Polemik Zakat : Pembayaran Zakat Melalui Masjid, Sekolah, Ormas dan Kyai Kampung (Bag.1)
Dalam konteks ke-Indonesiaan, kita sering kali menjumpai masyarakat sekitar menyalurkan zakat melalui mesjid-mesjid, sekolahan, organisasi kemasyarakatan dan kiyai kampung. Hal ini -menurut pandangan mereka- dinilai sebagai akses termudah dan terdekat untuk membayarkan zakat. Namun permasalahan muncul ketika ada sebagian oknum dari pihak-pihak tersebut mengaku dirinya sebagai amil zakat dan kemudian meraup keuntungan dengan mengambil bagian dari hasil zakat yang dibayarkan oleh masyarakat kepada mereka. Lantas bagaimana tinjauan hukum fiqh dalam menyikapi permasalahan ini?
Pertama: apakah lembaga atau pihak yang disebutkan di atas bisa dikategorikan sebagai amil zakat, sehingga berhak menerima bagian dari harta zakat? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami terlebih dahulu pengertian amil zakat di dalam bab fiqh. Berikut adalah definisi amil zakat yang disebutkan oleh Al-Imam Zainuddin Al-Malibari di dalam kitab Fathul Muin:
والعامل –كساع-: وهو من يبعثه الإمام لأخذ الزكاة, وقاسم وحاشر, لا قاض. اهـ
“Amil Zakat adalah orang yang diutus oleh Al-Imam (Pemerintah) untuk mengambil harta zakat, seperti: petugas yang mengumpulkan harta zakat, petugas pembagi harta zakat, dan petugas yang mengumpulkan pemilik harta zakat serta para mustahiq, tidak termasuk qodhi (hakim).”
Jika kita melihat realitanya, pihak-pihak yang disebutkan di atas (masjid, sekolahan, organisasi kemasyarakatan dan kiyai kampung) bukanlah badan resmi yang diutus oleh pemerintah untuk mengelola urusan zakat, maka dengan secara otomatis pihak tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai amil zakat dan tidak berhak mendapatkan bagian dari harta zakat atas nama amil. Hal ini mengecualikan semisal lembaga BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) yang secara resmi mendapatkan legalitas dari pemerintah, maka ia bisa disebut sebagai amil zakat dan berhak mendapat bagian dari harta zakat yang telah dikumpulkan, dengan catatan pegawai BAZNAS tidak mendapat gaji secara khusus yang diambilkan dari anggaran negara. Jika demikian adanya, apakah boleh menyalurkan harta zakat melalui pihak/lembaga tersebut? Perlu kita fahami terlebih dahulu, di dalam bab fiqh ada 2 cara yang bisa digunakan seseorang untuk membayarkan harta zakat. Pertama adalah disalurkan secara langsung; yaitu seseorang menyerahkan harta zakat kepada mustahiq secara langsung, baik dilakukan sendiri atau melalui wakil yang dipercayainya. Kedua adalah menyerahkan harta zakat kepada pemerintah atau badan resmi di bawah naungan pemerintah. Berikut ini adalah nukilan dari kitab Fathul Wahhab, karya Asy-Syaikh Zakariya Al-Anshari perihal cara penyaluran harta zakat:
(وَلَهُ) وَلَوْ بِوَكِيلِه (أَدَاؤُهَا) عَنْ الْمَالِ الْبَاطِنِ -وَهُوَ نَقْدٌ وَعَرْضٌ وَرِكَازٌ- ، وَالظَّاهِرِ -وَهُوَ مَاشِيَةٌ وَزَرْعٌ وَثَمَرٌ وَمَعْدِنٌ- (لِمُسْتَحِقِّهَا إلَّا إنْ طَلَبَهَا إمَامٌ عَنْ) مَالٍ (ظَاهِرٍ) فَيَجِبُ أَدَاؤُهَا له ، وَلَيْسَ لَهُ طَلَبُهَا عَنْ الْبَاطِنِ إلَّا إذَا عَلِمَ أَنَّ الْمَالِكَ لَا يُزَكِّي ، فَعَلَيْهِ أَنْ يقول له “أدها وإلا فادفعها إلَيَّ” ، وَذِكْرُ الِاسْتِثْنَاءِ مِنْ زِيَادَتِي ، وَأَلْحَقُوا بِزَكَاةِ الْمَالِ الْبَاطِنِ زَكَاةَ الْفِطْرِ. (وَ) لَهُ أَدَاؤُهَا بنفسه أو وكيله (لِإِمَامٍ) لِأَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْخُلَفَاءَ بَعْدَهُ كَانُوا يَبْعَثُونَ السُّعَاةَ لِأَخْذِ الزَّكَوَاتِ (وَهُوَ) أَيْ أَدَاؤُهَا لَهُ (أَفْضَلُ) مِنْ تَفْرِيقِهَا بِنَفْسِهِ أَوْ وَكِيلِهِ لِأَنَّهُ أَعْرَفُ بِالْمُسْتَحَقِّينَ (إنْ كَانَ عَادِلًا) فِيهَا وَإِلَّا فَتَفْرِيقُهُ بِنَفْسِهِ أَوْ وَكِيلِهِ أَفْضَلُ مِنْ الْأَدَاءِ لَهُ ، وَتَفْرِيقُهُ بِنَفْسِهِ أَفْضَلُ مِنْ تَفْرِيقِهِ بِوَكِيلِهِ.
