Ramadhan Bulan Al-Qur’an
Ramadhan dan Al-Qur’an memiliki hubungan yang kuat. Ramadhan tak dapat terpisahkan dari Al-Qur’an Karena itu, tidaklah heran di bulan yang penuh berkah, ummat Islam di berbagai belahan dunia berlomba-lomba dengan penuh semangat membaca dan mengkaji (tadarus) Al-Qur’an bersama-sama di masjid-masjid, mushalla-mushalla, surau-surau bahkan di rumah masing-masing. Beberapa media dan TV pun menyuguhkan berbagai macam program syiar Ramadhan dan kajian-kajian tentang Al-Qur’an. Tadarus Al-Qur’an sudah menjadi salah satu ibadah yang lekat dan identik dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah ini. Karena itu, Ramadhan juga disebut sebagai Syahrul Qur’ān atau bulan Al-Qur’an. Allah SWT berfirman :
شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِیۤ أُنزِلَ فِیهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدࣰى لِّلنَّاسِ وَبَیِّنَـٰتࣲ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ
“Bulan suci Ramadhan, yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)” (QS. Al Baqarah: 185).
Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam Tafsirnya mengatakan ayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa Al-Qur’an diturunkan secara utuh (tidak bertahap) dari lauḥul maḥfudz ke baitul ‘izzah pada bulan Ramadhan tepatnya pada malam Al-Qadr suatu malam yang penuh dengan keberkahan. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Fakhruddin al-Razi dalam Mafātīḥul Ghaib, Abdurrahman as-Sa’di dalam Tafsīr as-Sa’dī, dan sejumlah pakar tafsir lainnya. Allah SWT berfiman
إِنَّاۤ أَنزَلۡنَـٰهُ فِی لَیۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ
“Kami menurunkannya pada malam Al-Qadr” (Al-Qadr: 1),
dan Allah SWT berfirman:
إِنَّاۤ أَنزَلۡنَـٰهُ فِی لَیۡلَةࣲ مُّبَـٰرَكَةٍۚ
“Kami menurunkannya pada malam yang diberkahi” (Al-Dukhan: 3).
Malaikat Jibril biasanya datang kepada Rasulullah setiap malam di bulan Ramadhan untuk mempelajari Al-Qur’an – sebagaimana disebutkan dalam kitab Shahih Bukhori Muslim – dan Rasulullah saw juga menyetor dan mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an-nya kepada Jibril setiap tahun satu kali. Ketika menjelang wafat, Rasulullah Saw sempat menyetor dan mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak dua kali.
Generasi Salaf di Bulan Ramadhan
Generasi salaf mulai para sahabat dan para ulama memiliki perhatian khusus dengan Al-Qur’an khususnya di bulan Ramadhan. Mereka mencurahkan sebagian besar waktu mereka untuk membaca Al Qur’an selama bulan suci ini. Terkadang para generasi salaf meninggalkan kajian ilmu hanya untuk fokus untuk membaca Al Qur’an.
Adalah sahabat Usman bin Affan –raḍiyallāhu ‘anhu– mampu mengkhatamkan Al-Qurān satu kali dalam sehari. Ada yang mengkhatamkan Al-Qurān di bulan Ramadhan setiap tiga malam, sebagian lagi setiap tujuh malam, sebagian lagi setiap sepuluh malam dan mereka membaca dan mengkhatamkan Al-Qur`ān di dalam dan di luar salat.
Imam Syafiī mengkhatamkan Al-Qurān sebanyak 60 kali selama bulan Ramadhan di luar shalat. Imam Abu Al-‘Aswad mengkhatamkan Al-Qur`ān di bulan Ramadhan setiap dua malam. Imam Qatadah istiqamah mengkhatamkan Al-Qur’an setiap tujuh hari, dan bulan Ramadhan setiap tiga malam. Dan pada 10 malam terakhir, Qatadah mengkhatamkan Al-Qur’an setiap malam.
Imam Malik ra meninggakan kajian hadits dan ilmu ketika memasuki bulan Ramadhan dan menfokuskan diri membaca Al Qur’an dari Al Qur’an. Imam Sufyan Ats-Tsauri meninggalkan semua ibadah dan membaca Al Qur’an ketika memasuki bulan Ramadhan.
