Posted in

TERIMA KASIH KYAI

Oleh : Dr. KH. Abdul Haris, M.Ag.*)

Sebelum mondok, saya terbilang awam masalah agama. Saya tidak mengerti cara wudlu’ yang benar, cara mandi besar yang benar, cara tayammum yang benar, cara menyucikan najis yang benar dan cara praktik ibadah yang lain yang benar menurut pandangan syariat. Saya juga tidak paham arti bacaan dan doa shalat yang rutin saya lafadzkan setiap kali saya melakukan shalat. Saya juga kurang memahami arti ayat-ayat al-Qur’an yang saya hafal dan saya baca setiap hari. Saya juga tidak kenal ilmu nahwu dan ilmu sharf serta tidak mampu untuk membaca dan memahami kitab kuning. Saya juga tidak kenal kitab Jurumiyah, Imrithiy, Alfiyyah, Safinah, Taqrib, Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab dan sederetan nama-nama kitab besar yang lain. Saya juga tidak kenal dengan kegiatan bahtsul masail, syawir, sorogan dan lain sebagainya.

Pada saat berada di pondok pesantren, saya mandi, kencing, buang air besar, istirahat, tidur dan melakukan kegiatan keseharian lainnya dengan menggunakan fasilitas yang dibangun oleh pondok pesantren. Ketika saya sakit, pengurus pesantren melayani dan merawat saya dengan baik sesuai dengan standar operasional prosedur yang telah ditetapkan oleh pondok pesantren. Ketika saya harus pulang karena memerlukan perawatan yang lebih intensif, para pengurus mengantarkan saya untuk pulang ke rumah saya. Dan yang menjadikan saya terkesan sampai saat ini adalah semua itu dilakukan dengan penuh keikhlasan dan ketulusan dengan tanpa sama sekali menuntut imbalan materi atau yang lain; sebuah sikap mulia yang merupakan hasil dari didikan tulus Kyai pesantren yang sangat patut untuk diapresiasi.

Ketika fasilitas yang digunakan oleh para santri untuk melaksanakan rutinitas keseharian sudah dianggap tidak layak atau rusak, tidak jarang Kyai mengeluarkan uang dari kantong pribadi beliau untuk memperbaiki fasilitas yang dibutuhkan oleh para santri. Lagi-lagi, tidak ada kesan pamrih dari seorang Kyai dalam melakukan semua pengorbanan itu untuk melayani para santri ketika berada di pondok pesantren. Nampaknya, semua santri dianggap sebagai keluarga atau bahkan dianggap sebagai anak beliau sendiri. Inilah yang menambah hormat dan kekaguman saya pada sosok Kyai yang secara umum terjadi di pondok pesantren di Indonesia.

Kegigihan Kyai untuk meksanakan amanah wali santri dan juga untuk memastikan tingkat keberhasilan proses belajar- mengajar telah diupayakan secara maksimal. Salah satu buktinya adalah tingkat istiqamah luar biasa yang biasa ditampilkan oleh sosok Kyai dalam melakukan rutinitas kegiatan ta’lim. Yang saya dengar seperti di pondok pesantren Lirboyo dan mungkin juga di beberapa pondok pesantren salaf yang lain, Kyai dan keluarga dalem tidak berkenan kegiatan pondok pesantren yang sudah terjadwal diliburkan di luar waktu yang memang ditetapkan sebagai hari libur. Rutinitas kegiatan yang telah ditetapkan oleh kurikulum akan terus berjalan seperti biasanya, meskipun (misalnya) pondok pesantren sedang dipercaya dan ditunjuk menjadi tempat penyelenggaraan event dan kegiatan Nahdlatul Ulama, baik di tingkat PCNU, PWNU maupun di tingkat PBNU. Hal ini menambah simpati, respek dan kekaguman saya kepada sosok Kyai dan keluarga dalem.

