IAIM Lumajang: Tradisi Salaf dalam Dinamika Modernisasi
Transformasi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Miftahul Ulum Lumajang menjadi Institut Agama Islam Miftahul Ulum (IAIM) Lumajang menandai kontribusi penting dalam perkembangan wacana studi Islam di Jawa Timur, khususnya di wilayah Tapal Kuda. Sebagai perguruan tinggi berbasis pesantren, IAIM Lumajang diharapkan menjadi model baru dalam membangun tradisi akademik di tengah kuatnya budaya salaf tradisionalis yang masih dipertahankan. Selama lebih dari sepuluh tahun sejak berdirinya, popularitas pesantren ini tetap bertahan, mengisyaratkan bahwa tradisi Pesantren adalah bagian integral dari kampus, bukan sebaliknya.
Perubahan status dari sekolah tinggi ke institut dalam waktu kurang dari lima belas tahun merupakan pencapaian yang patut disyukuri. Paling tidak, hal ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan yang dibangun dengan menyesuaikan perkembangan pesantren tradisional yang lebih konsen dalam literatur salaf telah memberikan hasil yang signifikan. Meskipun dalam hal kaderisasi akademik mahasiswanya, masih relatif terbatas ketika diperhadapkan pada sektor-sektor elit, akan tetapi sistem yang berjalan telah membuka wacana baru tentang pengelolaan kampus Islam berbasis pesantren yang dinamis.
Sebagai salah satu alumni pesantren dan kampus ini, penulis merasakan langsung proses kaderisasi yang ditanamkan melalui tradisi akademik kampus. Meskipun bagi sebagian orang tradisi ini mungkin tidak dianggap istimewa dan tidak jauh berbeda dengan kampus-kampus pesantren lainnya, setiap lembaga pendidikan tentu memiliki prinsip dan tradisi khas yang dipertahankan. Prinsip yang dipegang kuat oleh IAIM Lumajang adalah kekuatan dalam memegang erat wacana salaf tradisional sebagai fondasi utama dalam membentuk pola pikir mahasiswanya.
Dalam tradisi yang sedang dibangun, kampus ini berfungsi sebagai wadah kajian terhadap wacana modern, sementara pesantren berperan sebagai penjaga doktrin-doktrin salaf tradisional. Jika diibaratkan sebagai mesin olahan, pesantren adalah gilingan yang mencampur berbagai komposisi, sementara kampus adalah wadah yang menampung hasil dari proses tersebut. Kampus dalam hal ini tidak sepenuhnya membentuk pola pikir mahasiswanya, tetapi lebih berperan sebagai jembatan yang menyeimbangkan antara wacana modern dan wacana tradisional. IAIM Lumajang tidak berusaha menjadi pesaing bagi tradisi pesantren yang sudah mapan, melainkan berupaya mendinamisasi kondisi yang sudah kuat. Bahkan, jika diperlukan, kampus ini berupaya mendalami lebih dalam wacana tradisionalis untuk dikembangkan menjadi wacana-wacana baru yang segar.
_________________________
Baca Juga
- Sikap Moderasi Seorang Tokoh Muslim Bila Bersama Paus dan Pastor
- “Menyemai Sunnah: Kerja Sosial Kiai Kampung dalam Merangkai Jamaah (Telaah Antropologis Kiai Paman dan Masyarakat Resongo)”
- Media Mengenal Allah SWT
- Dua Do’a Dalam al-Qur’an Untuk Mensyukuri Kemerdekaan
- IKN dan Jokowi: Tala’ah Geografis Al Mansur dan Ibu Kota Baghdad
- Hakikat Cinta dalam Perspektif Tafsir Asy-Sya’rawi
- Mengenal Ilmu Studi Quran : Dari Zaman Klasik Hingga Kontemporer
- Mendidik dengan Hati, Cinta dan Doa Ala Rasulullah Saw
- Mengurai Keutamaan 10 Hari Bulan Dzulhijjah dalam Al-Quran dan Hadits
- Dilema Perjodohan: Menyelami Perspektif Islam Antara Cinta, Ketaatan, dan Kebahagiaan
- Masih Belum Terlambat, Kiat Berburu Malam Lailatul Qadr
- Antara Pengetahuan Konseptif dan Asensif
__________________________
Dalam konteks ini, pemikiran Gus Dur dalam artikelnya yang berjudul “Dinamisasi atau Modernisasi Pesantren” sangat relevan. Dalam tulisan yang diterbitkan di Harian Kompas pada 16 Juli 1980, Gus Dur mengomentari pandangan Prof. A. Mukti Ali, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Agama, terkait modernisasi pesantren. Gus Dur berpendapat bahwa gagasan modernisasi tidak akan berhasil jika diartikan sebagai penggantian nilai-nilai lama di pesantren dengan nilai-nilai baru yang dianggap sebagai invasi kultural. Sebaliknya, menurut Gus Dur, pendekatan yang lebih ideal adalah mendinamisasi kehidupan pesantren dengan menghidupkan kembali nilai-nilai positif yang sudah ada, kemudian menyesuaikannya dengan orientasi pembangunan yang relevan.
Dengan perubahan status menjadi Institut Agama Islam Miftahul Ulum, sistem wacana tradisionalis yang telah lama terbangun dan membawa kemajuan perguruan tinggi ini akan kembali diuji melalui pertemuan dengan wacana-wacana modern yang baru. Jika kampus ini mampu bertahan dan mendinamisasi sistemnya, IAIM Lumajang berpotensi menjadi perguruan tinggi dengan karakteristik yang khas dan mandiri. Dalam konteks ini, kampus IAIM Lumajang sebagai tempat pembelajaran modern yang berada di lingkungan pesantren tidak lagi hanya sebagai pelengkap sebagaimana yang telah disebutkan, tetapi juga sebagai penyegar wacana yang sebelumnya diajarkan di pesantren. Kampus hadir sebagai pembaru, penyeleksi, dan evaluator setelah kajian-kajian pesantren selesai, tanpa harus menjadi pesaing sistem yang sudah berkembang.
Tabik.