Haruskah Mengetahui Kebenaran Sebelum Menyalahkan?
4 mins read

Haruskah Mengetahui Kebenaran Sebelum Menyalahkan?

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali menemui sosok yang tiba-tiba menilai bahwa suatu klaim salah, sementara ia belum betul-betul memahami mana yang benar. Fenomena seperti ini seolah-olah sudah menjadi bagian dari keseharian dalam bermedia sosial, menyalahkan tanpa mengetahui seperti apa yang benar. Untuk meluruskan persoalan tersebut, pada kesempatan kali ini penulis akan memberikan beberapa penjelasan terkait pertanyaan: Apakah kita harus mengetahui kebenaran terlebih dahulu sebelum menyalahkan? Dalam rangka meluruskan pemahaman yang berupa “bahwa sosok yang menjadi juri pidato harus mengetahui tipe pidato yang benar sehingga bisa menyalahkan peserta jika tidak sesuai dengan kaedah kebenaran pidato”.

Secara sederhana bisa kita definisikan kebenaran sebagai klaim yang sesuai dengan kenyataan atau fakta, sedangkan dusta atau salah merupakan klaim yang bertolak belakang dengan fakta, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Akhdari dalam kitabnya Syarh Hilyatu Lubbil Masun:

وفي حد الصدق والكذب أقوال أربعة: الأول وهو أصحها أن الصدق مطابقة حكم الخبر للواقع والكذب عدم مطابقته له

Artinya: terdapat empat pendapat mengenai definisi benar dan dusta, pendapat pertama yang paling sahih mendefinisikan kebenaran sebagai informasi yang sesuai dengan fakta, sedangkan dusta atau kesalahan adalah informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan.

Benar dan salah merupakan dua hal yang saling kontradiksi, tidak mungkin bersatu sekaligus tidak ada pilihan ketiga selain  darinya (benar atau salah). Jika sebuah klaim dinilai benar maka tidak bisa dikatakan salah, begitu juga sebaliknya, jika klaim dinyatakan salah maka tidak bisa dikatakan benar, dan tidak mungkin sebuah klaim terhindar dari salah satu penilaian benar atau salah selama klaim tersebut berbentuk informasi.

_______________

Baca Juga

_______________

Sekarang kita aplikasikan pada sebuah kasus, yaitu persoalan pendapat ulama salaf tentang ayat mutasyabihat, mereka lebih condong menganut konsep tafwidl makna (menyerahkan pengetahuan makna dari ayat mutasyabihat kepada Allah SWT.), namun meskipun sedemikian, mereka tetap menyalahkan pemaknaan ayat mutasyabihat dengan dzahirnya (makna yang spontan difahami oleh otak, seperti kata Yadun secara langsung otak memahami sebagai tangan yang berbentuk daging).

Ulama salaf menganggap salah jika kata istawa diartikan bersemayam, akan tetapi mereka tidak memberikan kejelasan akan makna yang benar. Seolah sikap ulama salaf menyalahkan namun tidak menyebutkan makna yang benar,  atau bisa dikatakan menyalahkan tapi tidak menentukan secara spesifik dimana yang benar. Apakah hal yang sedemikian bisa dilegalkan?

Untuk menjawab pertanyaan yang kasusnya sedemikian maka terlebih dahulu harus diketahui bahwa sebuah klaim bisa jadi merupakan sesuatu yang mustahil (tidak mungkin terwujud) dan bisa jadi merupakan sesuatu yang mungkin (mungkin klaim tersebut terjadi dan mungkin tidak terjadi), klaim yang berupa tuhan bersemayam merupakan sesuatu yang mustahil karena bersemayam merupakan sifat khusus yang dimiliki oleh jisim sedangkan tuhan bukan jisim. Sehingga, untuk menyalahkan klaim  istawa bermakna bersemayam tidak membutuhkan pada pengetahuan manakah makna yang sesungguhnya benar, dengan artian klaim tersebut (istawa bermakna bersemayam) mengantarkan pada kemustahilan sudah cukup menjadi bukti bahwa cara pemaknaan itu salah. Contoh lain; Si A memberikan informasi  kepada si B bahwa si C pada jam 12:30 tertabrak oleh sepeda motor di jalan raya, padahal pada jam 12:30 si C sedang ngobrol dan ngopi bersama si B. Sehingga si B mengatakan bahwa informasi yang dibawa oleh si A hoax, sehingga si A bertanya kepada si B “lantas siapa yang tertabrak?”. Apakah sib B dalam menyalahkan informasi yang dibawa oleh sia A  harus mengetahui siapa yang tertabrak? Jawabannya adalah “tidak” karena informasi yang dibawa merupakan kemustahilan, dengan artian bukan merupakan hal yang mungkin (opsional), mustahil si C pada waktu itu (12:30) tertabrak karena si C  adalah jisim yang sedang ngobrol di warung kopi bersama si B, sedangkan sifat yang melekat pada jisim adalah dalam satu waktu tidak akan berada di dua tempat.

Lantas sekarang bagaimana jika informasi yang dibawa merupakan hal yang masuk kategori mungkin? Seperti kasus yang sedang viral yaitu: bapak Ghufron berbicara dengan bahasa Suryani. Apakah untuk menyatakan bahwa yang diucapkan oleh Papa Ghufron bukan merupakan bahasa Suryani, kita harus terlebih dahulu mengetahui dan memahami bahasa Suryani?

Silahkan baca pada part selanjutnya. TULISAN INI BOLEH DIKRITIK

Author