Siapa Maksud Musuh Allah Dalam Al Qur’an? : Respon Terhadap Sikap KH Nasaruddin Umar Atas Paus Yang Ditentang
11 mins read

Siapa Maksud Musuh Allah Dalam Al Qur’an? : Respon Terhadap Sikap KH Nasaruddin Umar Atas Paus Yang Ditentang

Kehadiran Paus di Indonesia, sebagai pemimpin negara Vatikan sekaligus simbol kepemimpinan umat Katolik di dunia, cukup ramai menjadi sorotan publik. Keramahan dan ketokohannya sebagai tamu terlihat dalam beberapa momen pertemuan dengan sejumlah tokoh elit di negara ini. Tidak dapat dilepaskan dari sejarah, Vatikan adalah negara Eropa pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia.

Kehadiran Paus beberapa hari terakhir ini, di samping menggambarkan keramahan sebagai tokoh umat non-Muslim dalam berinteraksi dengan para tokoh dalam negeri yang notabene beragama Islam, juga memicu polemik teologis di kalangan umat Muslim. Terutama saat Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta dianggap bersikap terlalu berlebihan dalam penyambutan dan sikapnya.

Dalam video yang beredar, terlihat momen di mana KH Nasaruddin Umar mencium dahi bagian atas Paus, sementara Paus mencium tangan KH Nasaruddin. Bagi masyarakat Indonesia, hal ini tentu menjadi persoalan penting, khususnya karena Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk Muslim, di mana momen interaksi seperti ini, yaitu bertemunya antara dua tokoh beda agama tersebut, dianggap suatu pekerjaan tabu. Sebab menurut kebanyakan orang hal ini menimbulkan implikasi teologis yang perlu ditelaah dalam konteks sosial agama.

Status Kafir dalam Negara Bangsa

Sebelumnya, beberapa tahun lalu, terjadi polemik atas hasil Bahtsul Masâil Maudlū’iyah dalam Munas dan Konbes NU 2019 di Banjar Patroman, Jawa Barat. Dari sekian isu penting, yang paling menyita perhatian publik adalah bahasan di tema “Negara, Kewarganegaraan, Hukum Negara, dan Perdamaian.”

Dalam salah satu artikel yang dimuat NU Online, dijelaskan bahwa polemik yang muncul adalah mengenai status kafir dalam konteks sosial-politik di negara bangsa. Meskipun status ini telah disebut dalam kitab-kitab turats, saat dimusyawarahkan dan diperdebatkan, tidak ditemukan status sosial-politik umat selain beragama Islam dalam konteks negara modern.

Dalam teks kitab turats, yang tersedia adalah status Kâfir Harby, Kâfir Dzimmy, Kâfir Mu’âhad, dan Kâfir Musta’min. Kâfir Harby merujuk pada orang kafir yang agresif dan karenanya harus diperangi. Kâfir Dzimmy merujuk pada orang kafir yang tinggal di negeri Islam, tunduk, dan dilindungi dengan membayar jizyah (pajak). Kâfir Mu’âhad merujuk pada orang kafir yang dilindungi karena mengikat perjanjian. Kâfir Musta’min merujuk pada orang kafir yang datang ke negeri Islam meminta perlindungan dan dilindungi.

Istilah-istilah tersebut merupakan status kewarganegaraan dalam konteks negara agama di masa lalu. Misalnya, dalam konteks kafir dzimmi, yaitu penduduk yang tidak beragama Islam maka untuk tinggal di wilayah umat muslim wajib membayar jizyah (pajak) kepada pemerintah Islam untuk bisa hidup. 

Dalam konteks negara bangsa, istilah tersebut memiliki arti berbeda, seperti Fulan sebagai orang Indonesia yang hidup di Malaysia, maka untuk tinggal di negara Malaysia, Fulan wajib membayar pajak kepada pemerintah negara yang Ia tinggali. Istilah ini biasanya disebut dengan permit atau dokumen lain yang serupa. Dalam konteks negara bangsa ( Nation State) agama penduduk tidak menjadi tolak ukur sebagai warga negara dalam membayar pajak hidup, melainkan yang menjadi perhitungan status kelahiran dan kebangsaan.

