Posted in

Bahstul Masail Bukan Forum Tanya Jawab

Bahstul Masail Bukan Forum Tanya Jawab
Bahstul Masail Bukan Forum Tanya Jawab

Bahtsul Masail bukan sekadar membaca dan melemparkan dalil hukum, atau sekadar menerjemahkan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. BM adalah forum untuk mengasah ketajaman dalam mengaktualkan dalil pada pelbagai persoalan yang sedang diangkat.

Saya pernah mendengar kelakar begini: “Bahtsul Masail yang benar itu, saling beradu ibarat (dalil).” Bagi saya, kelakar ini cukup riskan. Ada sedikit kampanye stagnasi dalam ucapan tersebut, seolah-olah dalil adalah titik tertinggi dalam pencapaian seorang mubahits.

Pernah suatu kali, saya mengikuti Bahtsul Masail di salah satu pesantren besar di Jember. Seperti biasa, saya berangkat hanya bermodal nekat—hanya membawa sedikit dalil sebagai pembuktian atas jawaban yang saya pilih.

Saya bertugas sebagai penyampai argumen—karena lemah dalam hal membaca—sementara yang membaca ibarot-nya adalah kawan saya. Sekarang orangnya menjadi aktifis pemuda di desanya.

__________________________

Baca Juga

__________________________

Di Majelis B, saya—perwakilan dari PP Banyuputih Kidul—berada satu majelis dengan PP Sukorejo, PP Bata-Batas, PP Lekok Pasuruan, PP Langitan, dan PP Blokagung. Ada banyak pesantren lain juga. Yang paling inti dan berkesan di majelis ini, saya bersyukur bisa satu forum bersama orang-orang alim yang luar biasa itu.

Ada satu peserta mubahits yang cukup mengesankan dan menjadi pelajaran bagi saya hingga kini. Ia adalah santri utusan dari salah satu pesantren yang saya sebutkan di atas. Orangnya kritis, tampak kaya akan argumentasi, dan memahami pola kitab kuning ketika menyajikan tawaran hukum––Belum pernah saya temui sebelumnya pola seperti ini di forum internal pondok.

Pola argumentasi yang ditawarkan oleh mubahits itu seketika menampar pemahaman saya tentang Bahtsul Masail yang seharusnya. Ternyata Bahtsul Masail tidak sesimpel yang saya bayangkan dan alami selama ini: hanya membaca asilah, lalu mencari ibarot, dan ujug-ujug akhirnya hukum diputuskan––tidak sesederhana itu.

Pola berargumen mubahhits itu masih banyak orang belum paham. Pola, atau mungkin bisa disebut metode. Dan pola ini memiliki pengaruh besar terhadap hasil dari sebuah hukum.

Mubahits itu menjadi titik awal saya memahami Bahtsul Masail dalam bentuk nyata—walaupun saya sendiri sampai sekarang bukan orang yang cakap dalam ber-BM.

Kata maqolah, “Kalau tidak bisa menjadi sesuatu, maka cintailah sesuatu yang sudah jadi.” “Kalau gak bisa Alim, Cintailah Orang Alim.”

Gaya yang berpola—tidak sekadar menjawab sebuah pertanyaan seperti dalam majelis tanya-jawab— menjadi jawaban sekaligus contoh konkret dari cara berpikir yang diajarkan oleh guru Bahtsul Masail di Pondok Pesantren Bakid setiap malam Selasa, Ustadz Saiful Ulum.

Ustadz Saiful kerap menyampaikan, “Dalam ber-bahstul, carilah variabel-variabel persoalan sebelum menjawab. Uraikan dalam argumentasi, dan konkretkan secara nyata.” Kira-kira bahasa keren dan simpelnya seperti itu.


Sambil membatin––saat mendengarkan argumentasi mubahhis tadi waktu itu  : ternyata apa yang disampaikan guru kami tidak pernah benar-benar diterapkan—tidak heran jika arahan itu tidak henti-hentinya disampaikan di forum.

Merasa malu ndakik-ndakik di forum internal, ternyata dari dulu metodenya salah.

Author

Mahasiswa Pascasarjana UINSA Surabaya