Seni Memahami Perempuan: Antara Fitrah dan Relasi Sosial
Memahami perempuan merupakan salah satu perkara yang tidak mudah. Perempuan memiliki hati yang sulit ditebak, dan karena itu mereka menjadi makhluk unik yang diciptakan oleh Tuhan. Oleh sebab itu, memahami perempuan memerlukan seni bagi seorang laki-laki, sebagai satu-satunya subjek dari perempuan dalam poros perjalanan kehidupan di dunia ini.
Jika oleh kebanyakan orang diibaratkan bahwa perempuan terbuat dari tulang rusuk Nabi Adam, yang seolah-olah mudah patah dan tidak bisa sembarangan digenggam, maka laki-laki adalah subjek atas genggaman itu. Keseimbangan antara perempuan dan laki-laki dalam konteks karakteristiknya tidak ada kaitannya dengan bahasan perempuan sebagai pemimpin, penggerak, atau hal sejenisnya.
Secara kimiawi, perempuan memiliki hormon yang menyebabkan mood swing, seperti tiba-tiba marah, sedih, manja, malas, bahkan depresi. Hormon ini disebut hormon estrogen. Misalnya, pada hampir masa premenstrual syndrome (PMS), perubahan kerja serotonin sebagai senyawa kimia di otak bertugas mengatur situasi dan suasana hati. Oleh karena itu, karakteristik perempuan ini tidak bisa dijadikan alasan untuk menyebut mereka sebagai sosok yang lemah. Sebab, sebagai bagian dari fitrah, hal ini adalah ciri khas alamiah sebagai seorang makhluk.
Baca Juga
Kisah Ummu Sulaim, dan 7 putranya yang Semua Hafidz al-Qur’an
Berdasarkan percakapan penulis dengan sekian banyak orang dari berbagai latar belakang, perempuan adalah sosok yang kerap membuat laki-laki bingung. Kebingungan ini sering berdampak pada hubungan yang tidak harmonis, atau menyebabkan laki-laki menyerah untuk bersikap mengalah. Tidak mengherankan jika perempuan dalam beberapa literatur dogmatis kerap menjadi objek, sementara laki-laki adalah subjek. Lagi-lagi, karena fitrah, perempuan adalah sosok yang ingin dimengerti atas fitrah yang ada dalam dirinya.
Dalam relasi sosial asmara, misalnya, perempuan memerlukan komunikasi dari pihak laki-laki agar sebuah hubungan tetap kuat. Dalam hal ini, laki-laki tidak bisa meninggikan idealismenya sehingga perempuan dipandang hanya sebagai teman saat sepi, yaitu saat kolega kerja laki-lakinya tidak ada. Kesibukan seorang laki-laki yang berperan sebagai sosok tangguh di ranah sosial kerja tidak bisa diterapkan dalam relasi sosial asmara dengan kekasihnya.
Kasus-kasus KDRT, misalnya, adalah salah satu akibat dari laki-laki yang menerapkan relasi sosial kerja dalam relasi sosial asmara dengan pasangannya. Kesalahan yang dilakukan oleh perempuan sering kali dijadikan sebagai masalah yang, di dunia kerja, dianggap sebagai kerugian. Padahal, perempuan bukanlah karyawan eksternal dalam dunia kerja laki-laki; mereka adalah dunia lain di luar dunia sosial kerja dengan kebijakan yang berbeda.
Oleh sebab itu, kesalahan yang dilakukan perempuan dalam hubungan asmara tidak sepenuhnya merupakan kesalahan perempuan itu sendiri. Bisa jadi, hal ini adalah akibat dari kurangnya komunikasi dari pihak laki-laki. Dalam hal ini, laki-laki membutuhkan seni untuk memahami dan berinteraksi dengan perempuan sehingga sang kekasih tidak memiliki celah untuk berbuat salah. Inilah salah satu hikmah nafkah; dengan nafkah, perempuan akan dimanja oleh seorang laki-laki.
Namun, kekurangan seorang laki-laki dalam menerapkan seni komunikasi bukan alasan bagi perempuan untuk bersikap tidak baik ketika sang laki-laki egois atau kurang pandai berseni. Fitrah perempuan yang ingin dimengerti tidak lantas menjadi alasan untuk memperlakukan tabiatnya sebagai sesuatu yang lumrah tanpa kontrol. Sebab, menjaga diri bagi perempuan adalah hal yang krusial dan penting. Perempuan lebih terlihat istimewa saat mampu melawan fitrahnya di balik laki-laki yang sedang berjuang. Hubungan inilah yang kemudian menjadi sebuah interaksi sosial antara dua pasangan yang dipuji oleh Allah dalam Al-Qur’an, yaitu perempuan yang shâliḥâtu qânitâtun ḥâfidhâtul lil-ghaibi bimâ ḥafidhallâh, yaitu mereka yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika (laki-lakinya) tidak ada karena Allah telah menjaga mereka.