secara geografis, perpindahan ibu kota Islam yang pada mulanya berpusat di Madinah (masa Khulafaur Rasyidin), kemudian Damaskus (masa Dinasti Umayyah), hingga akhirnya ke Baghdad, yang disebut sebagai padang pasir luas jauh dari perkotaan, merupakan langkah strategis. Di Kalimantan Timur, tempat di mana Ibu Kota Nusantara dibangun tidak jauh berbeda dengan kondisi awal Ibu Kota Baghdad, yang merupakan daerah dengan jumlah penduduk yang relatif rendah dibandingkan dengan Jakarta, bahkan dengan provinsi lain.
Dilansir oleh Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, dari sejumlah penduduk Indonesia yang mencapai 271,35 juta jiwa hingga Desember 2020, sebanyak 131,79 juta jiwa atau 55,94% penduduk Indonesia berada di Jawa. Proporsi penduduk Indonesia yang berada di Sumatera mencapai 21,73%. Sebanyak 7,43% penduduk Indonesia berada di Sulawesi. Kemudian, 6,13% penduduk Indonesia berada di Kalimantan.
Berdasarkan angka tersebut, Kalimantan merupakan daerah dengan penduduk yang relatif sedikit, berbeda dengan Jawa, khususnya Jakarta, yang proporsi penduduknya sangat padat. Kepadatan tersebut menyebabkan keramaian yang berimplikasi menimbulkan beragam persoalan, seperti polusi udara dan air, termasuk di antaranya adalah kemacetan lalu lintas. Menurut riset World Bank pada tahun 2019, kemacetan mengakibatkan kerugian ekonomi sebesar 65 triliun per tahun. Sementara itu, Jakarta berada pada tingkat kemacetan 53 persen, dengan peringkat 10 sebagai kota termacet di Asia.
Berdasarkan catatan Eddy Cahyono Sugiarto (Karo Humas Kemensetneg) dalam artikelnya yang berjudul “IKN Nusantara Magnet Pertumbuhan Ekonomi Baru dan Smart City,” akibat kemacetan tersebut, peningkatan 1 persen urbanisasi di Indonesia hanya bisa meningkatkan 1,4 persen produk domestik bruto. Pembangunan Ibu Kota Nusantara di hutan produksi dengan lahan seluas 256.000 hektare menjadi momentum untuk keluar dari persoalan ibu kota Jakarta, dan merubah paradigma pemerintahan yang selama ini pembangunannya terkesan Jawa-sentris.
Pembangunan Ibu Kota Nusantara yang dibangun di hutan di daerah Kalimantan, dengan penduduk yang secara umum relatif sedikit dibandingkan dengan Jawa, khususnya ibu kota Jakarta, menjadi nilai tersendiri bagi pembangunan peradaban bangsa yang lebih maju dan inklusif. Belajar dari pemerintahan Islam pada zaman Dinasti Abbasiyah dengan ibu kota Baghdadnya, dari padang pasir luas menjelma menjadi pusat peradaban dunia dalam beberapa sektor. Atas dasar geografis pembangunan Ibu Kota Nusantara ini, diharapkan akan menjadi sumber kemajuan Indonesia yang lebih luas.
Baghdad beserta peradaban ilmu pengetahuannya, yang tercatat sebagai bagian dari sejarah Islam, cukup lama disegani oleh bangsa lain. Sementara itu, Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam merupakan sejarah baru dalam dunia Islam. Ada banyak kalangan yang berharap Indonesia kelak dapat mengembalikan kejayaan Islam seperti pada masa lalu.
Meskipun Indonesia tidak merupakan negara syariat, dengan keberagaman agama yang ada, nilai-nilai Islam terbukti telah mengawal keberagaman dengan norma-norma Nusantara yang khas. Setelah terbangunnya dasar-dasar ideologi negara seperti Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika oleh para pendahulu, Indonesia dengan strategi geografis berupa perpindahan ibu kota ini, akan menjadi harapan baru bagi Indonesia yang lebih maju.