Posted in

Sound Horeg; Kebisingan untuk Semua, Ketenangan untuk Siapa?

Sound Horeg; Kebisingan untuk Semua, Ketenangan untuk Siapa?
Sound Horeg; Kebisingan untuk Semua, Ketenangan untuk Siapa?

Fenomena sound horeg kembali mencuat ke permukaan seiring munculnya kontroversi dan perdebatan mengenai fatwa keharamannya di kalangan masyarakat dan ulama Jawa Timur. Catatan singkat ini sengaja penulis susun sebagai respon terhadap maraknya penggunaan sound horeg dalam berbagai acara kemasyarakatan, baik kegiatan komunitas, perayaan, maupun peringatan tertentu, seperti karnaval kemerdekaan, ulang tahun desa, dsb. Melalui tulisan ini, penulis berharap dapat memberikan sudut pandang yang lebih toleran dan mencerahkan, sehingga hakikat kenikmatan dalam bermasyarakat dapat kita temukan dan kita pahami bersama.

Stigma, Asumsi dan Respon

Dengan memanfaatkan sistem audio berdaya tinggi, sound horeg mampu menghasilkan suara yang sangat keras hingga memecahkan kaca maupun genteng, sehingga hal ini kerap memicu perdebatan di tengah masyarakat maupun jagat media. Tidak jarang, fenomena ini juga diiringi oleh beredarnya video-video kontroversial yang menampilkan pengrusakan properti, kerusakan infrastruktur daerah, serta aksi perempuan-perempuannya yang dinilai kurang pantas untuk dipertontonkan kepada khalayak maupun anak-anak. Meskipun oleh sebagian pegiatnya dianggap sebagai hiburan yg spektakuler, kenyataannya tidak sedikit yang menilai bahwa sound horeg sering membawa dampak negatif, baik dalam aspek sosial, kesehatan, maupun kenyamanan lingkungan sekitar.

Di tengah kegaduhan ini, juga muncul bantahan dari para pegiat dan relawan sound horeg yang menilai bahwa stigma negatif terhadapnya terkesan terlalu berlebihan dan kurangnya kajian yg lebih mendasar. artinya fatwa maupun opini yang berkembang kerap dilontarkan terlalu tergesa-gesa tanpa mempertimbangkan sudut pandang yang lebih komprehensif. Dari sudut pandang ekonomi misalnya Keberadaan sound horeg, justru memberi manfaat nyata, khususnya dalam aspek hiburan masyarakat dan perputaran ekonomi lokal. Dampak positif ini terlihat, misalnya, pada pemberdayaan pelaku UMKM, penjualan tiket parkir, penyewaan atribut, hingga meningkatnya transaksi dalam berbagai sektor. Dengan kata lain, ada gejolak pertumbuhan ekonomi yang signifikan dari keberadaan sound horeg..

Fenomena & Pembahasan

Sound horeg telah menjadi fenomena yang memecah perhatian publik. Meski hiburan ini membangkitkan antusiasme masyarakat serta membuka peluang ekonomi, Namun di sisi lain, dentuman bass yang sangat keras dan menggema sering kali mengganggu kenyamanan publik, bahkan berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan.

Berdasarkan kajian medis, suara dengan intensitas lebih dari 85 desibel dapat menyebabkan gangguan pendengaran, stres, dan masalah tidur. Di samping itu, suara yang terus-menerus dalam waktu lama juga dapat berakibat pada peningkatan tekanan darah dan gangguan psikologis lainnya[1].

Grafik hubungan tingkat tekanan suara (dB) dengan Frekuensi (Hz’kHz)

📊 Grafik Hubungan Tekanan Suara (dB) vs Frekuensi (Hz) dalam Pendengaran Manusia Grafik ini menggambarkan bagaimana sensitivitas telinga manusia terhadap bunyi pada berbagai frekuensi (20 Hz – 20.000 Hz) dan tingkat tekanan suara (0 dB – 130 dB). Grafik ini dikenal sebagai kurva kontur kenyaringan sama (equal-loudness contours) atau kurva Fletcher-Munson/Robinson-Dadson.