Setelah saya selesai mondok dan harus pulang ke kampung halaman, berkat keikhlasan, keistiqamahan, kesabaran, dedikasi dan pengorbanan serta tirakat dari para Kyai pesantren dimana saya pernah mondok, akhirnya -alhamdulillah- saya merasa naik kelas dari awalnya sebagai orang awam menjadi orang yang sedikit paham tentang ilmu agama (sedikit paham tentang praktik fiqih yang benar, sedikit mampu memahami doa dan bacaan shalat, juga sedikit mengerti arti serta terjemahan al-Qur’an dan sedikit kenal deretan nama-nama kitab yang pada umumnya dijadikan sebagai referensi dalam memecahkan berbagai problematika kehidupan), bahkan saya dapat merintis dan mendirikan sebuah pesantren. Alhamdulillah, saya juga dimasukkan menjadi pengurus organisasi kemasyarakatan dan keagamaan dari tingkat kabupaten sampai tingkat provinsi. Alhamdulillah, saya juga seringkali diundang pengajian, pelatihan, seminar, simposium dan acara-acara kemasyarakatan dan keagamaan yang lain. Alhamdulillah, saya sekarang sudah diangkat menjadi tenaga pengajar di perguruan tinggi. Alhamdulillah, saya dapat menulis beberapa buku yang terus naik cetak dan dapat menjadi passive income bagi saya. Alhmdulillah, hidup saya sekarang berubah total sebagai dampak dari gemblengan dan doa para Guru dan Kyai pada saat saya sedang nyantri di pondok pesantren. Terus terang, “keberhasilan” yang saya capai saat ini sebagai dampak dari gemblengan dan doa ikhlas serta istiqamah dari para Guru dan Kyai pada saat saya berada di pesantren yang paling banyak merasakan dan menikmati adalah diri saya pribadi dan keluarga saya, bukan orang lain.

Uraian di atas saya ungkapkan bukan dalam konteks menyombongkan diri, akan tetapi untuk menegaskan dan menginformasikan kepada mereka yang sama sekali tidak mengerti dan memahami konteks pesantren bahwa betapa sosok Kyai dan pesantren sangat berpengaruh dan berjasa dalam proses perjalanan kehidupan saya. Lalu, Apakah tidak boleh, atau bahkan dianggap tidak etis dan salah ketika saya sowan atau bertemu dengan keluarga dan dzurriyah Kyai, dan kemudian saya menyisihkan “sedikit” rizki yang saya miliki -sebagai ungkapan terima kasih- untuk dipersembahkan kepada beliau-beliau keluarga Kyai yang sangat luar biasa dan sangat berjasa dalam proses perjalanan hidup dan keberhasilan saya? Saya merasa bahwa apa yang saya persembahkan kepada beliau-beliau yang sangat luar biasa itu tidak memiliki nilai apa-apa dibandingkan dengan ilmu, karakter dan akhlak yang telah beliau-beliau berikan dan tanamkan kepada diri saya pada saat saya sedang melakukan proses pendidikan di pondok pesantren.

Terima kasih Kyai, kami akan tetap membungkuk, berjalan dengan menggunakan lutut dan bahkan “ngesot” sebagai bentuk penghormatan untuk sowan di hadapan panjenengan. Kami akan tetap mencium tangan mulia panjenengan dan kami akan tetap bangga untuk melakukan “salam tempel” dengan amplop dari hasil jerih payah usaha kami, serta memohon agar panjenengan tidak menolak buah tangan yang tidak seberapa itu sebagai ungkapan terima kasih dari kami. Kami tidak akan terpengaruh oleh ocehan, omelan, celaan, sinisme dan kritik dari mereka yang sama sekali tidak akan pernah memahami hubungan ruhiyyah antara santri dan Kyai karena memang mereka tidak pernah nyantri di pondok pesantren serta sama sekali tidak pernah merasakan energi ketulusan dan keikhlasan yang terpancar dari seorang Kyai dalam rangka melayani, merawat dan mendidik para santrinya.

Jember, 15 oktober 2025

*) Ketua umum MUI kabupaten Jember, Pengasuh pesantren Al-Bidayah Jember. dan Dosen UIN KHAS Jember

Author