Lelaki Bersurban
Ahmad Sholihin
Pandanganku terpaku pada seorang lelaki paruh baya yang membawa tas besar hendak naik bus. Pakaian dengan serba putih dan surban melilit di kepalanya menjadi pemandangan aneh bagi para penumpang yang lain. Termasuk aku. Tiba-tiba ia duduk tepat di sampingku yang memang kursinya kosong. Bau parfum menyeruak ke dalam hidung. Aku sedikit menggeser untuk memberi tempat tasnya yang besar itu.
Diam-diam aku meliriknya. Beliau berjenggot tebal, dan sedikit kumis dibiarkan tumbuh menghiasi wajahnya. Juga di keningnya terlihat ada dua warna hitam sebesar biji kopi. Apakah benar seperti di kening beliau yang dikatakan Kang Sumini adalah tanda sebagai orang yang taat beribadah? Ah! Melihatnya, sungguh hatiku dibuat gemetar.
Sebagai penenang hati, aku alihkan pandanganku ke luar jendela dan pura-pura tertidur. Bukan maksud apa? Tapi aku takut beliau mengajak bicara dan aku hanya pelonga-pelongo tak memahaminya. Sebab aku hayalah orang akar rumput yang tak pernah mengenyam bangku pesantren. Jangankan nyantri, disuruh ngaji ke Musala saja dulu aku sering kabur ke rumah teman.
Di sepanjang perjalanan aku terkagum-kagum kepada beliau. Mengapa tidak. Di tempat umum seperti ini beliau masih sempat-sempatnya membaca al-Qur’an. Dan lebih kagum lagi, aku tak melihat beliau memegang mushaf. Wah, beliau hafidZ ternyata, pantaslah penampilannya seperti ini. Gumamku dalam hati.
_________________________________
Baca Juga
_________________________________
Aku masih saja menatap kosong ke luar jendela. Di luar kulihat seorang anak menjajakan koran di dekat lampu merah. Seketika pikiranku menerawang saat usiaku seperti mereka, aku sibuk merantau ke Negara sebelah ikut tetangga demi membantu kebutuhan keluarga di rumah. Maklumlah, keluargaku bukan keluarga yang bergelimang harta.
“Mas, minum.” Aku tersentak, kulihat beliau menyodorkan minuman ke arahku. Aku hanya mengangguk dan berterima kasih kepadanya.
“Tujuan kemana, mas?”
“Eh, ini, mau ke Surabaya.”
“Mau pulang atau punya kepentingan di Surabaya?” Tanyanya lagi.
Aku tidak langsung menjawab, aku hanya menatap wajahnya yang teduh lalu menunduk. Aku tak sanggup menatapnya lama-lama.
“Kok malah ngelamun, mas?”
“Eh, engg,,, enggak.” Jawabku gelagapan.
“Ke Surabaya ada kepentingan atau mau pulang, mas?”
“Ini mau mencari rizeki, pak.”
“Cari rezeki, cari rezeki apa? Tuh sudah nyampek Surabaya!” Tukas kernet bus membangunkanku.
“Itu bawa tasnya,” lanjutnya.
Aku celingak-celinguk. Seingatku, aku tidak membawa tas besar. Hanya tas yang aku gendong sekarang. Tapi kernet bus bersikukuh bahwa tas ini adalah milikku. Aku lihat ke sekeliling tidak ada penumpang lagi.
“ini bukan punya saya, mas. Tadi ada laki-laki bersurban memakai pakain serba putih duduk di sini. Aku ingat betul, beliau berjenggot, mas.”
“Sudah, sudah. Jangan banyak alasan. Bawa tas ini atau saya ambil!”