Tujuan Mengkhatamkan Al-Qur’an
Namun demikian Penting untuk dipahami bahwa membaca Al-Qur’an tidak hanya dimaksudkan untuk sekedar khatam. Allah SWT menurunkan Al-Qur’an ini untuk direnungkan dan diamalkan isi dan kandungannya bukan sekedar dibaca dengan hati yang lalai. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ اِلَيْكَ مُبٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوْٓا اٰيٰتِهٖ وَلِيَتَذَكَّرَ اُولُوا الْاَلْبَابِ
(Al-Qur’an ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu (Nabi Muhammad) yang penuh berkah supaya mereka menghayati ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran. (QS Ṣād : 29)
Ayat ini menjelaskan bahwa salah satu tujuan utaam Al-Qur’an diturunkan kepada ummat Islam adalah untuk direnungi dan dihayati makna dan kandungan ayat-ayatnya sehingga Al-Qur’an bisa dijadikan sebagai pedoman dan petunjuk hidup bagi manusia. Syaikh Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Itqān fī ‘Ulūmil Qur’ān juga mengatakan, bahwa kita disunnahkan untuk merenungi ayat-ayat Al-Qur’an di saat membacanya hingga kita bisa nangis. Jika belum bisa menangis, usahakan tetap khusyuk dan penuh kesedihan sehingga ekspresi kita seolah-olah menangis.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ اَمْ عَلٰى قُلُوْبٍ اَقْفَالُهَا
“Tidakkah mereka merenungkan Al-Qur’an ataukah hati mereka sudah terkunci?” (QS Muḥammad : 24)
Allah telah menggambarkan umat-umat terdahulu dengan ummat yang ummi sebagaimana dalam ayat berikut :
وَمِنْهُمْ اُمِّيُّوْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ الْكِتٰبَ اِلَّآ اَمَانِيَّ وَاِنْ هُمْ اِلَّا يَظُنُّوْنَ
Di antara mereka ada yang umi (buta huruf), tidak memahami Kitab (Taurat), kecuali hanya berangan-angan dan mereka hanya menduga-duga. (QS Al-Baqarah :78)
Menurut Ibnu Abbas dalam Tafsir Ibnu Katsir keummian di sini adalah ketidakfungsian akal dan pemahaman mereka bukan tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis sehingga mereka tidak beriman kepada Rasul mereka dan kitab Taurat yang diturunkan kepada mereka. Bahkan kemudian mereka menulis sebuah kitab tandingan dengan tangan mereka sendiri kemudian mengatakan kepada orang-orang yang awam (bodoh) bahwa kitab tersebut adalah Kitab dari Allah.
Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa kata Al-Amaniy (angan-angan) adalah bacaan dan hafalan. Artinya mereka (ahlul kitab) hanya mengulang-ulang bacaan kitab mereka tanpa pemahaman dan pengalaman.
Pemahaman di atas, telah dikuatkan oleh Rasulullah (saw) saat beliau bersabda kepada para sahabatnya pada suatu hari,
هَذَا أَوَانُ يُخْتَلَسُ الْعِلْمُ مِنَ النَّاسِ، حَتَّى لَا يَقْدِرُوا مِنْهُ عَلَى شَيْءٍ
“Ini adalah waktu ketika ilmu akan dicuri dari manusia, sehingga mereka tidak akan dapat melakukan apapun dengannya.“
فَقَالَ زِيَادُ بْنُ لَبِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ : كَيْفَ يُخْتَلَسُ مِنَّا وَقَدْ قَرَأْنَا الْقُرْآنَ، فَوَاللَّهِ لَنَقْرَأَنَّهُ، وَلَنُقْرِئَنَّهُ نِسَاءَنَا وَأَبْنَاءَنَا
Ziyad bin Labid al-Ansari berkata: Bagaimana ilmu bisa dicuri dari kita padahal kita telah membaca Al-Qur’an? Demi Allah, kami akan membacanya, dan kami akan membacakannya kepada para wanita dan anak-anak kami.”
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا زِيَادُ، إِنْ كُنْتُ لَأَعُدُّكَ مِنْ فُقَهَاءِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ، هَذِهِ التَّوْرَاةُ وَالْإِنْجِيلُ عِنْدَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى، فَمَاذَا تُغْنِي عَنْهُمْ ؟
Dia berkata: “Alangkah malangnya dirimu wahai Ziyad, ! Seandainya aku menganggapmu termasuk orang yang faqih di Madinah. Ini adalah Taurat dan Injil miliknya orang Yahudi dan Nasrani, maka apa artinya bagi mereka?” (HR Tirmidzi)
Oleh karena itu, mengkhatamkan Al-Qur’an tidak dimaksudkan untuk hanya sekedar khatam. Membaca Al-Qur’an pun bukan hanya sekedar untuk dibaca sebanyak mungkin tanpa mentadabburi dan memahami terhadap makna-maknanya kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kita yang sedang berpuasa, marilah kita berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membaca Al Qur’an di bulan ini dengan tadabbur dan hadirnya hati. Jadikan bacaan Al-Qur’an sebagai wirid harian yang tak terlewatkan selama Ramadhan.
Jika kita mampu mengistiqamahkan membaca satu, dua atau tiga juz setiap selesai shalat, niscaya kita akan mendapatkan pahala dan kebaikan yang besar. Jangan lupa untuk mengajak dan memberikan kesempatan kepada keluarga dan anak-anak kita untuk membaca Al-Qur’an di rumah kita masing-masing.
Al-Qur’an Kementerian Agama RI, Tafsir Mafatih Al-Ghaib Fakhruddin al-Razi, Al-Itqān fī ‘Ulūmil Qur’ān Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Ibnu Katsir, At-Tibyan fī ‘Ulūmil Qur’ān Muhammad Ali As-Shabuni, Sunan At-Tirmidzi