“Menyemai Sunnah: Kerja Sosial Kiai Kampung dalam Merangkai Jamaah (Telaah Antropologis Kiai Paman dan Masyarakat Resongo)”
Suatu hari, penulis berbincang ringan dengan paman di dalam mobil Carry keluaran tahun 1980-an. Mobil ini berwarna dongker, hampir sewarna dengan celana sekolah anak SMP. Kendatipun mobil ini sudah tua, mesinnya masih bagus. Waktu itu, walaupun perjalanan tidak ditemani AC seperti mobil zaman sekarang, perbincangan kami berdua cukup mengasyikkan.
Paman ini adalah adik dari ibu, berarti penulis masih terhitung sebagai keponakan. Dalam perbincangan dalam mobil, penulis berseloroh, “Akademisi Islam bergelar belum tentu memiliki pengaruh kepada akar rumput, Paman.”
Kemudian penulis melanjutkan, “Akan tetapi, kendatipun tidak bergelar, kiai-kiai yang tidak bergelar kerap menjadi objek penelitian para cendekiawan untuk mendapatkan gelar.” Sambil menyetir mobil tua itu, paman mendengarkan.
Ucapan saya ini bermula dari perbincangan atas anggapan bahwa suatu lembaga dinilai memiliki nilai tinggi ketika telah menelurkan alumni yang memiliki gelar ciamik dan jabatan-jabatan strategis. Anggapan ini memang tidak sepenuhnya salah, juga tidak sepenuhnya benar. Sebab ketika nilai suatu lembaga pendidikan dinilai dari jabatan-jabatan formal saja, berarti pendidikan terbatas hanya mengelola manusia untuk jabatan dan gelar, bukan tentang kebermanfaatan.
Sekitar satu tahun terakhir, penulis berkecimpung dengan lingkungan akademis formal itu. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, yang hanya berkecimpung dengan internal kelompok santri-santri tradisional, paling istimewa ketika bertemu kiai kampung. Penulis pernah sekitar dua tahun hidup dengan melihat artikulasi kerja sosial kiai desa di dua tempat berbeda. Keduanya memiliki akar kuat bersama jamaahnya dengan caranya masing-masing.
Berbeda dengan satu tahun terakhir ini, minimal bertemu dengan kolega lulusan sarjana strata 1, selebihnya magister, doktor, dan profesor sebagai guru dalam perkuliahan, atau dalam seminar-seminar. Hidup dalam lingkaran akademisi formal ini, sebagai orang desa, penulis tidak menyia-nyiakan kesempatan begitu saja. Betul-betul dimanfaatkan sebagai ilmu baru. Dalam pergulatan bersama para kolega akademis ini, begitu terasa bahwa yang dikejar kelompok ini adalah tentang karir, bukan lagi berbicara pengaruh dan kemanfaatan di akar rumput, kecuali yang benar-benar seorang akademisi.
Kiai Paman, dan Masyarakat Resongo.
Sebagai salah seorang saksi hidup di lingkungan sendiri, penulis mengamati kerja sosial yang dibangun oleh sosok yang oleh penulis tadi disebut Paman. Banyak hal yang dipelajari penulis darinya dalam merangkai jamaah dengan terapan sunnah yang dibangun sendiri. Kerja-kerja sosialnya dibangun tanpa mengandalkan orang tua atau marketing seperti kebanyakan para kiai pada umumnya. Kendatipun pelopor jamaahnya berawal dari ketokohan para leluhurnya, tetapi berdasarkan pandangan penulis, itu tidak lebih sekadar relasi, bukan pondasi bangunan yang sedang diartikulasikan.
Bermula dari kajian Tafsir Jalalain bersama dua orang kepadanya. Dua orang ini berasal dari daerah Resongo, Kecamatan Kuripan, sebuah daerah di sekitar lereng Gunung Bromo. Daerahnya cukup pelosok, dan tingkat pendidikannya masih perlu perhatian penting. Dari dua orang ini, paman mulai mengenal lingkungan masyarakat Resongo lebih dekat. Dari situ, ia mulai melihat banyak keprihatinan dan kegelisahan karena nilai-nilai agama di daerah itu masih tidak tersampaikan dengan baik.
Sembari mendekati para pemuda di lingkungannya sendiri, di rumah istrinya, daerah Muneng Sumberasih. ia juga mulai mendekati masyarakat Resongo melalui dua orang yang mengaji tafsir tadi. Sementara itu, di kediamannya sudah dirutinkan setiap seminggu sekali mengaji kitab-kitab turats para ulama. Kajian ini bermula dari sekitar tiga orang pemuda dewasa yang mendatanginya ingin mengaji kitab Al-Hikam karya Imam Athaillah karena terinspirasi dari kajian-kajian Gus Baha’ di YouTube. Kendatipun jamaahnya masih sekadar kurang lebih 10 orang (selain santri yang muqim), sampai sekarang, kajiannya masih istiqamah setiap malam Ahad.
Sementara di Resongo, sedikit demi sedikit terajut jamaah kajian. Setiap satu bulan sekali bersama para bapak-bapak sekitar, Kiai Paman mengaji kitab tafsir Jalalain. Di lain hari, bersama ibu-ibu Muslimat. Otoritas keagamaan yang dibangun oleh paman ini berjalan dengan baik. Berkat bangunan sosial keagamaan di masyarakat ini, sekarang di daerah itu telah terbangun masjid dengan bangunan kokoh. Sebagai Nadzir, ia mengawal pembangunan sejak peletakan batu pertama, pondasi hingga terbangunnya arsitektur-arsitekturnya dan kubah nan kokoh. Sekarang masjid ini menjadi pusat kajian setiap satu bulan sekali bersama masyarakat.
