
Manusia Tergantung Pikirannya
Di hari kedua puasa, saya mengikuti ujung acara Enlightenment Ramadan live di IG bersama kang Yudi atau Prof. Yud Latif, Ph.D, merupakan Dewan Pembina NCMS yang diinisiasi oleh Nurcholish Madjid Society dengan tema “Puasa, Mempertajam Daya Pikir.” Tema tersebut diambil dari statement beliau yang menurut saya menarik untuk dilanjutkan dalam bentuk tulisan yang berbeda sebagai berikut.
Pikiran manusia menjadi modal dasar dalam melakukan sebuah aktion. Aksi seseorang tergantung apa yang iya pikirkan. Bila berpikir adil, maka akan melahirkan keadilan bagi diri sendiri dan dampaknya pada orang sekitar. Namun bila otaknya dipengaruhi oleh pikiran regresif, maka akan berdampak negatif yang cenderung lebih membahayakan orang lain di bawah kebijakannya. Pentingnya berpikir ini sebagai modal utama dalam melakukan tindakan. Maka “adil sejak dalam pikiran” ungkapan Pramoedya Ananta Toer dalam novel Bumi Manusia selalu menjadi (bahan) buah bibir dalam banyak podcast dan acara lain yang menyuguhkan tentang pikiran.
Sederhananya pikiran adalah modal dasar dalam melakukan tindakan tertentu. Karena pikiran adalah modal utama, sering kali kita diingatkan oleh banyak petuah, misalkan tafakkar qoblal kalam (berpikirlah sebelum berucap) dll, agar tidak salah dalam mengambil tindakan. Karena dari pikiran itulah berbuah ucapan dan tindakan di terjemahkan. Untuk menghasilkan output positif, tentu penyaringan dan memilah serta memilih melalui filter keilmuan, kedewasaan, kecakapan, serta kepantasan menjadi sangat krusial untuk dijadikan sebagai tolok ukur. Karena tidak sedikit dari pikiran-pikiran regresif, kotor dan negatif itu melahirkan tindakan tindakan yang agresif, tidak manusiawi, berdampak pada kerugian banyak hal.
Bulan puasa ini misalkan, kita semua yang seharusnya berpuasa dengan nyaman, tenteram dan nikmat-hikamt, pikiran kita disibukkan dengan kasus korupsi oleh pegawai Pertamina dengan media pertalite menjadi pertamax yang di oplos, berakibat pada kerugian negara sebesar 1 kuadriliun. Kenapa? Faktor utamanya apa? Siapa yang harus bertanggung jawab? Oke, jawabannya kita kesampingkan atau cari di lain kesempatan. Kita ambil kasus ini sebagai sample untuk menjawab pertanya, kenapa ini bisa terjadi. Mereka melakukan tindakan menyimpang itu karena sejak dalam pikirannya sudah miskonsepsi dengan teori yang sebenarnya. Pikiran salah memposisikan/memberi tempat, yang seharusnya teori-teori positif menjadi acuan dan bertindak sebagai berginning position, tapi malah menjadi ajang kepuasan nafsu. Ini menyalahi aturan pikiran yang sebenarnya. Pikirannya sesat. Orangnya bermintal regresif, yang seharusnya diusia matang tersebut secara normal fokus pada pengabdian kepada negara, ternyata sebaliknya. Magnet gravitasi syahwatnya lebih besar dari pada akomudir keilmuan, kesufistikan, dan ketundukan pikirannya pada nilai-nilai agama dan budaya. Mental regresif ini selalu akan haus dan terus merasakan lapar meskipun secara naluriah sudah kenyang dan berkecukupan. Minyak bumi diminum, tambang dimakan, udarat ditilep, pengadaan kapal menjadi ajang bisnis keuntungan pribadi. Pikiran dan mental regresif ini tidak mengenal usia, waktu, tempat dan kondisi. Semua akan dihabisi hingga mental regresif itu membunuh dirinya sendiri.
Pikiran terbagi menjadi dua menurut Daniel Kahneman, yaitu thinking Slow yang berkonotasi pada praktik yang terbilang lamban karena butuh waktu, berjalan sistematis, menggunakan skema, butuh banyak usaha, analisis yang panjang, penggunaan logika yang matang, dan rasional yang kuat agar mendapatkan buah yang baik dan maksimal. Sedangkan thinking fast adalah pikiran yang responsif/cepat, otomatis, dan tidak memerlukan banyak usaha dalam menangkap dan menyikapi sebuah isu. Hal ini dipengaruhi oleh kekuatan intuitif melalui kekayaan pengalaman dengan moral purpose yang di miliki oleh seseorang.
Kembali ke tema, bahwa kita tergantung pikirannya dan pikiran itu tergantung bagaimana si pemilik mengolahnya (olah pikir). Kekuatan berpikir tergantung pada kekuatan imajinatif. Orang yang banyak pengalaman cenderung memiliki arus sensitivitas respon yang kuat. Bisa dilihat dalam penggunaan bahasa sehari-hari sebagai terjemahan dari buah pikiran. Kekuatan berpikir ini bersumber dari olah pikir itu sendiri, olah batin dan olah imajinasi yang bisa melahirkan framework untuk digunakan sebagai sistem kerja mendisiplinkan diri.
Sebagai hamba Allah, kita tidak hentinya ditanyakan arus pikiran kita. Secara tekstual pertanyaan afala ta’qilun, afala tatafakkarun secara harfiah memiliki arti apakah kamu tidak berakal, apakah kamu tidak berpikir. Tapi makna yang terkandung di dalamnya sangat luas dan sarat akan pertanyaan yang harus hambanya jawab. Misal dideskrisikan, apakah kamu tidak berpikir tentang dirimu sendiri, asal usul bumi, keajaiban-keajaiban yang tidak henti-hentinya terjadi, dosa-dosa yang sudah di perbuat, kemiskinan yang merajalela, kebijakan yang tidak sesuai dengan kemasalahatan bersama, kemajuan zaman yang terus membawa kecemasan bagi sebagian orang dan terlena bagi yang lain, dan lain sebagainya.
Hidup ini akan terus berlanjut dengan segala perubahan yang akan terjadi. Manusia sebagian tidak menjawab pertanyaan Tuhan dengan memilih tuli. Sedangkan manusia lainnya sibuk dengan pembuktian atas pertanyaan tersebut dengan kesholihannya, kemajuan arah pikiran, mampu membuktikan adanya evolusi secara berkala, ilmu pengetahuan yang terus berkembang dan masih banyak lagi konten dan media sebagai bentuk jawaban dari pada pertanyaan Tuhan, “apakah kamu tidak berpikir?”
Pada intinya arah perbuatan, moral, kebijakan dan lainnya bersumber dari dalam pikiran. Pikiran yang bersih akan melahirkan perbuatan yang bersih, pikiran kotor akan mengeluarkan bau busuk. Jika tadi malam tidak sahur karena kesiangan, pikirannya sibuk dengan sahur yang terlewatkan. Maka rasa lapar akan terus datang memaksa. Begitu juga contoh-contoh lainnya. Yuk positif thinking, jangan negatif thinking.