Al-Quran dan Realitas Empiris : Upaya Mengambil Jalur Tengah dari Dua Metodologi Penafsiran
Kitab suci sering kali dipahami sebagai dasar dogma bagi penganutnya.Oleh sebab itu tidak heran ketika kitab suci kemudian menjadi sumber utama dalam kegiatan realitas sosial saat proses suatu peradaban bangsa dibangun. Dalam Islam, Al-Quran menjadi pusat dalam membangun keadaan sosial masyarakat. Al-Quran dalam hal ini berperan di satu sisi sebagai pusat ajaran, dan di sisi lain sebagai pusat pembentukan realitas sosial masyarakat Muslim.
Di masa modern, pengkaji Al-Quran hadir sebagai pengkritik, pelabel, atau penyempurna atas gagasan yang telah lama ada. Realitas empiris yang sering diistilahkan dalam kajian sosial humaniora, kemudian dimasukkan sebagai metodologi modern dalam memahami Al-Quran. Sebagai contoh, Al-Quran yang pada awalnya disebut teks Wahyu yang bersifat mistis, dianalisis melalui metodologi filologi modern yang kemudian muncul anggapan Al-Quran sebagai teks manuskrip buatan Muhammad.
Metodologi modern lainnya juga diterapkan dalam mengkaji isi kandungan Al-Quran. Diskursus sosial budaya seperti pernikahan beda agama, gender, poligami, dan isu-isu lain yang dianggap sebagai isu modern, dengan melalui analisis pendekatan telaah sastra dan historis kritis. Pendekatan ini menimbulkan polemik di kalangan ilmuwan Muslim arus utama karena bagi mereka, Al-Quran adalah sumber amaliah sosial yang bersifat ilmiah, bukan sekadar realitas empiris.
Oleh karena itu karena berangkat dari suatu pemahaman yang berbeda, kendatipun di internal muslim arus utama sendiri terjadi perbedaan penafsiran dalam mengungkapkan makna ayat, akan tetapi penafsirannya tidak sampai menyentuh koherensi tafsiran dan melupakan realitas historis secara dogmatis, serta tidak membiarkan begitu saja sebuah teks serta nalar kritis berjalan liar dalam kajian realitas empiris.
__________________________
Baca Juga
- Mengenal Ilmu Studi Quran : Dari Zaman Klasik Hingga Kontemporer
- Mendidik dengan Hati, Cinta dan Doa Ala Rasulullah Saw
- Mengurai Keutamaan 10 Hari Bulan Dzulhijjah dalam Al-Quran dan Hadits
- Dilema Perjodohan: Menyelami Perspektif Islam Antara Cinta, Ketaatan, dan Kebahagiaan
- Masih Belum Terlambat, Kiat Berburu Malam Lailatul Qadr
- Antara Pengetahuan Konseptif dan Asensif
__________________________
Sebagai contoh, Dr. Awis dalam bukunya “Ilmu Tafsir: Ushuluhu wa Manahijuhu” menegasikan pandangan Al-Quran sebagai teks yang kemudian ditafsirkan oleh para mufassir arus utama dalam sejumlah kitab. Dalam bukunya, Gus Awis menyebut “Ikhtilaful Mufassirin Tanawwu’un,” yang berarti perbedaan penafsiran para mufassir adalah variatif. Gus Awis menghadirkan banyak penafsiran berbeda dengan telaah yang cukup anatomis, seperti kata “Maliki” dan “Maaliki” dengan mim panjang yang bermakna raja dan pemilik yang secara semiotik masih berkaitan. Serta contoh lain.
Munculnya Al-Quran sebagai realitas empiris dalam beberapa dekade terakhir menjadi pembahasan menarik di kalangan pengkaji Al-Quran, terutama pengkaji dengan latar belakang kajian metodologi modern. Fenomena ini perlu diapresiasi sebagai temuan ilmu, namun juga perlu dikritisi sebagai fenomena ajaran keagamaan. Bagaimanapun, ketertarikan terhadap Al-Quran sebagai telaah penting dalam kajian sosial humaniora tidak menafikan Al-Quran sebagai ilmu agama. Oleh sebab itu, kategorisasi Al-Ghazali terhadap ilmu dengan membagi antara Fardu ‘Ain dan Fardu Kifayah perlu dikaji kembali dalam konteks kajian Islamic Studies yang disebut sebagai cabang dari ilmu sosial humaniora.
Refrensi : Ilmut Tafsir : Ushuluhu Wamanahijuhu; Think Outhsite The Book dan Logical Fallacy