Istighfar dan Kedudukan Rasulullah SAW: (Tafsir Tematik Surat An-Nisa’ Ayat 64-65)
8 mins read

Istighfar dan Kedudukan Rasulullah SAW: (Tafsir Tematik Surat An-Nisa’ Ayat 64-65)

Surat An-Nisa’ ayat 64 dan 65 merupakan dua ayat yang sarat makna dan implikasi mendalam bagi umat Islam. Ayat-ayat ini tidak hanya berbicara tentang istighfar (memohon ampunan) dan kedudukan Rasulullah SAW, tetapi juga tentang hakikat iman, ketaatan, dan jalan menuju keselamatan. Memahami tafsir kedua ayat ini secara komprehensif akan membuka wawasan kita tentang betapa pentingnya istighfar dalam membersihkan diri dari dosa, dan betapa agungnya kedudukan Rasulullah SAW sebagai suri teladan dan penentu keabsahan iman seseorang. Artikel ini akan membahas tafsir tematik Surat An-Nisa’ ayat 64-65, dengan fokus pada istighfar dan kedudukan Rasulullah SAW, serta relevansinya dalam kehidupan modern. Mari kita menyelami makna-makna yang terkandung di dalamnya, agar kita dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا لِيُطَاعَ بِاِذْنِ اللّٰهِۗ وَلَوْ اَنَّهُمْ اِذْ ظَّلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ جَاۤءُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللّٰهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللّٰهَ تَوَّابًا رَّحِيْمًا

Kami tidak mengutus seorang rasul pun, kecuali untuk ditaati dengan izin Allah. Seandainya mereka (orang-orang munafik) setelah menzalimi dirinya datang kepadamu (Nabi Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.

Ayat ini menegaskan bahwa setiap rasul yang diutus oleh Allah SWT, termasuk Rasulullah SAW, memiliki otoritas untuk ditaati. Ketaatan kepada rasul adalah bagian integral dari ketaatan kepada Allah SWT. Lebih lanjut, ayat ini membuka pintu ampunan bagi mereka yang telah berbuat dosa, asalkan mereka datang kepada Rasulullah SAW, memohon ampun kepada Allah SWT, dan Rasulullah SAW pun memohonkan ampun untuk mereka.

Frasa  اِذْ ظَّلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ (ketika menganiaya dirinya) menunjukkan bahwa dosa adalah tindakan yang merugikan diri sendiri. Setiap dosa yang kita lakukan, sekecil apapun, akan meninggalkan bekas luka di hati kita, menghitamkan jiwa, dan menjauhkan kita dari rahmat Allah SWT. Oleh karena itu, istighfar adalah kebutuhan mendesak bagi setiap Muslim. Ia adalah obat bagi jiwa yang terluka, pembersih hati yang kotor, dan jalan kembali kepada Allah SWT.

__________________

Baca Juga

__________________

Keutamaan datang kepada Rasulullah SAW (ketika beliau masih hidup) untuk memohonkan ampunan adalah sesuatu yang istimewa. Hal ini menunjukkan betapa tinggi kedudukan Rasulullah SAW di sisi Allah SWT. Beliau adalah perantara antara Allah SWT dan umatnya, penolong di dunia dan akhirat. Namun, bagaimana dengan kita yang hidup di zaman sekarang, ketika Rasulullah SAW sudah wafat? Para ulama menjelaskan bahwa kita tetap dapat mengambil manfaat dari ayat ini dengan cara meneladani sunnah-sunnah Rasulullah SAW, mencintai beliau dengan sepenuh hati, dan bershalawat kepada beliau.

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

(Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya).

Ayat ini menegaskan bahwa iman seseorang tidak akan sempurna sampai ia menjadikan Rasulullah SAW sebagai hakim dalam segala urusan, baik urusan duniawi maupun urusan agama. Lebih dari itu, ia harus menerima segala keputusan Rasulullah SAW dengan lapang dada dan tanpa keberatan sedikit pun.

Frasa فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا  (dalam hati mereka sesuatu keberatan) menunjukkan bahwa iman bukan hanya sekadar pengakuan di lisan, tetapi juga keyakinan yang mendalam di hati. Seseorang yang benar-benar beriman akan tunduk dan patuh kepada segala perintah dan larangan Allah SWT dan Rasulullah SAW, tanpa merasa berat atau terpaksa. Ia akan menerima segala ketentuan Allah SWT dengan lapang dada, meskipun ketentuan tersebut tidak sesuai dengan keinginannya.