Aku langkahkan kaki menuruni anak tangga bus dengan penuh tanya yang berkelebat di kepalaku. Ah…
*****
Langit di Surabaya sangat menyengat ubun-ubun. Padahal sudah lebih satu bulan aku bekerja menjadi kuli bangunan di sini. Tapi cuaca saat ini benar-benar membuat sekujur tubuhku tidak tahan lagi. Tapi Ketika mengingat Ibu di rumah. Rasa sakit dan ketidak berdayaan ini hilang seketika. Ya! Aku hanya seorang anak Perempuan di desa. Ibuku di rumah hanya bekerja mencari rumput. Sedangkan pendapatan untuk biaya di dapur, semuanya aku yang memenuhi. Ketika masih merantau di Malasyia dulu. Setiap bulan aku mengirimkan uang kepada ibu untuk kebutuhan sehari-hari di rumah. Tiba-tiba aku mengkhawatirkan ibu. Di rumah beliau hanya bersama kakak perempuanku, Halimah. Kak Halimah tidak bisa bekerja keras lantaran ia tidak bisa berjalan setelah mengalami patah tulang di kaki kiri dan tangan kanannya karena kecelakaan ketika masih kecil belajar naik sepeda. Jadi satu-satunya harapan untuk memenuhi kebutuhan keluarga adalah aku. Tapi malang. Meski sudah lebih sebulan aku bekerja di sini. Aku masih belum menerima gaji. Sungguh hatiku pedih menghadapi keadaan ini. Tanpa kusadarai, buliran kecil dari kelopak mataku menetes.
“kamu kenapa, din? Sakit?” tanya Lek Heri teman kerjaku.
“eh, enggak, lek. Gak papa kok. Tadi kelilipan aja.” Kilahku tak ingin membuat Lek Heri tahu apa yang aku rasakan.
“beneran? Kalau sakit jangan dipaksakan. Biar aku aja yang nerusin kerjaanmu.”
“benar, lek. Gak papa,”
“ya sudah, lanjutkan kalau memang tidak apa-apa!”
“iya, lek. Terimah kasih.”
Aku melanjutkan pekerjaanku dengan keadaan tidak tenang. Apa yang harus kuperbuat dalam keadaan seperti ini. Haruskah aku meminjam uang terlebih dulu kepada Lek Heri. Tapi aku malu. Karena aku masih baru bekerja dengan Lek Heri. Rasanya kurang elok, baru bekerja sama sudah mau pinjam uang.
Matahari semakin beringas membakar Bumi Surabaya. Sekujur tubuhku sudah dibanjiri peluh. Tiba-tiba terdengan suara memanggilku. Ternyata Lek Heri.
“Iya, lek. Ada apa?” tanyaku tergopoh-gopoh sembari berlari ke arah Lek Heri.
“Ini ada telepon dari Kakakmu, Halimah.”
Aku tersentak. Ada apa gerangan kakak menghubungiku. Akankah menanyakan uang kiriman.
“Assalamualaikum,” aku menguluk salam.
“Waalaikumsalam. Din, Ibu sakit. Apa kamu bisa pulang?” pinta Kakak Halimah dengan suara lirih seperti orang yang lagi terisak.
“Mulai kapan Ibu sakit, kak? Ibu sakit apa?”
“gak tahu, din. Sudah hampir seminggu sakit dan selalu memanggil-manggil namamu. Kalau bisa secepatnya kamu pulang, din.”
“iya, kak. Aku usahakan dapat izin dan bisa pulang.” Jawabku dengan hati yang menangis.
Telepon aku tutup. Baru kali ini hatiku merasakan yang amat sangat sakit. Kenapa semua ini bisa terjadi secara bersaamaan. Ya Allah. Aku harus memberanikan diri meminta gajiku yang bulan kemarin. Aku tidak punya jalan keluar lagi. Meski sejatinya di proyek ini gajinya dua bulan sekali. Tapi mau bagaimana lagi. Aku harus pulang.
“duh, gimana ya, din. Aku juga gak bisa bilang ke mandor untuk meminta upahmu bulan kemarin. Kamu tahu sendirikan, mandor di sini bagaimana.” Jawab Lek Heri setelah aku utarakan maksud dan tujuanku.
“iya, lek. Tapi, aku tidak punya jalan lain, lek.”
“Kalau begini bagaimana. Aku talangi dulu gajimu yang bulan kemarin. Nanti setelah kamu balik kerja lagi, baru kamu bayar. Gimana?”
