Tasawwuf ala Alumni Pesantren
2 mins read

Tasawwuf ala Alumni Pesantren

Alumni adalah sebutan santri yang sudah boyong dari pesantren.  Penyebabnya bervariasi. Ada yang sudah tamat  sedangkan rasa hausnya pada ilmu belum terobati, pilihan melanjutkan studi menjadi opsi agar bisa melepas kedahagaan pada ilmu.  Juga tidak jarang ada yang berhenti karena rumahnya telah menjadi surga menjanjikan. Semua alat elektronik dan kendaraan bagus selalu menjadi bayangan saat masih dipesantren, alhasil jurus yang ditempuh satu-satunya harusbisa keluar dengan terus mendesak orang tua. Dan paling rasional (untuk dibuat alasan) adalah menikah.

Mungkin, bagi mereka yang masih meneruskan rihlah ilmiyahnya,  kehidupan sehari-hari masih tetap konsisten pada nuansa ukhrowi. Namun, bagi yang tidak maka siap-siap dalam kehidupannya ada pemilihan antara mengikuti ilmu atau nafsu. Karena pada kenyataannya di masyarakat Permasalahan itu pasti ada hubungan erat dengan ekonomi. Pemilik ekonomi menengah ke bawah akan diuji dalam bekerja. Hal ini tidak akan luput pada semua usaha, baik yang berniaga atau menjadi pegawai wiraswasta.

Berikut beberapa probematika dan tips dalam bermasyarakat dari pandangan para ulama’ sholih.

A. Ekonomi

Masalah ini sudah sangat hampir menyeluruh dirasakan oleh setiap alumni terutama bagi mereka yang berhenti untuk mengarungi mahligai rumah tangga.

Abu Nasr bin Muhammad bin Ibrahim Assamarqondi dalam kitab Tanbihul ghofilin memberikan tips agar  mempunyai pekerjaan yang baik.

 قال الفقيه) رحمه الله من اراد أن يكون كسبه طيبا فعليه أن يحفظ خمسة أشياء (أولها) أن لا يؤخر شيئا من فرائض الله تعالى لأجل) الكسب ولا يدخل النقص فيها (والثانى) لا يؤذي أحدا من خلق الله تعالى لأجل الكسب (والثالث) أن يقصد بكسبه إستعفافا لنفسه ولعياله ولايقصد به الجمع و الكثرة (والرابع) أن لا يجهد نفسه في الكسب جدا (والخامس) أن لا يرى رزقه من الكسب ويرى الرزق من الله تعالى والكسب سببا

Barang siapayang menginginkan pekerjaannya baik (barokah) maka hendaklah menjaga lima hal:

  1. Tidak mengakhirkan dan mengurangi kewajiban kepada Allah dengan alasan pekerjaan.
  2. Tidak menyakiti seseorang dalam usahanya.
  3. Untuk menghindari diri dan keluarga dari sifat meminta dan bukan bermaksud memperkaya.
  4. Memforsir tubuhnya dalam bekerja.
  5. Beranggapan jika kerja hanya pelantara datangnya rizqi.

Baca Juga

Berakal Sehat dengan Menghilangkan Kedengkian

B. Budayakan Bertanya

Selain rendah dalam membaca masyarakat kita juga sedikit enggan untuk bertanya. Apalagi jika menyangkut agama.  Sedang al-Quran telah memberikan gambaran kepada siapa yang pantas menjadi rujukan utama.

فَسۡ‍َٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43)

Al-Habib Abdullah bin Alawy al-Haddad dalam kitabnya Risalatul Muawanah mengklasifikasikan sifat Ahlul Dzikri dengan ulama’ yang:

  1. Murni berjuang karena Allah Swt.
  2. Mengamalkan ilmunya.
  3. Hanya mengharap ridho Allah Swt.
  4. Zuhud atau tidak cinta dunia.
  5. Selalu mengajak pada jalan Allah Swt.
  6. Mukasyafah (tersingkap dari rahasia-rahasia Allah Swt).

Dari pemaparan diatas tidak lain tujuannya hanya semata-mata ingin mengharap ridho Allah Swt dalam segala aspek kehidupan, sehingga suatu saat bukan hanya dunia yang diperoleh tapi juga ketenangan dan keberkahan. Hal  ini juga cara agar menghindari dari sifat kedzoliman pada ilmu sebagaimana yang telah di dawuhkan oleh guru kita KH. Husni Zuhri yang mengutip dawuh KH. Hasani Nawawi ”ilmu sekarang didzolimi” artinya capek-capek dicari dan dibiayai  tapi akhrirnya tidak dikerjaan samasekali. Oleh sebab itu agar kita tidak berlabel “orang dzolim” sedikit ilmu yang diperoleh dari pesantren semaksimal mungkin dikerjakan

Author

Leave a Reply