Posted in

Menyingkap Eksistensial Larangan Tafsir Bi Al-Ra’y

Menyingkap Eksistensial Larangan Tafsir Bi Al-Ra’y
Menyingkap Eksistensial Larangan Tafsir Bi Al-Ra’y

Dekonstruksi Autentisitas Tafsir Menggunakan Akal Perspektif Zaglul Ragib Muhammad al-Najjar dan Husain al-Dzahabi

Imam Bajuri dalam karyanya yang dikenal dengan nama Hashiyah al-Bajuri ‘Ala Matni Burdah memberikan sebuah adagium bahwa tafsir itu digambarkan seperti ombak tidak akan ada selesainya اذ ما من موجة الا وبعدها موجة senantiasa terus bergerak dan puspa ragam, hal ini tidak hanya dirasakan oleh satu kalangan saja, siapapun dapat menikmati keindahan Al-Qur’an. Mulai dari seorang yang memiliki keluasan ilmu maupun tidak (awam). Semisal, bagi para pembaca biasa atau umumnya, Al-Qur’an menyusup ke dalam lapisan jiwa dengan penuh limpahan isnpirasi dan motivasi. Bagi para pembaca dengan memiliki suara merdu dan seorang ahli kaligrafer, Al-Qur’an dapat menimbulkan ekpresi estetik untuk mengantarkan ayat-ayat al-Qur’an ke ruang hampa. Bagi para penghafal al-Qur’an dapat memberikan insight ruhani dari hafalannya, sekaligus memberikan peluang kedekatan dengan makna-makna teks itu sendiri. Bagi para penafsir dan penakwil dalam penyingkapan makna-makna yang dilakukan secara tekstual dan kontekstual, membantu untuk menyuguhkan temuan-temuan pemahaman baru, untuk menjadi solusi jawaban berbagai dinamika kehidupan yang dihadapi semua manusia. Sedangkan seorang intelektual muslim bernama Farid Esack berasal dari Afrika, dikenal dengan akademis yang analitis-kritis pada pembacaan fundamental dalil agama. Menurutnya ummat manusia dalam memahami al-Qur’an diklasifikasikan terdapat enam subjek, ialah: muslim biasa, cendekiawan atau ulama’, muslim kritis, pengamat, revisionis dan, para polemis.

Perkembangan ilmu pengetahuan seperti sekarang tidak terjadi secara mendadak, tetapi terjadi secara step by step, evolutif. Demikian pula dengan dunia penafsiran, yaitu ada tafsir riwayah ( bi al-Ma’tsur dan dirayah (bi al-Ra’yi). Dialektika epistemologi keduanya tidak perlu disajikan pada tulisan ini karena secara ontologis sudah kongkrit. Namun yang menjadi persoalan akademik yang terus dikaji ulang ialah mengenai legitimasi tafsir bi al-Ra’yi sebagai tool of analysis memahami al-Qur’an. Dalam merespon dinamika tafsir bi al-Ra’yi terdapat kontroversial, ada yang berwajah memperbolehkan dan melarangnya. Sedangkan kedua sikap tersebut sama-sama didasari dalil-dalil fondasional islam yaitu al-Qur’an dan Hadith. Namun sedikit miris ialah terkait dalil-dalil pelarangan yang hanya dipahami secara literal saja, pembacaan ini pada akhirnya tidak jauh beda dengan kelompok barat yang memiliki kecenderungan skriptualisme.

Dari sekian dalil yang paling santer terdengar di daun telinga kita ini ialah berupa hadith من قال فى القرأن برأيه فأصاب فقد أخطأ “barang siapa yang menafsirkan al-Qur’an menggunakan akalnya, sekalipun benar maka diangap keliru”. Hadith tersebut sudah menjadi modal kunci utama untuk dideklarasikan sebagai argumen bahkan nyaris referensi yang mutlak dalam membantah setiap penafsiran yang dilakukan dengan akal, tanpa melihat kronologisnya dari hadith di atas. Sehingga berdampak terjadinya truh claim kepada masing-masing kelompok atau secara person bahwa prinsip dirinya yang benar-benar orisinil, sedangkan ijtihad yang lain dianggap tampak lemah dan keliru.