Kedua ayat ini saling melengkapi dan memberikan gambaran yang utuh tentang pentingnya istighfar dan kedudukan Rasulullah SAW dalam Islam. Istighfar adalah jalan untuk membersihkan diri dari dosa, sedangkan ketaatan kepada Rasulullah SAW adalah syarat untuk mencapai kesempurnaan iman. Dengan menggabungkan kedua hal ini, kita akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Lantas, bagaimana kita mengaplikasikan pesan-pesan dari Surat An-Nisa’ ayat 64-65 dalam kehidupan modern? Berikut beberapa langkah praktis yang dapat kita lakukan:

  1. Memperbanyak Istighfar: Jadikan istighfar sebagai bagian dari rutinitas harian kita. Ucapkan istighfar setiap kali kita melakukan kesalahan, sekecil apapun. Kita dapat membaca istighfar dengan berbagai lafaz, seperti “Astaghfirullahal’adzim” atau “Rabbighfirli wa tub ‘alayya innaka antat tawwabur rahim.”
  2. Meneladani Sunnah Rasulullah SAW: Pelajari dan amalkan sunnah-sunnah Rasulullah SAW dalam segala aspek kehidupan kita, mulai dari ibadah, muamalah, hingga akhlak. Jadikan Rasulullah SAW sebagai suri teladan utama kita.
  • Mencintai Rasulullah SAW dengan Sepenuh Hati: Tanamkan cinta kepada Rasulullah SAW di dalam hati kita. Perbanyak membaca shalawat kepada beliau, mempelajari sirahnya, dan mengikuti jejak langkahnya.
  • Menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah Sebagai Pedoman Hidup: Jadikan Al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber hukum dan pedoman hidup kita. Setiap kali kita menghadapi masalah, kembalilah kepada Al-Qur’an dan sunnah untuk mencari solusinya.
  • Menerima Segala Ketentuan Allah SWT dengan Lapang Dada: Yakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah atas izin dan kehendak Allah SWT. Terimalah segala ketentuan Allah SWT dengan lapang dada, meskipun ketentuan tersebut tidak sesuai dengan keinginan kita.

Dengan mengamalkan langkah-langkah ini, kita akan semakin dekat dengan Allah SWT dan Rasulullah SAW, serta mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Surat An-Nisa’ ayat 64-65 adalah pengingat yang berharga bagi kita semua untuk senantiasa bertaubat kepada Allah SWT dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Mari kita jadikan ayat-ayat ini sebagai inspirasi untuk menjadi Muslim yang lebih baik, lebih beriman, dan lebih bertakwa.

Selain itu, penting untuk ditekankan bahwa istighfar tidak hanya sekadar mengucapkan kata- kata ampunan di lisan. Istighfar yang sejati harus disertai dengan penyesalan yang mendalam di hati, tekad yang kuat untuk tidak mengulangi kesalahan, dan upaya untuk memperbaiki diri. Istighfar yang tulus akan membersihkan hati kita dari noda-noda dosa, menenangkan jiwa yang gelisah, dan membuka pintu rahmat Allah SWT.

Kedudukan Rasulullah SAW sebagai suri teladan juga sangat penting untuk dipahami. Beliau adalah manusia terbaik yang pernah hidup di muka bumi, contoh sempurna dari seorang Muslim yang taat, jujur, amanah, dan penyayang. Meneladani Rasulullah SAW adalah kunci untuk mencapai kesuksesan dan kebahagiaan dalam hidup. Kita dapat mempelajari sunnah- sunnah beliau melalui hadis-hadis yang sahih, dan berusaha untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Ketaatan kepada Rasulullah SAW juga berarti taat kepada para ulama yangSaleh, yang mengikuti jalan beliau dan mengajarkan ilmunya dengan ikhlas. Para ulama adalah pewaris para nabi, dan mereka memiliki peran penting dalam membimbing umat Islam menuju jalan yang benar. Kita harus menghormati dan menghargai para ulama, serta mendengarkan nasihat- nasihat mereka.

Di era modern yang penuh dengan tantangan dan godaan ini, pesan-pesan dari Surat An-Nisa’ ayat 64-65 semakin relevan. Kita hidup di zaman di mana dosa dan maksiat merajalela, di mana nilai-nilai moral semakin tergerus, dan di mana banyak orang yang kehilangan arah dan tujuan hidup. Dalam situasi seperti ini, istighfar dan ketaatan kepada Rasulullah SAW adalah benteng pertahanan yang kokoh bagi kita. Dengan berpegang teguh pada kedua hal ini, kita akan mampu menghadapi segala tantangan dan godaan, serta tetap berada di jalan yang lurus.

Surat An-Nisa’ ayat 64-65 adalah cermin bagi diri kita. Ia adalah pengingat bahwa kita bukanlah manusia yang sempurna, bahwa kita seringkali melakukan kesalahan dan dosa. Namun, Allah SWT Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Ia selalu membuka pintu taubat bagi siapa saja yang ingin kembali kepada-Nya. Mari kita manfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin, dengan memperbanyak istighfar, meneladani Rasulullah SAW, dan menjadikan Al- Qur’an dan sunnah sebagai pedoman hidup kita. Dengan demikian, kita akan menjadi umat yang dicintai oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW, serta mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Semoga Allah SWT memberikan kita taufik dan hidayah untuk dapat mengamalkan pesan- pesan dari Surat An-Nisa’ ayat 64-65 dalam kehidupan sehari-hari. Amin.

Daftar Pustaka

  1. Al-Qurthubi, M. A. (2003). Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah. Ibn Kathir, I. (1999). Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Dar Taybah.
  2. Al-Tabari, M. J. (2001). Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an. Dar Hijr.
  3. Al-Zamakhshari, M. A. (1998). Al-Kashshaf ‘an Haqa’iq Ghawamid at-Tanzil. Dar Al- Kitab Al-Arabi.
  4. Ar-Razi, F. (1981). Mafatih Al-Ghaib (Tafsir Al-Kabir). Dar Al-Fikr.

Author