Terbangunnya kerja sosial dalam merangkai jamaah yang dilakukan oleh Kiai Paman tadi bukanlah pekerjaan yang mudah. Semuanya didasari oleh pergulatan pikiran, tenaga, dan spiritualitas yang tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dari jarak antara kediamannya dan daerah Resongo sebagai objek dakwah yang bukanlah jarak dekat. Dari daerah dekat pintu tol menuju daerah sekitar lereng Gunung Bromo. Dari daerah yang cukup dibilang perkotaan menuju daerah desa pelerengan.
Dalam merajut Jama’ah ini, tidak saja mengalir begitu saja. Yang dilakukan dalam menyamai sunnah di tengah tengah masyarakat oleh-Nya dilakukan dengan cara egaliter dan ketulusan. Masyarakat desa yang tergolong sebagai berperekonomian menengah ke bawah, didekati tidak dengan cara intimidasi membangun image dirinya sebagai sosok yang shalih. Hal awal yang dilakukan adalah hadir di hati jama’ah dengan posisi sebagai sama – sama sosok petani, yang hidup sama, akan tetapi kebetulan diberikan kelebihan ilmu.
Di sisi lain, oleh kedua muridnya, ia mulai diperkenalkan kepada masyarakat dengan mengundangnya dalam tasyakuran-tasyakuran kecil-kecilan bersama masyarakat setempat. Dalam perkumpulan-perkumpulan ini, ia tidak menampilkan dirinya sebagai sosok tokoh yang bertarif atau yang berharap salam templek. Bahkan dalam kajian yang saat ini sudah berjalan, ia hadir sebagai penyumbang konsumsi berupa roti untuk sekitar 70-an jamaah.
Kata paman dalam suatu kesempatan, “Kalau saya disebut semangat melakukan semua ini karena telah mendapat keuntungan berupa materi, keuntungan dari apa? Saya itu tidak dapat apa-apa, bahkan saya penyedia konsumsi setiap kajian.”
Kemudian paman melanjutkan, “Akan tetapi, saya cukup terheran, setiap kali datang jadwal mengaji, ada saja uang untuk membeli konsumsi itu, walaupun dua hari atau bahkan satu hari sebelumnya, saya resah karena tidak punya uang sama sekali untuk konsumsi jamaah,” ujarnya.
Perjalanan dakwah yang dilakukan oleh Kiai Paman ini, menunjukkan relasi yang dibangun dengan berupa mobilitas melalui keterikatan hati antara seorang yang dipandang otoritaif beserta objek masyarakat. Kerja sosial yang adaptif dengan lingkungan dan tidak mengintimidasi atau membuat hukum sebab akibat, sebagai sosok orang shalih atau pendosa.
Di samping pula, yang dilakukan oleh Kiai Paman ini, meruntuhkan pandangan masyarakat yang menjauh dari para tokoh agama karena memandang bahwa ahli agama perlu dilayani dengan hormat dan perlu bersikap royal dengan mengeluarkan banyak biaya. Amaliah naratif yang dilakukan membuat masyarakat merasa dekat dan memandang bahwa Kiai Paman adalah manusia yang sama. Sehingga tidak lagi terbebani finansial untuk belajar kepada ahli agama.
_________________________
Baca Juga
- Media Mengenal Allah SWT
- Dua Do’a Dalam al-Qur’an Untuk Mensyukuri Kemerdekaan
- IKN dan Jokowi: Tala’ah Geografis Al Mansur dan Ibu Kota Baghdad
- Hakikat Cinta dalam Perspektif Tafsir Asy-Sya’rawi
- Mengenal Ilmu Studi Quran : Dari Zaman Klasik Hingga Kontemporer
- Mendidik dengan Hati, Cinta dan Doa Ala Rasulullah Saw
- Mengurai Keutamaan 10 Hari Bulan Dzulhijjah dalam Al-Quran dan Hadits
- Dilema Perjodohan: Menyelami Perspektif Islam Antara Cinta, Ketaatan, dan Kebahagiaan
- Masih Belum Terlambat, Kiat Berburu Malam Lailatul Qadr
- Antara Pengetahuan Konseptif dan Asensif
__________________________
Kerja sosial yang oleh Ismail Fajri Al-Attas diistilahkan dalam bukunya menyemai sunnah merangkai jamaah, yang dilakukan sosok yang disebut Kiai Paman oleh penulis ini, merupakan contoh telaah antropologis masyarakat dengan otoritas tokoh sebagai jembatan dalam menghubungkan sunnah kenabian di tengah masyarakat muslim.
Mobilitas masyarakat muslim yang dilakukan oleh Kiai Paman ini, menurut Ismail Fajri Al-Attas, merupakan genealogi yang menandai saluran diakronis yang menghubungkan masa kini dengan masa kenabian serta menjadi infrastruktur konseptual yang menjunjung penyebaran ajaran Nabi. Secara sederhana, ia telah memperluas transmisi keilmuan yang diajarkan guru-gurunya sebagai alumni pesantren di pinggir sungai yang disebut pesantren Banyu Putih itu.