_____________________

Baca Juga

_____________________

Perlu diketengahkan lagi, kesalahannya bukan terletak pada an sich hadistnya, namun kajian tekstualnya membuat keutuhan pemahaman menjadi sempit, seakan-akan hadith tersebut menekankan untuk bersikap menoton, sehingga berakibat dogma yang kurang benar. Terdapat beberapa ulama’ menganalisa hadith tersebut berbagai sudut, diantaranya di sini bernama Syaikh Zaglul Ragib Muhammad al-Najjar, menurutnya kata al-Ra’y itu ialah hawa nafsu, beda dengan penafsiran yang logis-kontruktif, argumennya jelas tanpa menyalahi hukum shari’at. Kemudian untuk meperkuat tool of analysis-nya mengungkapkan hadist lain yaitu من قال فى القرأن بغير علم فليتبوأ مقعده فى النار dari hadist tersebut menyatakan dengan jelas, sejatinya yang benar-benar tidak diperbolehkan ialah ketika lepas dari disiplin ilmu.

Secara fakta-realitas memang benar, bahwa sebagian sahabat terkesan sangat bersikap hati-hati memahami al-Qur’an, karena pada waktu itu masih hidup bersama Rasulullah, bahkan merasakan betul suasana yang mengakibatkan kalam Allah itu turun, sugesti bersikap wara’ sangat tinggi. Selain faktor koheren tersebut banyak hal bagi sahabat untuk tidak melakukan sebuah ijtihad murni. Diantaranya mengenai perkembangan keilmuan tidak seperti zaman serkarang, jelasnya sosio-kultural sangat beda dan menjadi pemicu untuk mencoba menekankan relevansi-situasi. Dan juga yang menjadi faktor tidak mudah dalam menafsirkan ialah waktu itu masih dekat dengan zaman jahiliah, banyak propaganda-problem yang harus dihilangkan, baik unsur mitos atau takhayyul, kerusakan akidah dan, hukum sosial bawaan mereka. Oleh karena itu dakwah Rasulullah difokuskan pada sektor akidah, perbaikan etika, dan muamalah.

Terlebih lagi selain faktor x di atas, setelah masa tersebut. Islam tersebar luas, berbagai etnis kelompok berbondong-bondong masuk agama islam. Otomatis masih melekat warisan tradisi budaya, pemikiran dan keyakinannya. Bahkan tidak sedikit dari kalangan yahudi ekstrem masuk agama islam dengan tujuan melakukan infiltrasi untuk melakukan tipu daya. Mereka seringkali melakukan penafsiran dan memecah belah umat muslim, lebih-lebih kepada pemeluk pemula muslim. Dari sanalah lahirlah pemikiran-pemikiran asing, dikenal dengan nama Israiliyat. Penisbatan kata Israiliyat ini ditujukan kepada kaum yahudi, upaya menunjukkan kepada kaum muslim bahwa pemahaman demikian datang dari kalangan mereka yahudi. Akibat fenomena tersebut muncullah berbagai aliran, sekte dan golongan yang berbeda-beda, di mana saling terjadinya truth claim bahwa produk penafsiran mereka yang paling nyata benar dalam memahami Al-Qur’an. Nah inilah yang disebut dengan hawa nafsu dengan istilah Ra’y (akal atau rasional).

Analisis ini tidak sekedar hipotesa penganggit saja dalam karyanya, bukti lain bahwa Nabi memberikan apresiasi melalui doa kepada Ibn Abbas sebagaimana yang telah viral ialah “Allahumma Faqqihhu Fiddin wa ‘Allimhu al-Ta’wil”, semakin jelas lagi doa ini dikorelasikan dengan ayat Al-Qur’an terkait Tafaqquh fi al-Diin. Bahwa memang benar-benar penekanan memahami agama itu sangat dianjurkan.Dan ada suatu riwayat, bahwasanya Sayyidina Ali pernah suatu ketika terjadi sebuah interaksi dengan kaumnya  هل خصكم رسول الله بشئ artinya; Apakah Rasulullah mengkhususkan kalian kepada sesuatu. Kemudian dijawab oleh pihak komunikan tersebut ما عندنا غير فى هذه الصحيفة وفهم يؤتاه الرجل فى كتابه artinya; tidaklah kami memiliki kecuali yang tersedia di lembaran ini dan pemahaman yang dianugerahkan oleh Allah”. Selain dalil-dalil di atas masih banyak ayat yang menyerukan untuk berkontribusi dan kompetisi dalam men-tadabburkan makna Al-Qur’an. Bahkan Allah memberikan sedikit celaan kepada kaum yang enggan memahami atau merenungi kitab suci ilahi tersebut. Sebagaimana dalam surat An-Nisa’ ayat 82-83. Terjemah; Tidakkah mereka menadaburi Al-Qur’an? Seandainya (Al-Qur’an) itu tidak datang dari sisi Allah, tentulah mereka menemukan banyak pertentangan di dalamnya. dan Surat Muhammad ayat 24. Terjemah; Tidakkah mereka merenungkan Al-Qur’an ataukah hati mereka sudah terkunci?.