Baca Juga : Sikap Moderasi Seorang Tokoh Muslim Bila Bersama Paus dan Pastor

Persoalan istilah kafir dalam konteks pemahaman kitab turats sangat krusial dalam memahami kitab-kitab kuning. Hal ini menjadi isu penting karena implikasinya bagi aspek teologis dan keharmonisan dalam bersosialisasi dengan umat non-Muslim. Oleh sebab itu istilah kafir secara teologis tidak memiliki keterkaitan dengan istilah dzimmi, harbi, muahad, dan musta’min. Oleh karena itu, memahami istilah kafir dalam kitab turats tidak dapat dipisahkan dari kajian historis, terutama dalam menyorotinya konteks kajian tafsir.

Musuh Allah dalam Al Qur’an : Paradigma Historis Teologis Kafir di Masa Nabi.

Ada satu ayat yang dikaitkan dengan perdebatan terhadap persoalan polemik atas sikap KH Nasaruddin Umar saat bertemu Paus beberapa hari yang lalu. Dengan mencatut ayat ini membawa pada suatu persoalan teologis yang penting tentang sikap KH Nasaruddin terhadap Paus. Dalam ayat ini secara tekstual akan dipahami bahwa saling mengasihi dengan orang yang menjadi musuh Allah merupakan perkara yang dilarang dalam Agama.

Dalam Surah Al Mujadalah ayat 22 dijelaskan:

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُّؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ يُوَاۤدُّوْنَ مَنْ حَاۤدَّ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَوْ كَانُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ اَوْ اَبْنَاۤءَهُمْ اَوْ اِخْوَانَهُمْ اَوْ عَشِيْرَتَهُمْۗ …… ۝٢٢

Artinya : Engkau (Nabi Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari Akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun mereka itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau kerabatnya.

Langkah pertama dalam menafsirkan ayat ini, Ibnu Asyur memberikan paparan historis macro, berikut ini teks yang tertulis dalam Al Tahrir wa at Tanwir :

كانَ لِلْمُنافِقِينَ قَرابَةٌ بِكَثِيرٍ مِن أصْحابِ النَّبِيءِ ﷺ، وكانَ نِفاقُهم لا يَخْفى عَلى بَعْضِهِمْ، فَحَذَّرَ اللَّهُ المُؤْمِنِينَ الخالِصِينَ مِن مُوادَّةِ مَن يُعادِي اللَّهَ ورَسُولَهُ ﷺ .

Pada masa itu orang munafik banyak memiliki kerabat dari sahabat nabi. Dan mereka tidak menyembunyikan kemunafikannya terhadap para kerabatnya itu (Sahabat). Maka Allah memberikan peringatan terhadap mu’min yang tulus atas arguemantsi apabila bersikp saling mengasihi terhadap musuh Allah dan Rasulnya (Pura pura muslim).

Dari paparan historis ini Ibnu Asyur secara tidak langsung memberikan  tafsiran atas ayat ini, bahwa Allah memberikan peringatan kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umatnya  “apabila  mengetahui atas orang sekitar kalian, terdapat orang yang berpura-pura Islam (Munafik ) bahkan kerabatnya sendiri, apabila kalian benar beriman, tidak mungkin menutupi kemunafikan mereka dan ikut menyembunyikan kemunafikannya dengan saling mengasihi.”

Dari konteks historis di masa turunnya ayat ini, dapat dipahami bahwa pengaruh sosial-politik berdasarkan agama yang dianut oleh setiap individu masyarakat, merupakan perkara yang tidak bisa dilepaskan. Pada masa Nabi, seseorang yang tidak menerima Islam disebut sebagai musuh Allah الأعداء, karena disebabkan oleh penolakan orang-orang musyrik terhadap ajaran Islam, bahkan dengan melakukan pertentangan dan perlawanan. Dalam ayat tersebut, Allah memberikan peringatan bahwa tanda-tanda kesetiaan seorang mukmin adalah keberpihakannya terhadap Allah, dan ia tidak akan dikalahkan karena kecintaan kepada orang-orang kafir yang memusuhi Allah bahkan dari orang-orang terdekatnya.

