Tradisi Pesantren dan Bahasa: Pilar Keilmuan dan Peradaban Indonesia
Menteri agama yang baru, Prof. Nasaruddin Umar, berdasarkan beberapa statement di sejumlah acara nasional, memperlihatkan keberpihakannya terhadap pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan keagamaan.
Prof. Nasar tegas menyampaikan bahwa di era kepemimpinannya di Kemenag ini, di antara tugasnya adalah mempertahankan eksistensi pondok pesantren. Selain itu, ada satu statement menarik yang kemudian menjadi sorotan oleh banyak pihak, yakni terkait perkataannya yang mengatakan:
“Seandainya Indonesia tidak dijajah Belanda, perguruan tinggi yang berkembang saat ini mungkin adalah Universitas Termas, Universitas Lirboyo, Universitas Tebuireng, dan universitas-universitas dari pesantren lainnya. Bukan UI, ITB, atau IPB,” ujarnya. Bahkan, lebih lanjut Prof. Nasar mengatakan bahwa pesantrenlah yang seharusnya menjadi tuan rumah pendidikan di negeri ini.
Sederet wacana yang disampaikan Prof. Nasaruddin tentang lokalitas pesantren yang hampir selalu disampaikan secara berkesinambungan dalam acara nasional dalam beberapa bulan terakhir, seakan menjadi angin segar di tengah beragam berita tentang pesantren yang mengiring publik untuk berstigma negatif.
Metode “Memaknai”.
Tidak bisa dipungkiri, pesantren adalah lembaga pendidikan tertua dalam negeri yang sampai saat ini masih eksis. Bahkan, tidak sampai di situ saja, pesantren adalah pendidikan dengan metodologi pembelajaran khas Indonesia yang menjadi pembeda dengan metodologi pembelajaran negara-negara lain. Proses transfer keilmuan di pesantren berporos pada penerjemahan dan lokalitas bahasa atas literatur yang sedang menjadi sorotan kajian.
Sebagai salah satu pendidikan keislaman, tentu buku berbahasa Arab adalah sumber primer kajian penting yang tidak bisa dilepaskan. Di pesantren, untuk menggali teks-teks klasik berbahasa Arab tersebut, terdapat metodologi penerjemahan yang cukup unik antara guru dan siswa. Alih bahasanya pun tergantung latar belakang pendidikan pesantren tersebut berkembang, sesuai bahasa daerah masing-masing, seperti penerjemahan ke bahasa Sunda, Madura, atau Indonesia sebagai bahasa nasional.
Metode ini disebut metode “memaknai,” yaitu sebuah metode terjemahan yang bermula dari guru membaca sekaligus menerjemahkan setiap kalimat teks Arab yang sedang menjadi objek kajian, sementara murid menulis setiap kalimat terjemahan yang telah dilafalkan oleh sang guru. Metode ini berkembang bersamaan dengan perkembangan keilmuan pesantren dan menjadi ciri khas tersendiri, serta terbukti efektif dalam melahirkan malakah keilmuan dan pemahaman menyeluruh atas objek yang dikaji.
Oleh sebab itu, jika membaca sejarah peradaban masa lalu, penerjemahan keilmuan menjadi pembahasan yang tidak bisa dilepaskan dalam membentuk kemajuan dan kematangan intelektual. Di masa kejayaan Islam, misalnya, penerjemahan buku berbahasa asing seperti Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab banyak dilakukan oleh intelektual Muslim atas dukungan pemerintah. Dalam sejumlah literatur dijelaskan, di zaman Abbasiyah tercatat terjadi tiga fase penerjemahan keilmuan, yaitu dimulai dari Khalifah Al-Mansur hingga kepemimpinan Harun al-Rasyid.
