Bahagia Versi Stoikisme
Laju paradaban dunia dari masa kemasa mulai terbilang meninkat dengan popularitas begitu pesat. Ditambah dengan adanya pernyataan yang sering terlahir akhir-akhir ini ‘’2045 Menuju Indonesia Emas’’ hal ini dengan secara paksa mengalirkan ruang lingkup sadar kepada kita bahwa profesinalitas dan realitas dunia telah dihujani dengan ketidakpastian dan kurang transparan pada titik perubahan. Misalnya, kemajuan sosial media yang semakin kesini semakin memaksa penggunanya untuk tampil sempurna diluar kemampuannya. Inilah salah satu penyebab terlahirnya krisis identitas pada psikologis individual yang seakan kehilangan arah, tidak berprinsip dan salah meletakkan titik kendali diri yang sebenarnya. Hal ini jika kita biarkan begitu saja, maka akan muncul generasi-generasi lemah mental dan minim hasrat kepositifan.
Jawaban dalam tantangan seperti ini, bisa kita temui dalam aliran filsafat stoikisme (Stoicime – refleksi diri). Namun perlu digaris bawahi bahwa stoikisme ini, bukanlah aliran kepercayaan, juga bukan agama melainkan aliran filsafat yang berguna untuk membantu mengotrol emosi negatif dalam diri kita.
Perlu kita ketahui juga bahwa aliran filsafat stoikisme dalam sisi lain ada beberapa hal yang sedikit bertolak belakang dengan ajaran islam, jika stoikisme terpaku menggunakan kekuatan yang ada dalam diri manusia; akal. Sedangkan islam melengkapinya lagi dengan menghadirkan dimensi teologis dalam ajarannya. Akan tetapi juga terdapat beberapa keselerasan antara ajaran stoikisme dan islam. Seperti rasa syukur yang dalam stoikisme sendiri dikenal dengan amorfati, juga seperti pengendalian emosi, rasionalitas dalam taqdir atau yang dikenal dalam islam dengan Qona’ah. Jadi islam dan stoikisme adalah dua bentuk berbeda tapi satu tujuan yang sama. Yaitu sama-sama mencapai kebahagiaan hakiki (ridho sang pencipta)
Dan ketika kita telaah kembali dalam sejarah, stoikisme pertama kali dikenalkan oleh Zeno; seorang filsuf asal Kition pada abad ke-3 SM di Athena, dan kemudian dikembangkan oleh para pengikutnya seperti Chrysippus, Cleanthes, dan Epictetus. Sejak itu, Stoikisme menjadi salah satu dari tiga aliran utama filosofi Yunani Kuno, bersama dengan Platonisme dan Aristotelianisme. Filosofi ini kemudian menyebar ke seluruh dunia Helenistik, termasuk di Roma, dan menjadi sangat populer pada masa Kekaisaran Romawi.
Praktek stoikisme sendiri bisa kita perdalam dengan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari selama itu tidak bertentangan dengan aqidah dan syari’at islam. Dimana Stoikisme mendefinisikan hidup itu terbagi menjadi 2 dimensi; dimensi internal dan dimensi eksternal. Inilah sebuah istilah yang lebih mahsyur dikenal dengan dimensi dikotomi kendali.
Baca Juga
Apa itu dimensi internal ? ialah dimesi dimana segala sesuatu berada dalam kendali kita penuh; kehendak kita, etos kerja kita, profesionalitas kita, aksi kita, suara kita. Sedangkan dimensi eksternal adalah segala hal yang berada diluar kontral kita, yang selama sekali tidak bisa kendalikan seperti pendapat orang lain, respon orang lain terhadap perilaku kita. Kita bisa melakukan sebuah aksi dan orang lain bisa melakukan reaksi atas aksi kita. Dan masalahnya adalah kebanyakan manusia menaruh titik kepuasan dan kebahagiaan tersebut pada dimensi eksternal yang pada hakikatnya hal itu tidak bisa dikontrol sama sekali. Dan dengan datangnya filsafat stoikisme ini memberikan ruang lingkup pikiran kita dalam meletakkan titik target hidup pada dimensi yang benar yaitu internal. Itulah yang menjadi fundamental dalam ajaran ini. Misalnya kita seorang Pelukis, jadi tema yang akan kita lukis, bahan apa saja yang diperlukan, skill-men seperti apa dalam proses pelukisan atau cat lukis merk apa yang apa kita gunakan, sampai bagaimana dan mau dikemanakan lukisan ini ketika terselesaikan. itu semua berada dalam dimensi internal kita, itu semua berada dalam kontrol kita termasuk juga prinsip kita dalam pembuatan lukisan ini. Tapi apabila lukisan ini terselesaikan dan kemudian orang lain mengomentari lukisan ini, memberikan reaksi, kritikan atau pujian pada lukisan ini, hal ini murni diluar kendali kita. Hal ini berada diluar dimensi internal kita.
Dalam stoikisme kita juga diajarkan untuk menerima kenyataan dengan kata lain mensyukuri keadaan yang ada. Setelah berusaha dan berikhtiar maka kita menempatkan ekspetasi seminimal nya. Antara lain kita patut bertawakkal dan mensyukuri keadaan. Maka dari itu ada suatu titik temu dari Stoikisme dengan Islam. Menyadarkan kita bahwasannya kita tidak bisa bergantung sepenhnya kepada orang lain melainkan diri kita sendiri dan Allah SWT.
Jadi mari kita perbaiki cara berpikir kita, kita perbaiki bagaimana seharusnya kita kendalikan diri kita sendiri. Jangan biarkan orang lain menjajah pikiran kita, bukan saatnya menjadi budak mereka tapi sudah waktunya untuk menjadi merdeka dan mendapatkan kebahagian sesuai dengan yang pencipta kita harapkan.
Cairo, 12 Maret 2023