Mahallun Nadzar Kenapa “Indonesia Gawat Darurat?.”
Sore hari tanggal 21 Agustus 2024, secara kebetulan mendapati informasi dari beranda sosial media berupa poster bergambar garuda dengan berlatar warna biru tua, dengan tag line “Indonesia Gawat Darurat.” Mendapati informasi seperti ini sudah menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat Indonesia yang gumunan dan kagetan. Akan tetapi, hal ini membuat saya termantik untuk menggali informasi secara serius, saat Neng Yenny Wahid dalam Instagramnya juga ikut bernarasi dengan video humor pendek. Sementara itu, tepat pada pagi hari tanggal 22 Agustus 2024, saat masih berusaha memahami akar permasalahan ini, saya juga mendapati Bapak Mahfud MD ikut serta berkomentar.
Setelah mendapati komentar dari dua tokoh ini, sampai beberapa kali membaca artikel dan berita yang beredar, akar permasalahannya belum juga bisa saya tangkap selain dari komentar dan seriwungan berita-berita yang ada. Hingga akhirnya, saya coba mengakses portal populer Alif.id, dengan harapan ada bahasan tentang permasalahan ini. Dalam portal ini, ternyata sudah ada tulisan Neng Alissa Wahid sebagai perwakilan dari Gusdurian, dengan judul artikel “Jaringan Gusdurian Mengecam Korupsi Konstitusi oleh Dewan Perwakilan Rakyat.”
Poin yang membuat bisa perosalan Indonesia Gawat Darurat Ini adalah pada poin pertama dalam ultimatum dari jaringan Gusdurian :
“Mengecam Upaya Dewan Perwakilan Rakyat yang Melakukan Pembangkangan Konstitusi dan Membahayakan Kedaulatan Hukum.”
Dari poin ini, kemudian bisa dipahami persoalannya, yaitu DPR membuat UU tentang Pilkada yang bertolak belakang dengan keputusan MK terbaru, tentang penghapusan batas ambang parlemen serta keputusan tentang perhitungan minimal dimulainya umur calon kepala daerah. Dalam poin ultimatum selanjutnya, nomor kelima tertulis, “Menyerukan Para Elite Politik, Para Ketua Umum Partai, dan Para Pimpinannya untuk Menempatkan Kepentingan Bangsa dan Negara di Atas Kepentingan Kelompoknya.”
Dari artikel berupa kecaman dari jaringan Gusdurian yang tertulis sekitar lima butir itu, akar persoalannya akan ditemukan. Meminjam istilah yang dipakai oleh kawan-kawan hukum Islam di forum bahsul masail, “mahallun nadzornya” kemudian bisa dipahami. Dalam hal ini, letak persoalannya bukan saja tentang Kaesang atau Anies Baswedan, melainkan perihal keputusan Mahkamah Konstitusi sebagai hukum sakral dan tertinggi negara yang malah terlihat konyol, seperti mainan anak kecil atau odong-odong di tangan para anggota DPR.
_________________________
Baca Juga
- “Menyemai Sunnah: Kerja Sosial Kiai Kampung dalam Merangkai Jamaah (Telaah Antropologis Kiai Paman dan Masyarakat Resongo)”
- Media Mengenal Allah SWT
- Dua Do’a Dalam al-Qur’an Untuk Mensyukuri Kemerdekaan
- IKN dan Jokowi: Tala’ah Geografis Al Mansur dan Ibu Kota Baghdad
- Hakikat Cinta dalam Perspektif Tafsir Asy-Sya’rawi
- Mengenal Ilmu Studi Quran : Dari Zaman Klasik Hingga Kontemporer
- Mendidik dengan Hati, Cinta dan Doa Ala Rasulullah Saw
- Mengurai Keutamaan 10 Hari Bulan Dzulhijjah dalam Al-Quran dan Hadits
- Dilema Perjodohan: Menyelami Perspektif Islam Antara Cinta, Ketaatan, dan Kebahagiaan
- Masih Belum Terlambat, Kiat Berburu Malam Lailatul Qadr
- Antara Pengetahuan Konseptif dan Asensif
__________________________
Sebagai sedikit bukti perihal kebijakan MK memiliki otoritas kuat ialah kasus MKMK yang merupakan kebijakan Mahkamah Konstitusi terkait peraturan undang-undang ambang batas umur bagi capres dan wapres yang dinilai sangat memuat unsur nepotisme. Kendatipun banyak mempersoalkan dari beberapa kalangan dan kritik, ketetapannya tidak bisa diubah, bahkan ketika hakim yang memberikan putusan, terbukti telah melanggar kode etik hakim konstitusi.