Demikian pula yang membangun peradaban Eropa menjadi seperti sekarang, bermula dari penerjemahan karya berbahasa Arab karya intelektual Muslim. Bahkan, tidak sedikit temuan-temuan yang diklaim oleh intelektual Barat tentang ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah hasil copy-paste dari pemikiran peradaban sebelumnya. Tokoh-tokoh seperti Ibnu Sina yang di Barat dikenal sebagai Avicenna, Al-Khawarizmi sebagai penemu Aljabar, dan karya berbahasa Arab lainnya memengaruhi kemajuan peradaban Eropa hingga saat ini.
Sebab itu, proses penerjemahan yang disebut “memaknai” di pesantren seakan mengejawantahkan tentang bagaimana seharusnya sebuah peradaban keilmuan tersebut dibangun dan bermula. Bahasa Arab, kendatipun menjadi sumber primer dalam memahami Islam, tidak lantas mengarabisasi bahasa lokal, melainkan melokalisasi bahasa Arab sehingga dipahami oleh masyarakat luas. Metode ini, di samping mempertahankan bahasa lokal, secara beriringan tidak melepaskan bahasa Arab sebagai sumber utama dalam proses kajian keislaman. Bahkan, metode ini memancing para murid menjadi penerjemah-penerjemah andal dengan belajar ilmu alat bahasa Arab untuk ditransfer kepada murid-murid setelahnya.
Genealogi Keilmuan Bahasa di Pesantren
Hampir semua pendiri pesantren-pesantren yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di Jawa, memiliki genealogi keilmuan dengan Syaikhona bin Abdul Lathif Bangkalan. Sebut saja Lirboyo, Tebuireng, Ploso, atau pesantren-pesantren lainnya. Dari Syaikhona Khalil ini terlahir para santri yang kelak mendirikan pesantren-pesantren di daerahnya masing-masing dan memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan keagamaan.
Membaca sejarah para kiai pesantren ini, secara bersamaan memberikan informasi bahwa Syaikhona Khalil adalah tokoh utama dalam penyebaran pendidikan pesantren. Kendatipun pendidikan pesantren sudah ada sebelumnya, termasuk pesantren-pesantren yang menjadi tempat Syaikhona Khalil berguru, pengaruh pesantren sebagai pendidikan keagamaan pada masa itu tidak memiliki popularitas signifikan, khususnya karena bersamaan dengan penjajahan dengan misi Baratnya.
Dari Syaikhona Khalil inilah titik penyebaran metode bahasa Arab tersebar. Tidak mengherankan ketika kualitas penyebaran ilmu bahasa Arab tersebut kuat dan mentradisi, mengingat Syaikhona Khalil adalah tokoh yang terkenal dengan keahliannya dalam ilmu bahasa Arab. Dari keahlian Syaikhona Khalil dalam bahasa Arab ini, terlihat pentingnya pengaruh bahasa terhadap pembangunan peradaban keilmuan selanjutnya.
Sebagai upaya membentuk santri-santri handal di masa depan, Syaikhona Khalil menjadi tokoh pembaharu dalam perkembangan pendidikan pesantren melalui para murid-muridnya itu. Sebagai ulama rujukan, Syaikhona menjadi guru pakar yang menggembleng keilmuan bahasa sebagai bekal untuk muridnya sebelum menjadi ahli dalam bidang keilmuan lain.
Terbukti, dari Syaikhona Khalil yang ahli bahasa itu, lahir KH Hasyim Asy’ari yang ahli dalam bidang hadis, KH Bisri Syansuri yang terkenal sebagai pakar fikih, KH Wahab Hasbullah yang dikenal ahli ushul fikih, KH Hasan Sepuh Genggong sebagai ahli tasawuf, KH Romli Tamim sebagai pakar tarekat, dan tokoh-tokoh lainnya.
Mengembangkan Pembelajaran Bahasa
Belajar dari pesantren dengan sistem “memaknai” dalam setiap proses pembelajaran yang berpusat pada teks-teks Arab, menjadi perhatian penting bagi lembaga pendidikan lain selain pesantren untuk menerapkan metode ini dalam pendidikannya. Tidak hanya tentang karya berbahasa Arab, tetapi juga untuk bahasa Inggris.
