Syaikh Ahmad Al-Dardiri  : Pengampu Ilmu Rasional dan Transisional
4 mins read

Syaikh Ahmad Al-Dardiri  : Pengampu Ilmu Rasional dan Transisional

Nama, Nasab dan Gurunya

Abul Barakat Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Abi Hamid al-Adawi al-Maliki al-Kholwati al-Azhari yang dikenal dengan al-Dardir merupakan tokoh ilmu rasional dan transisional. Sosok yang gemar amar ma’ruf, nahi munkar, tidak pernah gentar oleh cacian sekitar, penuh daya semangat untuk berbuat kebajikan. Pemilik kalimat cantik nan indah, kesusastraannya dapat dicerna dan diterima yang menunjukkan atas satu-satunya ulama’ yang tiada tandingan dimasanya.

Syaikh Ahmad al-Dardir lahir pada tahun 1127 H/1715 M di desa Bani ‘Adi kota Asyuth, Mesir. Sedari kecil, beliau sudah menghafal Al Qur’an sekaligus tajwidnya dan beliau dianugerahi gemar kepada ilmu sehingga beliau mendatangi Jami’ Al-Azhar untuk belajar beberapa ilmu kepada para ‘Ulama yang atas pengajaran-pengajaran yang beliau terima menjadikannya sebagai ‘ulama yang bersinar dan tiada tandingan dimasanya.

Diantara guru-gurunya adalah Syaikh al-Sho’idiy dalam bidang fiqih Malikiy, Syaikh al-Malawiy dan al-Hifni dalam Thoriqoh Kholwatiyah dan menjadi salah satu mursyid agung di thoriqoh tersebut, dan beliau juga berguru kepada Syaikh al-Dasuqi, Syaikh al-‘Uqbawi, dan Syaikh al- Siba’i. Dimasa hidup guru-gurunya, Syaikh Ahmad al-Dardir diizinkan untuk berfatwa berdasarkan keilmuan, kezuhudan dan keagamaannya yang sangat beliau jaga, bahkan beliau dianggap sebagai guru dari penduduk Mesir pasca meninggalnya gurunya yang mulia, al-Sho’idiy. Ditangan Syaikh Ahmad al-Dardir juga menjebolkan beberapa ulama’ yang agung, diantaranya adalah al-‘Adawi, al-Ahmadi, al-Thorabulisi, al-Showi dan al-Fallani.

Kisah Keberaniannya dalam Nahi Munkar

Saksi bisu yang mencatat keberanian Syaikh Ahmad al-Dardir dalam nahi munkar adalah peristiwa yang terjadi pada tahun 1191 H di bulan Jumadil awal, yaitu ketika perseteruan antara orang Maroko yang bermukim didekat masjid al-Azhar dengan wadiul yad (penggarap tanah yang sebenarnya, tetapi orang tersebut tidak mempunyai kepemilikan yang sah) terkait dengan tanah wakaf yang hampir disentuh oleh orang Maroko tersebut. Sampailah perkara tersebut kepada peradilan yang kemudian dimenangkan oleh pihak Maroko.

Deputi dari pihak Maroko adalah Syaikh Abbasa dan dari pihak wadiul yad adalah Yusuf Bey, salah satu pemerintah yang kepadanya wadiul yad meminta bantuan. Ketika perkara sudah diangkat ke meja peradilan dan kebenarannya ada pada pihak Maroko, dimana tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki pemerintah membuat Yusuf Bey marah dan menuduh orang Maroko berbuat kebatilan, bahkan dia mengirim sekelompok orang untuk membungkam Syaikh Abbasa, deputi pihak Maroko.

Berita tersebut dilaporkan kepada Syaikh Ahmad al-Dardir, sehingga beliau menulis surat untuk Yusuf Bey yang menyatakan bahwa Yusuf Bey telah menyinggung penuntut ilmu dan telah melanggar syariat. Namun, ketika surat tersebut yang dibawa oleh Syaikh Abdur Rahman dan rombongannya sampai pada Yusuf Bey, dia marah dan tidak segan memenjarakan utusan Syaikh Ahmad al-Dardir.

Kabar tersebut didengar oleh Syaikh Ahmad al-Dardir dan para Masyayikh Al-Azhar, sehingga mereka mengunci pintu masjid dan meliburkan kegiatan-kegiatan masjid seperti KBM, adzan dan sholat. Rakyat-rakyat kecil berbondong-bondong mendoakan celaka atas para pemimpin, penduduk pasar menutup semua kedai mereka, sehingga fenomena tersebut sampai kepada pemerintah pusat yang pada akhirnya mengintruksikan kepada Yusuf Bey untuk membebaskan tahanan.

Lalu Ibrahim Bey mengutus al-Agha ke al-Ghoriah untuk melakukan perdamaian dan meminta rakyat agar membuka kembali kedai-kedainya. Namun disisi lain, orang Maroko masih belum menerimanya dan mendatangi al-Agha bersama dengan pribumi yang membawa batu untuk memukul mundur al-Agha dan pengikutnya. Perkelahian antara orang Maroko dan al-Agha tidak dapat terelakkan sehingga mengakibatkan 3 orang meninggal dari pihak Maroko dan yang terluka tidak terbilang dari kedua belah pihak.

Hingga akhirnya Ismail Bey dan Syaikh Sadat turun tangan dan ingin meleraikan pertikaian tersebut dengan jaminan memenuhi segala kebutuhan Masyayikh Al-Azhar dan menerima segala bentuk fatwa-fatwa. Akhirnya hal tersebut diterima dan pintu masjid di buka dengan syarat al-Agha dan pemerintah tidak boleh melewati distrik Al-Azhar.

Karya-karyanya

Syaikh Ahmad al-Dardir tergolong ulama produktif yang berhasil menyebarkan ilmunya melalui tulisan, diantaranya adalah Khoridatul bahiyah, Aqrobul Masalik ila madzhab Imam Malik, Syarah shogir, dan Tuhfatul Ikhwan fi adabi ahlil Irfan. Sebenarnya masih banyak lagi kitab-kitab karya beliau, tapi saya hanya menyebutkan yang terbilang fundamental.

Wafatnya

Pada bulan Robiul Awal tahun 1201 H beliau mengalami sakit dan harus berada di ranjangnya. Tepat tanggal 6 Robiul Awal beliau menyambut seruan Tuhannya, dan di sholati di masjid al-Azhar kemudian dimakamkan dekat dengan Sayyid Yahya bin Aqob.

Dan sekarang makam beliau dibangunkan sebuah masjid dengan nama al-Dardir yang hingga kini masih berjalan kajian-kajian dari Masyayikh Al-Azhar di masjid tersebut. Wallahu a’lam.*/Hoirul Anwar

Referensi: ‘Ajaib al-Atsar, Hilyah al-Basyar, Khottot al-Taufiqiyah, Salaki al-Duror.

Author

Leave a Reply