Lain lagi di ketetapan MK untuk Pilkada yang saat ini menjadi persoalan. Saat MK merevisi undang-undang Pilkada dengan lebih mapan serta menguntungkan rakyat, tidak ada intrik untuk keuntungan kelompok aliran tertentu. Alih-alih DPR, yang disebut mewakili rakyat, mendukung dan mengawalnya, yang terjadi justru DPR membuat kebijakan UU Pilkada tandingan. Di sinilah kemudian dua tokoh Anies Baswedan dan Kaesang menjadi tokoh yang dibawa bawa dalam objek persoalan ini.
Artinya, keputusan MK yang sudah diputuskan tentang penghapusan ambang batas parlemen dan peraturan minimal umur 30 tahun yang dihitung saat pendaftaran, yang diubah oleh DPR, merupakan letak persoalan intinya. Sementara Kaesang dan Anies Baswedan adalah dua tokoh yang menjadi aksi dari kerja-kerja politis di DPR tersebut sebagai dugaan nepotisme pemerintah dengan memperalat DPR dalam Pilkada yang akan sedang berlangsung.
Pasalnya, posisi Anies Baswedan sebagai oposisi, karena permainan DPR ini, langkah menjadi cagub DKI Jakarta akan terhenti tanpa harapan, sebab terkendala tidak bisanya lagi partai selain yang bersatu dalam koalisi gemuk KIM Baru untuk mengusungnya. Sementara Kaesang, anak dari presiden, yang digadang-gadang akan mencalonkan diri sebagai cagub/cawagub Jawa Tengah dengan rencana akan diusung partai Nasdem dan PSI, yang pada mulanya tidak cukup syarat berdasarkan putusan MK terbaru, akan mulus tanpa kendala karena keputusan undang-undang tandingan DPR yang mengkorupsi keputusan MK itu.
Persoalan tentang Peringatan Indonesia Gawat Darurat ini, pada sejatinya bukan saja tentang umur Kaesang atau Pilkada DKI yang mematikan langkah Anies Baswedan sebagai oposisi pemerintah untuk mencalonkan diri sebagai bakal cagub DKI Jakarta. Akan tetapi, yang lebih penting daripada itu adalah, tentang konstitusi sebagai simbol tertinggi dalam berdemokrasi yang kembali mulai dibuat main-main oleh para oknum-oknum pemerintahan untuk kepentingan kelompoknya. Indonesia yang dalam sejarahnya terkenal sebagai bangsa yang bermartabat dan berbudi luhur, tercoreng karena kepentingan kelompok tersebut.
Pelanggaran-pelanggaran norma berbangsa yang terlihat sekali bersembunyi di balik kepentingan kelompok ini, serta merugikan rakyat dan melanggar demokrasi, bukan saja memicu kritik kepada elite DPR atau rezim yang berkuasa. Selain daripada itu, keprihatinan terhadap bangsa adalah alasan utama yang menjadi objek mengapa persoalan ini perlu dikawal oleh semua kalangan, tanpa terkecuali.
Berdasarkan salah satu pilar kebangsaan yaitu Pancasila yang berbunyi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, maka tidak bisa dibenarkan satupun kelompok memobilisasi kepentingannya sendiri di dalam undang-undang selain untuk kepentingan dan kemaslahatan umum. Sebab jika dalam beragama, setiap agama berpegang dengan kitab sucinya yang sakral dan merasa terhina ketika dilecehkan, maka dalam berbangsa undang-undang adalah perkara sakral yang wajib dilawan ketika diusik dan dibuat main main oleh siapa saja yang memarginalkan.