Dalam hal ini, tugas setiap lembaga pendidikan yang berbeda tujuan sejal awal menjadi jelas. Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan menggali tradisi turats berbahasa Arab agar keilmuan keagamaan tetap bersaing dan dinamis sebagaimana di masa lalu, sementara Universitas STEM (Sains, Teknologi, Ekonomi, dan Matematika) berupaya menerjemahkan sumber-sumber Barat yang berbahasa Inggris, sebagai upaya memahami literatur inggris yang saat ini sedang berkembang.
Pembelajaran bahasa Inggris selama ini, yang dimulai sejak SD, terlihat seperti pelengkap. Integrasi bahasa Inggris dalam proses pendidikan formal tidak begitu diperhatikan, sehingga para siswa tidak bisa memahami secara utuh tujuan utama mempelajari bahasa, selain hanya mengetahui bahwa belajar bahasa Inggris sebatas untuk bisa berbicara bahasa ini. Tujuan bahwa bahasa Inggris digunakan sebagai upaya memahami literatur bahasa Inggris untuk dipelajari dan dikembangkan tidak pernah disinggung.
Oleh sebabnya, pada sejatinya pesantren selama ini tidak memiliki pekerjaan rumah yang perlu dipertanyakan terkait tujuan utamanya, yaitu mempelajari ilmu agama. Akan tetapi, yang perlu lebih ditingkatkan dalam kemajuan pendidikan adalah Universitas STEM, karena sejauh ini kampus STEM tidak pernah melahirkan karya yang bisa dijual di kancah dunia. Berbeda dengan pesantren, yang dengan sistemnya telah banyak melahirkan tokoh-tokoh intelektual keilmuan agama yang disegani oleh negara-negara dunia.
Kajian-kajian model pesantren dengan menjadikan bahasa Arab sebagai sumber utama dan menerjemahkan setiap kalimat perlu menjadi perhatian universitas atau sekolah STEM. Mempelajari ilmu sains atau teknologi hanya dengan berbahasa Indonesia secara langsung sulit untuk menguak rahasia peradaban Barat yang maju dalam bidang tersebut. Sehingga, pembelajaran sains atau teknologi tanpa memakai literatur berbahasa Inggris sebagai sumber utama tidak dapat membentuk pola pikir para intelektual Barat. Yang terjadi adalah para ahli di bidang ini tidak menghasilkan karya, selain menjadi pegawai dan pekerja perusahaan asing.
Pemetaaan Tugas Prioritas Pesantren
Merujuk pada pesantren yang memiliki jumlah santri terbanyak, yaitu Lirboyo, terdapat sebanyak 39.534 santri berdasarkan data antara tahun 2021-2022. Dibandingkan dengan Kampus Brawijaya yang memiliki jumlah lebih dari 60.000 mahasiswa, dengan catatan mahasiswa baru sebanyak 14.821 mahasiswa, muncul sebuah pertanyaan: apa saja karya-karya kampus-kampus STEI dalam bidang sains yang menjadi daya tawar Indonesia terhadap dunia selama ini?
Pertanyaan ini sekaligus menjadi penutup bahasan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan tidak memiliki kesalahan apa pun terkait pemusatan pendidikan keagamaan yang ditradisikan. Metodologi pendidikan yang selama ini dikembangkan tetap menjadi prioritas, seperti metode “mamaknai” sebagai model penerjemahan khas pesantren terhadap bahasa lokal. Pesantren tetap menjadi pendidikan untuk memahami keilmuan agama (Tradisi Arab Klasik).
Stigma bahwa pesantren tidak bermanfaat dalam perkembangan sains dan tidak berpengaruh terhadap kemajuan peradaban harus dipertanyakan kembali. Sebaliknya, pertanyaannya adalah, apa saja kontribusi Universitas STEM (Sains, Teknologi, Ekonomi, Matematika) terhadap peradaban bangsa? Atau mungkin kita tidak menyadari bahwa mayoritas mahasiswa di kampus-kampus tersebut adalah muslim?