“Dan (diperbolehkan) bagi muzakki -meski melalui wakilnya- menunaikan zakat harta batin -yaitu berupa emas dan perak, harta dagangan, serta harta temuan, dan juga harta zahir -yaitu berupa hewan ternak, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan dan harta tambang- kepada orang yang berhak menerima zakat (secara langsung). Dan (juga boleh) bagi muzakki menunaikan zakat -baik dilakukan sendiri ataupun melalui wakilnya- kepada Imam (Pemerintah) karena Nabi Muhammad Saw. dan para Khalifah setelahnya pernah mengirim beberapa petugas untuk mengambil harta-harta zakat.
Baca Juga
- Ramadhan Bulan Doa
- Ramadhan dengan Segala Keistimewaannya
- Masih Belum Terlambat, Kiat Berburu Malam Lailatul Qadr
Sebuah pengecualian, jika Imam (Pemerintah) meminta zakat harta zahir maka muzakki wajib membayarkan zakat itu kepada Imam. Dan Imam tidak berhak meminta zakat harta batin dari muzakki, kecuali jika Imam mengetahui bahwa pemiliknya enggan membayarkan zakat harta batin maka Imam harus memberitahunya dengan berkata “bayarkan zakatmu (kepada yang berhak) kalau tidak maka serahkan harta zakat itu kepadaku (supaya aku salurkan kepada yang berhak menerima)”. Dan para ulama menggolongkan zakat fitri termasuk kategori harta batin.
Adapun menyerahkan harta zakat kepada Imam itu lebih utama ketimbang menyerahkan zakat secara mandiri atau melalui wakil, karena Imam lebih mengetahui siapa saja orang yang berhak menerima bagian dari harta zakat. Hal ini berlaku jika Imam bisa bersikap adil dalam membagikan zakat, namun jika tidak demikian maka meyalurkan zakat secara mandiri atau melalui wakil itu lebih utama ketimbang membayarkan zakat kepada Imam, dan membayarkan zakat sendiri lebih utama dibandingkan melalui wakil.”
Dari pernyataan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa menyalurkan zakat melalui masjid, sekolahan, organisasi kemasyarakatan atau kiyai kampung termasuk dalam cara yang pertama, yaitu menyalurkan zakat secara langsung yang dilakukan melalui wakil, karena pihak-pihak tersebut masih belum bisa masuk dalam kategori badan resmi pemerintah. Dan hal ini diperbolehkan secara fiqh sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Namun terdapat perbedaan dari segi konsekuensi antara kedua cara ini. Dengan menyerahkan harta zakat kepada pemerintah / badan resmi dibawah naungan pemerintah maka muzakki terbebas dari tanggungan zakat, sekalipun harta zakat tersebut tidak tersalurkan sebagaimana mestinya. Berbeda halnya ketika dia menyalurkan harta zakat secara mandiri / melalui wakil, dia belum bisa terbebas dari tanggungan zakat sebelum harta itu disalurkan kepada penerima sebagaimana mestinya.
Adapun perihal penyerahan zakat melalui pihak atau lembaga tadi dengan akad taukil/wakalah akan dijelaskan secara detail pada tulisan selanjutnya. Bersambung….
- فتح الوهاب على شرح المنهج
- فتح المعين مع حاشية إعانة الطالبين