Media Mengenal Allah SWT
Perlu diketahui bahwa mengetahui dan mengenal Allah dengan dalil (argumen) merupakan kewajiban pertama bagi semua orang mukallaf sebagaimana tercantum dalam Nadzam Az-Zubad karya Ibnu Ruslan:
أول واجب على الإنسان # معرفة الإله باستقان
Artinya: kewajiban pertama bagi manusia (mukallaf) adalah mengenal adalah mengetahui tuhan dengan penuh keyakinan.
Klaim akan kewajiban mengetahui Allah dengan argumentasi (dalil) bukan tidak berdasar, dasar atau dalil dari semua ini adalah firman dalam surat Muhammad, ayat 19 :
فاعلم أنه لا إله إلا الله (محمد :١٩
Artinya: Ketahuilah bahwa tiada Tuhan kecuali Allah.
Kata اعلم (i’lam) merupakan fi’il Amr dari علم (‘ilmu) yang memiliki pengertian mengetahui bukan dengan cara taqlid (ikut ikut saja tanpa ada dalil) melainkan mengetahui dengan berdasarkan dalil atau argumentasi.
Dari ayat inilah, bisa ditarik benang merah bahwa kewajiban mengetahui Allah sandarannya adalah syari’at; dengan artian kewajiban tersebut bersumber dari syari’at, bukan dari akal sebagaimana pendapat sekte Mu’tazilah. Karena akal manusia sama sekali tidak bisa melahirkan dan memutuskan sebuah hukum dari tindakan. Akal manusia tidak bisa meng-akses bahwa perbuatan ini adalah wajib dan perbuatan ini adalah Sunnah. Sejatinya pemberi hukum adalah hak Allah SWT.
Namun, meskipun kewajiban yang berupa mengetahui Allah berdasarkan teks yang terdiri dari Wahyu dan sabda nabi Muhammad SAW. akan tetapi cara mengetahui atau mengenal Allah tidak bisa tercapai menggunakan Wahyu atau sabda tersebut. Karena sangat mustahil meyakini Al-Quran dan hadis sebagai firman tuhan sebelum mengetahui dan membuktikan bahwa tuhan itu sendiri merupakan dzat yang ada, berfirman, hidup, mengetahui, dst……
Seandainya ada sekte yang tetap ngotot mengatakan “bahwa selain Al-Quran dan hadis hukumnya haram dijadikan pondasi dalam keberagamaan (khusus dalam permasalahan ketuhanan); karena ini sesuatu yang bid’ah, masalah tauhid tidak bisa diakses dengan media akal, bahkan pada masa nabi Muhammad terdapat seseorang bertanya tentang takdir dan pertanyaan ini menyebabkan beliau (Nabi Muhammad) marah”; sebagaimana hal ini merupakan pendapat yang disampaikan oleh sekte hasyawiyah. Maka jawabannya adalah: jika persoalan ketuhanan harus menggunakan Al-Quran dan Hadis, lantas bagaiman jika lawan bicara kita merupakan sosok yang tidak percaya terhadap Al-Quran dan hadis? Contoh: kita sebagai orang Islam mengklaim bahwa tuhan itu hanya satu berdasarkan firman Allah surah Al-Ikhlas, sedangkan lawan bicara kita adalah non muslim yang percaya bahwa tuhan merupakan tiga entitas, lalu dia (non muslim) berkata “sandaran, media, atau dalil yang kamu sebutkan sama sekali tidak saya percayai karena memang kami tidak percaya Al-Quran adalah firman tuhan”.Bagaimana responmu tuan selaku pengingkar penggunaan akal dalam persoalan ketuhanan?.
Sedangkan tentang Rasulullah marah ketika ditanyakan masalah takdir; alasannya karena memang persoalan takdir merupakan hal yang berada diluar kendali akal, dan persoalan takdir adalah masalah yang berada diluar kendali BMKG. Sebab inilah, sangat tidak layak mempertanyakan persoalan takdir dengan narasi pertanyaan yang mengindikasikan meminta jawaban yang masuk akal dan harus diterima oleh semua manusia yang berakal. Contoh menanyakan kenapa tuhan mentakdirkan saya menjadi orang Indonesia, dan lain lain semacam pertanyaan ini.
Pula, pengetahuan tentang ketuhanan tidak bisa tercapai dengan hanya mendengarkan omongan semata (taqlid), dengan artian; mempercai klaim orang lain yang tidak memberikan dasar yang rasional; karena hal ini akan berakibat pada ke-ambiguan tentang siapa yang akan di ikuti, seperti apapun yang di diikuti pasti yang mengikuti akan bingung ketika ditanyakan “kenapa kamu ikut dia dan mengapa engkau menganggap bahwa yang diikuti oleh dirimu berada dalam kebenaran?” Kebingungan ini hadir karena memang tolak ukur kebenaran bukan terletak pada orang yang berbicara, akan tetapi terletak pada yang dibicarakan itu sendiri.
Contoh sederhana; terdapat seseorang, anggap saja bernama Zaid mendengar klaim dari Umar yang berupa “di dalam rumah ada seekor buaya”, kemudian ada orang lain yang bernama Abu bakar memberikan klaim bahwa di didalam rumah tidak ada buaya. Zaid selaku pendengar saja secara pasti memiliki dua opsi informasi, dia dipersilahkan untuk memilih salah satu dari informasi tersebut, kemudian secara yakin sosok Zaid mempercayai perkataan umar tanpa adanya keraguan sama sekali. Pada fase inilah sosok Zaid akan kebingungan ketika ditanyakan “kenapa kamu menganggap benar informasi yang dibawa oleh umar, dan kenapa kamu menganggap salah terhadap informasi yang dibawa abu bakar?” Secara kesimpulan, antara dua pembicara (Umar dan abu Bakar) tidak ada yang lebih berhak untuk di ikuti perkataannya, karena keduanya sama sama memberikan klaim dan informasi saja, sedangkan kebenaran informasi bukan terletak pada siapa yang membawa, melainkan pada informasi itu sendiri.
Juga; mengetahui ketuhanan tidak bisa menggunakan media yang berupa pensucian diri (riyadlah) dengan cara berdzikir dan lain lain, intinya memerangi hawa nafsu. Karena arti dari riyadlah adalah menyendiri dan mengisolasi diri dari manusia untuk melakukan dzikir dan ibadah. Logikanya; bagaimana seseorang bisa melakukan ibadah dan berdzikir (mengingat pencipta) sedangkan dia tidak mengetahui apakah tuhan atau penciptanya ada. Cara ini sama sekali tidak mengantarkan pada pengetahuan terhadap pencipta, hanya saja cara ini bisa mengantarkan pada bertambahnya keteguhan keyakinannya (orang yang berdzikir dan mensucikan diri) setelah sebelumnya memang sudah mengetahui bahwa tuhan itu ada, memberikan larangan dan perintah yang wajib ditaati.
Dari sini bisa di pastikan bahwa opsi media untuk mengetahui tuhan adalah menggunakan akal, karena dengan akalnya, manusia bisa bisa memberikan keputusan dan nalar secara rasional. Dengan akal, manusia bisa membuktikan kebenaran Al-Quran. Dengan akal, manusia bisa membuktikan keberadaan tuhan. Dengan akal, manusia bisa mengatakan bahwa Tuhannya satu, bukan jisim, dan bukan aksiden.
Bersambung……………
Refrensi :
Syarh Ma’alimi Ushuluddin karya Syarifuddin Al-Tilmasani, Nadzam Zubad karya Ibnu Ruslan dan Ummul Barahin karya Imam as-Sanusi