Dalam tafsiran ayat lain yaitu dalam surah Al Mumtahanah ayat 1, ibnu asyur memberikan paparan historis atas asal usul kenapa kaum kafir disebut sebagai musuh allah :

والمَعْنى: لا تَتَّخِذُوا أعْدائِي وأعْداءَكم أوْلِياءَ. والمُرادُ العَداوَةُ في الدِّينِ فَإنَّ المُؤْمِنِينَ لَمْ يَبْدَءُوهم بِالعَداوَةِ وإنَّما أبْدى المُشْرِكُونَ عَداوَةَ المُؤْمِنِينَ انْتِصارًا لِشِرْكِهِمْ فَعَدُّوا مَن خَرَجُوا عَنِ الشِّرْكِ أعْداءً لَهم. وقَدْ كانَ مُشْرِكُو العَرَبِ مُتَفاوِتِينَ في مُناواةِ المُسْلِمِينَ فَإنَّ خُزاعَةَ كانُوا مُشْرِكِينَ وكانُوا مُوالِينَ النَّبِيءَ ﷺ .

Maksud permusuhan di sini ialah dalam urusan agama. Sebab orang mu’min tidak memulai permusuhan terhadap mereka, akan tetapi yang terjadi orang musyrik memusuhi orang – orang mum’in sebagai pembelaan terhadap kemusyrikannya. Mereka menagnggap orang yang keluar dari agama mereka (kemusyrikan) dan ikut kepada islam dianggap sebagai musuh.

Dari paparan hsitoris yang diuraikan oleh Ibnu Asyur, kita memahami bahwa istilah “musuh Allah” awalnya berasal dari sikap orang-orang kafir pada masa Nabi yang memusuhi orang-orang beriman karena keimanan mereka. Ibnu Asyur sebelumnya melakukan telaah linguistik, menurutnya kata “العدو” dalam potongan surah Al-Mumtahanah “لَا تَتَّخِذُوْا عَدُوِّيْ وَعَدُوَّكُمْ” bermakna “ذو العدوة” yang berarti “memiliki musuh”. Jadi, dalam konteks istilah “musuh Allah” di Al-Qur’an, maksudnya bukanlah Allah memiliki sifat memusuhi secara mutlak kepada orang selain islam, melainkan Allah dimusuhi oleh kaum musyrik yang menentang agama-Nya. Terlepas dari adzab dan murkanya di akhirat.

_________________________

Baca Juga

__________________________

Sikap KH Nasaruddin : Antara Toleransi dan Teologhi.

Berdasarkan uraian historis atas konteks sosial kaum kafir yang oleh Al Qur’an disebut Musuh Allah الأعداء pada masa nabi adalah didasari dari polemik teologhi atas dakwah Islam yang ditentang. Dalam situasi teologi politis dalam penyebaran beragama Islam ini tentu tidak memiliki relevansi dengan konteks historis pada proses politik dunia yang berbeda seperti di zaman modern. Di peradaban modern, agama tidak lagi menjadi aturan politik formal selain dari mengurai epistimologi dasar – dasarnya sebagai kerangka yang lebih relevan dalam membangun tatanan sosial. Di peradaban negara bangsa (nation state) siasat – siasat dakwah tidak lagi dimaknai sebagai permusuhan dan ajakan dogmatis semata.

Agama islam sebagai agama yang universal tidak bisa dimaknai sekadar sebagai ajaran – ajaran yang bersifat ubudiyah, serta dakwahnya tidak hanya dipersempit dengan siasat – siasat dogmatis, apalagi diidentikkan sebagai perang dan pertentangan atas ajaran yang berbeda. Dalam proses beragama unsur unsur epistimologi Islam sulit akan dilahirkan manakala terhimpit oleh pemahaman literal dan tidak mempertimbangkan kontekstual yang lebih relevan.