Pendapat ini bukan hanya dikemukakan dari tokoh kontemporer, tokoh klasik seperti Imam Gazali memberikan dalil tentang kebolehan memahami Al-Qur’an dengan Ra’y atau ijtihad, dalam karyanya mendeklarasikan bahwa banyak hal untuk memahami al-Qur’an, terdapat ruang yang luas dan tidak terbatas, adapun dengan mencukupkan penafsiran yang sebelumnya itu bukan batas akhir. Bukti bahwa keberhasilan tafsir bi al-Ra’y tercermin dengan munculnya banyak metode yang disuguhkan dalam memahami Al-Qur’an . Diantaranya منهج لغوي yang memusatkan pada gaya bahasa, dalam dunia akademik dikenal kajian linguistik. Dan metode منهج بياني berupaya menyingkap keindahan gaya bahasa serta mengkaji kepekaan bahasa yang terkandung di dalamnya. Dan metode منهج فقهي yang membahas hukum-hukum shariat. Dari ketiga metode tersebut sebagian ulama menyerukan untuk menjadi satu metode dengan sebutan Manhaj Maushu’i atau Manhaj Jam’i. Kemudian sumbangsih kajian terbaru dan bisa dibilang hangat ialah munculnya pembacaan dalam memahami Al-Qur’an sesuai dengan tema-tema atau pokok-pokok yang terkandung dengan yang dikaji, metode ini dikenal dengan Manhaj Tematik (metode tematik).

Al-Qur’an agar sesuai dengan visinya menjadi petunjuk sepanjang zaman, tidak terikat ruang dan waktu. Selain bersifat historis sekaligus memiliki nilai futuristik. Ali Ibn Sulaiman al-Abid juga semangat memberikan apresiasi terus berlangusnya secara produktif tafsir Bi al-Ra’yi. Akan tetapi proyek ilmiah ini harus benar-benar menggunakan kaidah yang sesuai dengan tujuan shariat, tidak ada indikasi kebodohan, kesesatan. Maka tokoh tersebut mengkualifikasikan penafsir Bi al-Ra’yi terdapat tiga syarat.

Pertama ilmiah; memiliki kredibilitas pengetahuan terhadap hukum-hukum shariat, baik berkaitan dengan muamalah, ibadah dan sunnah yang terkandung di dalamnya. Dan telah melakukan riset pada pendapat para mufassir dari kalangan salaf dan khalaf. Sedangkan dalam perangkat keilmuan yang harus dimiliki ialah seperti Ulum al-Qur’an, Ulum al-Hadith dan Ushu al-Din, di dalamnya memuat ilmu tauhid, bahasa arab, ushul fiqh, fiqh dan juga terkait sejarah nabi. Kedua intelektual, seseorang tersebut memiliki kemampuan cerdas, bakat, memiliki kekuatan dalam penalaran baik dalam menformulasikan dan mampu melakukan tarjih. Ketiga agamis dan beretika, memiliki akidah yang benar, tidak bersifat fanatis dan heretik. Pada poin ketiga ini menjungjung nilai-nilai sufistik, seperti memiliki sifat wara’, tidak berafiliasi pada sesuatu yang syubhat.

