Posted in

Korupsi dan Diskriminasi Upah: Dua Luka Besar Nasib Guru Honorer

Korupsi dan Diskriminasi Upah: Dua Luka Besar Nasib Guru Honorer
Korupsi dan Diskriminasi Upah: Dua Luka Besar Nasib Guru Honorer

Oleh : Abdul Hamid

Di balik gemerlap jargon “Pendidikan Merdeka”, ada kisah getir yang jarang disorot: nasib guru honorer yang terus tersisih di negeri sendiri. Mereka berdiri di depan kelas setiap hari, tetapi tetap berada di belakang dalam urusan kesejahteraan. Dua luka besar kini menganga; korupsi gaji dan diskriminasi upah yang membuat profesi mulia ini terasa kian getir.

Guru honorer hari ini hidup di antara idealisme dan realitas pahit. Menurut data Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS, 2024), sekitar 74 persen guru honorer di Indonesia menerima gaji di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Bahkan di sejumlah daerah, seperti Jakarta Timur, ada guru yang hanya digaji Rp300.000 per bulan, angka yang lebih kecil dari ongkos transport mereka sendiri. Namun, ironi terbesar adalah beban kerja mereka sama dengan guru ASN atau PPPK. Mereka tetap mengajar delapan jam, menyusun RPP, menilai tugas, dan mendampingi murid di luar jam sekolah. Hanya saja, penghargaan finansialnya tidak pernah setara.

Seolah belum cukup, kasus penyunatan gaji guru honorer terus terjadi. Salah satu yang ramai diberitakan adalah dugaan pemotongan gaji guru di Jakarta Timur, di mana kepala sekolah diduga mengambil sebagian besar upah guru honorer. Akibatnya, guru hanya menerima sepertiga dari gaji seharusnya. (jakarta.bpk.go.id, 2024).

Fenomena ini memperlihatkan dua hal: lemahnya sistem pengawasan dana pendidikan dan betapa rentannya posisi guru honorer dalam birokrasi sekolah. Ketika gaji yang kecil saja masih dikorupsi, ke mana lagi mereka harus berharap?

Selain persoalan gaji, diskriminasi terhadap guru honorer datang dari dua arah: kebijakan pemerintah dan pandangan masyarakat.

Pemerintah kerap mengabaikan keberadaan mereka dalam kebijakan pengangkatan ASN atau PPPK. Banyak guru yang sudah mengabdi lebih dari 10 tahun tidak lolos seleksi hanya karena masalah administratif. (nasional.kompas.com, Juli 2025).

Di sisi lain, sebagian wali murid juga memandang rendah guru honorer. Mereka dianggap “bukan guru sungguhan” hanya karena status kepegawaiannya berbeda. Padahal, banyak di antara mereka yang justru lebih berdedikasi, datang paling pagi, dan pulang paling akhir. Korupsi gaji dan diskriminasi struktural bukan hanya melukai guru honorer, tetapi juga menggerogoti masa depan pendidikan nasional.

Bagaimana mungkin kita berharap kualitas pendidikan meningkat, jika para pendidik hidup dalam ketidakpastian dan ketidakadilan?

Negara seharusnya hadir, bukan hanya dengan program sertifikasi atau slogan kesejahteraan, tetapi dengan tindakan konkret: membayar guru sesuai kelayakan, memastikan dana pendidikan tidak bocor, dan menegakkan keadilan dalam sistem karier guru.

Guru honorer tidak butuh belas kasihan; mereka hanya menuntut keadilan. Mereka bukan sekadar tenaga tambahan, melainkan pilar utama pendidikan bangsa. Jika korupsi dan diskriminasi terus dibiarkan, maka bukan hanya guru yang dirugikan, tapi generasi penerus bangsa yang kehilangan teladan sejati.

Karena pada akhirnya, tidak ada pendidikan bermutu tanpa guru yang bermartabat.

Author