“terima kasih, lek. Terima kasih. Semoga kebaikan lek Heri dibalas baik oleh Allah.”
“sama-sama, din. Sesama teman kita harus saling menolong. Ya sudah, besok kamu pulang. Masalah izinnya nanti lek yang akan menyampaikan ke mandor. Yang penting, setelah Ibumu sembuh. Kamu cepat Kembali.”
“insyaallah, lek.”
Akhirnya, Allah telah mengirimkan petunjuknya melalu lek Heri.
*****
Keesokan harinya aku pulang. Sesampainya di rumah. Kulihat ibu terbaring lemas di tempat tidur. Matanya cekung dan di bawah kelopak matanya menghitam. Ditambah lagi ibu semakin kurus. Betapa tersiksanya ibu dengan keadaannya seperti ini.
“kita ke rumah sakit ya, Bu?” ajakku kepada ibu. Aku tidak tega melihat ibu berbaring lemas di tempat tidur.
“tidak usah, din. Melihatmu sudah pulang ibu sudah sembuh.” Jawab ibu sembari batuk-batuk.
“ada yang ingin ibu bicarakan kepadamu, din. Seblum ibu pulang.”
“jangan bicara begitu, bu. Ibu harus kuat dan yakin ibu pasti sembuh.”
“sekarang ibu sembuh, kok. Din…” ibu batuk-batuk lagi. Sekarang batuknya agak dalam sehingga suara ibu terbata-bata.
“sebelum ibu pulang. Ibu ingin menyampaikan pesan bapakmu. Dulu, ayahmu seorang pemberani. Dia sangat disegani di desa ini. Tapi Ketika pemilihan kepala desa, ayahmu tidak mau memilih kepala desa yang lama. Karena bapakmu tahu, bahwa kepala desa yang lama tidak baik untuk memimpin rakyat desa di sini. Setelah kejadian itu, bapakmu diusir dari desa karena tidak mau memilih. Bapakmu hampir mati dipukul oleh tim sukses kepala desa. Bapakmu dianggap sebagai pemberontak karena sudah berani mengajak Masyarakat agar memilih pemimpin yang baru. Dan pada waktu itu, aku baru saja mengandungmu. Sebelum bapakmu pergi, dia berpesan, jika anak yang aku kandung lahir sebagai seorang lelaki. Maka dinamai Samsudin Arifin. Dia juga berpesan agar Ketika kamu besar nanti, ibu harus bisa memondokkanmu di pesantren. Tapi, maaf din. Ibu tidak bisa memenuhi keinginan bapakmu. Karena ibu tidak mampu, din. Jangankan untuk memondokkanmu, untuk beli beras saja ibu harus banting tulang.” Aku lihat ibu menangis. Ditambah batuknya semakin parah.
“Ibu tidak perlu minta maaf, bu. Sejauh ini aku sudah seperti seorang santri. Walapun aku tidak nyantri di pondok pesantren. Tapi, ibu sudah membimbing dan mengajari sehingga aku bisa mengaji, bahkan aku juga bisa membaca kitab. Itu semua karena jerih payah ibu.” Aku juga terisak.
Ibu benar. Selama ini aku hanya bisa membayangkan seperti apa wajah bapakku. Karena sejak lahir sampai saat ini, bapak tidak pernah Kembali. Yang kutahu, hanya nama dan secarik foto buram yang selama ini aku taruh di dalam dompet.
“din, bapakmu mirip sepertimu. Dia gagah dan tinggi. Sebelum bapakmu diusir, bapakmu seorang kiai yang mengajari anak-anak sekitar sini mengaji. Bapakmu suka sekali memakai pakain serba putih dengan surban dikepalanya. Ibu merindukannya, din. Sudah hampir tiga puluh tahun sejak kepergiannya ibu tidak pernah melihatnya lagi. Entahlah, din. Apakah bapakmu masih hidup atau tidak..”
“sebentar, bu. Bapak suka memakai pakaian serba putih dan memakai surban?” aku bertanya dan menyeka cerita ibu.