Atas sikap KH Nasaruddin, mengajarkan penempatan teologhis dan toleransi secara proporsional. Saat keramahaman Paus sebagai seorang tokoh katolik dunia, dibalas dengan sikap toleransi adalah bagian sisasat dakwah untuk menghapus phobia terhadap Islam di kalangan non muslim di dunia. Oleh sebab itu dalam hal ini, Ibu Asyur memberikan penjelasan terkait orang non muslim yang kemudian dilarang untuk berlaku baik dan bertoleransi terhadap mereka, hal ini diurai lebih lanjut di tafsirnya surah Al Mujadalah ayat 22 :

ثُمَّ إنَّ الَّذِي يُحادُّ اللَّهَ ورَسُولَهُ ﷺ إنْ كانَ مُتَجاهِرًا بِذَلِكَ مُعْلِنًا بِهِ، أوْ مُتَجاهِرًا بِسُوءِ مُعامَلَةِ المُسْلِمِينَ لِأجْلِ إسْلامِهِمْ لا لِمُوجِبِ عَداوَةٍ دُنْيَوِيَّةٍ، فالواجِبُ عَلى المُسْلِمِينَ إظْهارُ عَداوَتِهِ

Ibnu asyur memberikan analsis, bahwa orang non muslim yang disebut sebagai musuh dalam islam ialah siapa saja menentang Allah dan Rasul-Nya ﷺ, jika ia melakukannya secara terang-terangan dan terbuka, atau secara terbuka menunjukkan perilaku buruk terhadap kaum Muslimin karena keislaman mereka, bukan karena alasan permusuhan duniawi, maka wajib bagi kaum Muslimin untuk menampakkan permusuhan terhadapnya.

Oleh sebab itu, perlakuan KH Nasaruddin terhadap Paus tidak ada hubungannya sedikit pun dengan agama secara teologis, karena toleransi adalah perkara sosial yang tidak dilarang selama tidak menyentuh keimanan. Di dalam Al-Qur’an, larangan bertoleransi kepada umat non-Muslim ditujukan apabila perilaku mereka secara terang-terangan memusuhi dengan pelecehan dan pertentangan terhadap Islam sebagai agama. Dalam konteks lain, selama interaksi umat Muslim diterima dengan baik di bawah otoritas wilayah non-Muslim, seperti di negara-negara Eropa, termasuk Vatikan, maka tidak ada alasan untuk tidak bersikap toleran. Alih-alih melecehkan dan memusuhi umat Muslim, Vatikan justru adalah negara Eropa pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia sebagai negara dengan mayoritas Muslim.

Kesimpulan

KH Nasaruddin dalam bersikap memiliki nilai yang signifikan terhadap pengaruh ajaran Islam secara luas. Momen ini menjadi sorotan yang meruntuhkan pemahaman bahwa Islam sebagai agama kekerasan dan anti toleransi. Kendatipun dalam sisi lain, atas apa yang dilakukan KH Nasaruddin sebagai tokoh islam, perlu dipahami lebih dalam, sebagai sebuah sikap masyarakat akar rumput dalam konteks sosial antar umat beragama. Oleh sebabnya sikap sosial – politik Islam berupa diantaranya interaksi dengan antar umat beragama sebagaimana yang dilakukan KH Nasaruddin dengan menggunakan  ketokohannya akan memantik pemahaman substantif atas Islam sebagai ajaran.

Apa yang dihadapi oleh KH Nasaruddin ini, berbeda konteks dengan ibu – ibu yang meminta uang 20 ribu kepada penulis di Masjid Al Akbar. Ia seorang muallaf yang diusir dari keluarganya karena keimanananya kepada Allah. Karena demi mempertahankan keimanan, Ia rela menjauh dari keluarga tanpa membawa apapun. Kendatipun dirinya mencintai keluarga besarnya, kecintaan kepada Allah tidak menjadi halangan untuk tegar bersikap melawan, kendatipun harus hidup dalam keterbatasan. Konteks inilah mungkin yang dimaksud musuh allah dalam Al Qur’an dan larangan untuk mencintainya.

Author

Leave a Reply