Alif Laam Miim : Sebuah Rasa yang Filosofis
4 mins read

Alif Laam Miim : Sebuah Rasa yang Filosofis

Saat mengenal lembaga ini, yang paling membuat saya tertarik adalah namanya, “Alif Laam Miim”, lengkapnya “Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim.” Peninggalan sosok tokoh spiritual intelektual Almaghfurlah Prof. Dr. KH Ahmad Imam Mawardi, M.A. Sebuah peninggalan yang melambangkan keikhlasan Almarhum sebagai pencinta dan pejuang ilmu.

Kemarin, saat perayaan Purnawiyata kelas XII dan IX, ditampilkan video dokumenter tentang sekilas pondok ini saat masih awal didirikan. Dalam video tersebut, ditampilkan dawuh Prof. KH Imam tentang alasan penamaan pondok yang didirikan. Dawuh beliau yang dikenal khas, sistematis, tegas, optimis, dan spiritualis kembali membuat saya merasa beliau sedang berada di tengah – tengah perhelatan acara.

Semangat dari Prof. Imam yang diwakili dalam video yang ditampilkan di tengah acara tersebut memperkaya ornamen keindahan gedung dan panggung yang megah. Saya merasa sedang berada di Taj Mahal di India, sebuah bangunan makam kuno nan megah yang dibangun selama 16 tahun karena cinta Kaisar Mughal Shah Jahan kepada istrinya. Momen tersebut mengingatkan saya pula pada kejayaan umat Muslim di Andalus dalam bidang ilmu pengetahuan, khususnya kreativitas dalam seni dan arsitektur. Andalus yang terdiri dari Spanyol, Portugal, dan Prancis banyak melahirkan intelektual Islam. Saya merasa sedang berada dalam The Great Mosque of Cordoba, masjid yang memadukan arsitektur Romawi dan Gotik, didirikan oleh Khalifah Abdurrahman I

Mbah Yai Imam menjelaskan secara rinci latar belakang pemilihan kata “Alif Laam Miim” yang terdapat dalam Surah Al-Baqarah ayat 1 ini. Satu kata dari beliau yang membuat saya tertarik dan sedikit bertanya-tanya untuk menelusuri sumber serta memahami lebih luas adalah perkataan Prof. Imam yang menyampaikan bahwa Alif Laam Miim bermakna Alif berarti Allah, Lam adalah Jibril, dan Mim berarti Muhammad.

Saat masih di Pesantren Banyu Putih dulu, saya hanya mengenal dari tafsiran ulama’ yang lebih memilih mauquf (tidak menafsirkan) daripada menafsirkan makna dari kata Alif Laam Miim ini. “Wallahu A’lamu bi Murodihi.” Mufassir yang memilih untuk mauquf karena lebih memilih kehati-hatian daripada menafsirkan. Karena arti yang disampaikan oleh Mbah Kyai Imam, saya memahami bahwa kata ini ternyata menyiratkan makna yang kaya, serta memantik untuk membaca buku yang menyajikan lebih luas.

Saya telusuri penjelasan beliau ini, setelah saya telusuri, terdapat dalam kitab Tahrir wa at-Tanwir karya Ibnu ‘Asyur. Menariknya dalam kitab-Nya Ibnu Asyur menampilkan sederet makna yang luas dalam pemaknaan kata ini. Diantarnya sebagian mufassir menafsirkan bahwa pemilihan kata Alif Laam Miim sebagai ayat pertama dalam permulaan Al-Qur’an merupakan hikmah tentang pentingnya metode mengeja huruf demi huruf dalam permulaan pembelajaran Al-Qur’an.

Pemilihan kata dari sosok Mbah Yai Imam untuk lembaga yang didirikan membuat saya sedikit memahami kedalaman dzauq beliau dalam bacaannya terhadap Al-Qur’an, bahkan dalam sekadar tiga kata tersebut. Kedalaman dzauqnya ini membuahkan cita-cita dan diterapkan dalam sebuah peninggalan lembaga keilmuan yang menanamkan jiwa Qur’ani terhadap santri-santrinya.

Kedalaman dzauq dari Kiai Imam mengingatkan saya pada alasan para mufassir yang menafsirkan kata ini. Dalam suatu kesempatan Dr. Afifuddin Dimyati, dosen di perkuliahan yang saya ikuti di sela-sela pengabdian saya di pesantren Alif Laam Miim, pernah mengatakan bahwa alasan para mufassir menafsirkan seperti Alif Laam Miim, Yaa Siin dan ayat mutasyabih lain yang serupa, didasari oleh mawhibah yang berasal dari pemberian Allah karena cintanya pada Al-Qur’an.

Dr. Afifuddin memberikan tamtsil: seperti seorang pemuda ketika menerima surat dari wanita yang dicintainya, sekadar kata singkat pun ia akan memahami maksudnya. Kalau diterapkan dalam dunia modern, seperti balasan WA dari kekasihnya, ia akan memahami situasi hati yang sedang dilanda oleh kekasih yang dicinta, bahkan sekedar tanda baca atau di read tanpa balasan. Seperti inilah kepekaan para mufassir yang pula dimililiki oleh KH Imam Mawardi sehingga beliau lebih mimilih kata ini dari sekian banyak nama yang berfilofis sebagai nama pendidikan yang didirikan.

Wallahua’lamu bi Nafsil Amri.

Author

Leave a Reply