Seandainya dari ilustratif di atas muncul penolakan dengan analogi gini. Meskipun terpenuhi syarat di atas apakah dipastikan sudah sesuai dengan kehendak Allah, karena usaha manusia atas dasar zan (dugaan) saja?. Maka dalam hal ini penulis menggunakan analisis berfikirnya yang dilakukan oleh Husain al-Dzahabi, pelopor diskursus tafsir di era kontemporer. Salah satu masterpice-nya yang terkenal ialah kitab Tafsir Al-Mufassirun, kitab ini dikenal metode panafsiran yang analogis-kritis. Adapun cara menjwabnya ialah mengenai analogi pertanyaan di atas, di sana kita katakan premis kecil, maka tentunya harus menghadirkan premis besar.  Adapun premis besarnya ialah firman Allah, sebagaimana dalam surat Al-A’raf  ayat 33; وَّاَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ (dan (mengharamkan) kamu mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui). Sedangkan ayat ini sambungan dengan larangan sebelumnya, yaitu; قُلْ اِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ  (Katakanlah (Nabi Muhammad), “Sesungguhnya Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan keji yang tampak dan yang tersembunyi). Dan ayat lain menyatakan dalam surat al-Isra’ ayat 36; وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِه عِلْمٌ ۗ (Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kauketahui).

Melalui korelasi ayat dengan ayat di atas sudah jelas. Bahwa premis kecil itu tertolak, karena zan (dugaan) adalah salah satu bentuk ilmu, sebab zan merupakan mediator pengetahuan terhadap kepada suatu objek mana yang lebih kuat. Seandainya premis kecil diterima, maka di sisi lain premis besar tertolak, yaitu al-Qura’n itu sendiri, dan hal ini gak mungkin. Sehingga dari penalaran tersebut mencapai sebuah konklusi adanya larangan zan apabila memungkinkan mencapai pengetahuan tersebut dengan qat’i, baik dengan adanya nash shariat atau dalil akal yang mengantarkan kepada suatu objek tersebut. Lantas apabila tidak ada salah satu keduanya (nash atau akal) maka posisi zan ada peluang untuk mengisinya, sebab hal demikian mendapatkan legitimasi dari firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 286. Terjemah; Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. Dan berdasarkan sabda Nabi. Terjemah; Allah memberikan dua pahala bagi yang benar, dan satu pahala yang salah. Sabda ini sudah terbukti dapat legitimasi diterapkan langsung kepada semua ummat yang memiliki kemampuan mendalam tersebut, sebagaimana Rasulullah memerintahkan Mu’az Ibn Jabal untuk melakukan ijtihad dikala tidak mendapati dalil Al-Qur’an dan Hadith.

Kewaspadaan kita dengan adanya indikasi terjadinya keambiguan manakah penafsiran Bi al-Ra’y antara adanya penyelewengan dan mendekati kebenaran harus ditingkatkan dengan melakukan pendekatan perspektif mufassir lainnya. Kenapa demikian, karena hal ini pernah dirasakan oleh para sahabat. Oleh karena tersebut penulis mengutip perkataan dari Ibn Mas’ud; kalian akan mendapati suatu kaum yang mengajak kalian kepada kitab Allah, padahal mereka telah melemparkannya ke belakang punggung mereka. Maka hendaklah kalian berpegang pada ilmu, jauhilah membuat hal-hal baru yang berlebih-lebihan. Dan juga datang dari sahabat Umar Ibn Khattab; aku tidak khawatir terhadap ummat ini dari seorang mukmin yang dihalangi oleh imannya atau dari seorang fasik yang nampak kefasikannya. Akan tetapi aku khawatir terhadap seorang yang telah mebaca al-Qur’an dengan fasih lalu ia menafsirkan sebebas-bebasnya tidak sebagaimana mestimnya.

Dalam kesimpulan ini bahwasanya tafsir Bi al-Ra’y terdapat dua hal. Yaitu diperbolehkan apabila sesuai dengan gaya bahasa arab dan tidak menyalahi Al-Qur’an dan Hadith, dan begitu juga sebaliknya. Menjadi tidak boleh apabila terjadi pertentangan. Sebenarnya apabila ditelusuri lebih mendalam kelompok yang kokoh dalam melarang tafsir Bi al-Ra’y, kemudian dikonfrontasikan kepada kelompok yang memperbolehkan tafsir Bi al-Ra’y dengan ketentuan syarat yang telah menjadi pedoman. Maka tidak ada perbedaan yang mendasar kecuali hanyalah perbedaan istilah bukan perbedaan esensial.

Refrensi:

  • Madkhal Ila Dirasat al-I’jaz al-Ilmi
  • Al-Wajiz Fi Ulum al-Qur’an al-Aziz
  • Al-Tafsir al-Mufassirun

Author

Mahasiswa Pasvasarjana UINSA Surabaya