“iya, din. Kenapa?”
“waktu aku berangkat ke Surabaya, tanpa sengaja aku bertemu seseorang seperti yang ibu ceritakan. Orang itu berpakaian serba putih dan memakai surban. Dia juga berjenggot dan berkumis tipis dan di keningnya juga terdapat dua bitnik hitam kecil. Bahkan dia sepertinya hafal al-quran. Karena selama di perjalanan dia selalu membacanya tanpa memegang mushaf.”
“kamu ketemu di mana, din?” tanya ibu mulai penasaran.
“aku ketemu di dalam bus, bu. Waktu mau ke Surabaya.” Jelasku.
“aku baru ingat, bu. Dia meninggalkan tas besar di sampingku waktu.”
Aku baru ingat. Tas besar yang selalu membuatku bertanya. Apakah ta situ disengaja ditiggalkan di sampingku atau tas besar itu ketinggalan oleh lelaki bersurban itu. Entahlah, aku belum berani membukanya.
Aku berdiri bergegas mengambil tas besar yang kutemukan di bus waktu itu. Aku buka resletingnya dengan hati bergetar. Sama seperti pertama kali aku menatap lelaki itu di dalam bus. Ternyata isinya hanya sebuah buku catatan kecil, satu benda persegi Panjang yang terbalut dengan kain putih, dan satu al-quran kecil. Dengan terpaksa aku membuka buku catatan itu. Dan ternyata hanya sebuah catatan perjalannya si empunya. Namun di lembar selanjutnya. Aku menemukan sebuah kalimat yang sangat menyentuh hatiku. Ya, kalimat yang bertuliskan teruntuk Samsudin Arifin, Anakku. Aku tersentak setelah membacanya. Kenapa nama itu seperti namaku. aku membacanya. “anakku. Mungkin hari ini kamu sudah terlahir di sana. Maaf bapakmu ini yang tidak bisa mengadzankan dan mengiqomahkan saat kamu lahir kedunia. Jika tadi malam mimpiku adalah sebuah petunjuk dari Allah, pasti kau terlahir seorang lelaki tampan. Aku harap, kamu bisa melindungi ibu dan kakak perempuanmu. Samsudin, anakku. jika kelak kau sudah dewasa, jangan sampai kau meninggalkan ibu dengan alasan apapun. Jaga ibumu karena bapak sudah tidak bisa di sampingnya lagi. Tapi anakku. hidup memang penuh air mata. Jangan sekali-kali kau pergi dari tanah kelahiranmu hanya karena untuk menghapus air matamu. Jangan, nak. Masalah rezeki sudah yakinkan kepada Allah. Tidak perlu kau kesana-kemari utuk mencarinya.” Tanpa tersadar, air mataku membasahi pipiku. Apakah lelaki bersurban itu adalah bapakku? Ah, kenapa waktu itu aku begitu acuh tak acuh dan tidak berani menyakan Namanya. Andai waktu itu aku menanyakan Namanya mungkin aku akan tahu dan menanyakan asalnya. Tapi, ya, sudahlah. Waktu sudah berlalu.
“Coba buka yang dibalut kain itu ,din” tutah ibu kepadaku. Kulihat ibu juga meneteskan air mata. Di balik bola matnya yang indah seperti telah menahan rindu yang amat dalam.
Dengan pelahan aku buka kain putih itu, dan sebuah figura yang terpampang foto keluarga. Foto itu berisi tiga orang yang sudah agak memudar. Aku perhatikan dengan seksama. Muka lelaki yang merangkul seseorang Perempuan itu mungkin dia istrinya, di sebelah kiri tagannya mengganting seorang putri kira berumur empat tahun. Bukankah foto anak kecil ini seperti foto kak Halimah. Jadi, lelaki bersurban itu benar-benar bapakku? Tiba-tiba ibu berteriyak.
“Bapaaaak…..” dan ibu seketika tidak sadarkan diri.
“Bu, bangun, bu. Ibu bangun, bu!” aku menggoyag-goyangkan bahu ibu yang tergeletak lemas.
Selesai.