Posted in

Antara Demontrasi dan Hubbul Wathon: Menjaga Cinta Tanah Air di Tengah Gejolak

Beberapa pekan terakhir, jalan-jalan di berbagai kota besar Indonesia dipenuhi suara lantang mahasiswa, buruh, hingga masyarakat kecil yang menuntut keadilan. Spanduk terbentang, orasi bergema, dan wajah-wajah lelah berpadu dengan semangat yang menyala. Banyak yang melihat demonstrasi ini sekadar bentuk keresahan sosial, namun sejatinya ia juga bisa dimaknai sebagai wujud cinta tanah air, hubbul wathon. Cinta yang membuat rakyat berani turun ke jalan, bukan untuk merusak, melainkan untuk menjaga negeri agar tetap berpihak pada mereka yang sederhana.

Fenomena demonstrasi bukanlah hal baru di Indonesia. Sejarah bangsa ini menunjukkan bahwa perubahan besar seringkali lahir dari jalanan mulai dari pergerakan mahasiswa 1998 hingga gelombang aksi penolakan berbagai kebijakan. Namun, gejolak yang terjadi sejak akhir Agustus 2025 memiliki dimensi yang berbeda. Data dari The Guardian (2 September 2025) menyebutkan bahwa demonstrasi yang dipicu oleh tunjangan mewah legislator telah meluas ke puluhan provinsi, dengan lebih dari 1.200 orang ditangkap di Jakarta dan setidaknya 7 orang meninggal dunia. Tempo bahkan mencatat jumlah korban jiwa mencapai 10 orang hingga awal September. Fakta ini menunjukkan bahwa demonstrasi bukan sekadar ekspresi, tetapi juga pertaruhan nyawa rakyat.

Urgensi masalah ini sangat jelas. Di satu sisi, demonstrasi menjadi simbol partisipasi publik dalam demokrasi. Namun di sisi lain, eskalasi kekerasan dan korban jiwa memperlihatkan adanya jurang lebar antara rakyat dan pemegang kekuasaan. Bila jurang ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin akan terjadi krisis kepercayaan yang lebih dalam. Padahal, kepercayaan rakyat adalah fondasi utama negara. Menurunnya legitimasi pemerintah bisa berimplikasi pada rapuhnya persatuan nasional, sesuatu yang berlawanan dengan semangat hubbul wathon minal iman; cinta tanah air adalah bagian dari iman.

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi masalah ini. Pertama, kesenjangan ekonomi. Laporan Wall Street Journal (31 Agustus 2025) mencatat bahwa meskipun ekonomi Indonesia tumbuh 5,1%, rakyat kecil tidak merasakan dampaknya. Gelombang PHK, harga kebutuhan yang melonjak, dan kesempatan kerja yang sempit menimbulkan rasa frustasi. Kedua, kebijakan yang kontroversial, seperti kenaikan pajak properti dan pemotongan anggaran atau efesiensi, menambah beban masyarakat. Ketiga, respon represif aparat yang menggunakan gas air mata bahkan di area kampus, seperti dilaporkan Reuters (2 September 2025), menambah luka sosial. Keempat, kurangnya transparansi pemerintah dalam menyampaikan data ekonomi maupun proses pengambilan keputusan, yang membuat publik semakin sulit percaya.

Pemerintah sebenarnya telah mencoba mencari jalan keluar. Beberapa legislator mengumumkan pemangkasan tunjangan, menunda perjalanan luar negeri, serta berjanji melakukan evaluasi anggaran. Presiden juga menyatakan komitmen untuk menegakkan hukum terhadap kasus-kasus kekerasan, termasuk kematian mahasiswa Affan Kurniawan yang menjadi simbol perlawanan. Namun, langkah-langkah ini masih bersifat reaktif.

Kekurangan solusi tersebut jelas terlihat. Pemangkasan tunjangan hanya bersifat simbolis tanpa menyentuh akar persoalan ketimpangan. Penegakan hukum terhadap kasus kekerasan belum transparan dan sering kali terkesan lamban. Bahkan, pendekatan keamanan yang berlebihan justru menimbulkan trauma dan memperburuk citra pemerintah di mata publik. Dengan kata lain, solusi yang ada belum mampu meredam gelombang kekecewaan rakyat.

Penulis menawarkan beberapa solusi yang lebih menyentuh substansi. Pertama, pemerintah harus membuka dialog nasional yang inklusif dengan melibatkan mahasiswa, buruh, akademisi, dan tokoh masyarakat. Dialog ini penting untuk membangun kembali kepercayaan dan merumuskan arah kebijakan yang sesuai kebutuhan rakyat. Kedua, perlu dilakukan reformasi anggaran secara transparan, dengan memangkas pengeluaran tidak produktif dan mengalokasikan dana untuk pendidikan, kesehatan, serta lapangan kerja. Ketiga, aparat keamanan harus mengedepankan pendekatan humanis dan menghormati hak konstitusional warga untuk berpendapat. Keempat, pemerintah perlu memperkuat program pemberdayaan ekonomi kerakyatan, misalnya melalui subsidi UMKM, pelatihan keterampilan, serta insentif bagi industri yang menyerap tenaga kerja lokal.

Selain itu, penting juga untuk menanamkan kembali nilai hubbul wathon dalam kehidupan berbangsa. Cinta tanah air tidak berhenti pada slogan, melainkan harus diwujudkan dalam kebijakan yang adil dan sikap saling menghormati antara pemerintah dan rakyat. Demonstrasi, bila dilihat dari kacamata ini, bukanlah ancaman, melainkan cermin kepedulian rakyat terhadap masa depan bangsa.

Sebagai penutup, demonstrasi yang melanda Indonesia beberapa waktu terakhir hendaknya tidak hanya dipandang sebagai gejolak sosial, tetapi juga sebagai bentuk cinta tanah air yang sedang mencari ruang ekspresi. Pemerintah perlu mendengar dengan hati, bukan dengan gas air mata. Rakyat pun perlu menjaga aksi agar tetap damai dan bermartabat. Jika dialog, transparansi, dan keadilan ditegakkan, maka hubbul wathon akan menemukan maknanya yang sejati: menjadi perekat bangsa di tengah badai, bukan pemicu perpecahan.

Oleh : Abdul Hamid, Tim Media LAZISNU PCNU Jember | Alumni PPMU BAKID

Author