🔍 Penjelasan Kurva Kenyaringan

Frekuensi (Hz)Sensitivitas TelingaTekanan Suara Minimum (dB)Keterangan
20-100 HzRendah60 dB – 80 dBButuh tekanan tinggi agar terdengar
250-4000 HzTinggi0 dB – 20 dBArea paling sensitif, cocok untuk percakapan
8.000-20.000 HzMenurun30 dB – 60 dBSensitivitas menurun di frekuensi tinggi
  • Telinga manusia paling sensitif di sekitar 1.000–4.000 Hz, karena di sinilah frekuensi percakapan terjadi.
  • Di frekuensi rendah (<100 Hz) dan tinggi (>10.000 Hz), dibutuhkan tekanan suara lebih besar agar terdengar sama kerasnya.

⚠️ Dampak Tekanan Suara Tinggi

  • >85 dB: Risiko gangguan pendengaran jika terpapar lama.
  • >120 dB: Ambang nyeri, bisa merusak gendang telinga.
  • 130 dB: Berbahaya bahkan dalam durasi singkat.

            Selain pemeparan dari sudut pandang kesehatan, penulis juga berkesempatan untuk berdialog langsung dengan sejumlah orang dan teman yang memiliki kompetensi di bidang hukum, baik hukum positif maupun hukum sosial kemasyarakatan. Dari hasil diskusi itu dan kajian literatur, diperoleh sebuah regulasi/aturan bahwa ;

                Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996, kawasan permukiman tidak boleh melebihi 55 desibel (dB(A)) pada siang hari dan 45 dB pada malam hari (Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jika batas ini melebihi, kondisi tersebut dianggap sebagai polusi suara. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 718 Tahun 1987 juga membagi wilayah menjadi zona dengan batas kebisingan yang berbeda, misalnya 45–55 dB untuk kawasan permukiman (Zona B).

                Penggunaan pengeras suara yang intensitas suara yang dihasilkan telah diatur didalam Perda Kabupaten Malang Nomor 11 Tahun 2019. Pada pasal 11 dalam Perda ini menetapkan batas maksimal tingkat kebisingan yang diperbolehkan di lingkungan permukiman, yaitu tidak melebihi 60 desibel pada siang hari dan 55 desibel pada malam hari. Selain itu, pelaku usaha sound horeg diwajibkan memiliki izin operasional dan mematuhi standar teknis penggunaan alat agar tidak mengganggu ketertiban umum dan kesehatan masyarakat.

            Namun, dalam sebuah jurnal penelitian yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang yang meneliti Tingkat kesadaran hukum pelaku usaha sound gigantic, diungkapkan bahwa para pelaku usaha sound horeg menilai batas maksimal kebisingan 60 desibel yang ditetapkan pemerintah terlalu rendah dan kurang realistis. Alasannya, kegiatan sound horeg secara inheren mengandalkan intensitas suara tinggi sebagai daya tarik utamanya. Berdasarkan hasil pengukuran langsung di lapangan, tingkat kebisingan yang dihasilkan dapat mencapai 120–140 desibel, angka yang secara signifikan melampaui batas ambang kenyamanan pendengaran manusia pada umumnya[2].

Secara sosial, banyak pengamat berkesimpulan bahwa sound horeg sering kali menimbulkan ketidaknyamanan bagi mereka yang tidak terlibat langsung dalam acara[3]. Misalnya para lansia, anak-anak, dan individu dengan kondisi kesehatan tertentu menjadi pihak yang paling terdampak. National Institute on Deafness and Other Communication Disorders Pada Tahun 2022 menyatakan bahwa paparan suara berintensitas tinggi dapat menyebabkan Noise-Induced Hearing Loss (NIHL)[4]. Di banyak daerah, termasuk desa-desa di Jawa Timur, banyak keluhan terkait gangguan akibat suara berlebihan yang mengganggu kedamaian lingkungan. Bahkan beberapa kejadian tragis didaerah lumajang jawatimur, seperti kematian akibat serangan jantung, telah dilaporkan sebagai akibat dari paparan suara yang terlalu ekstrem, bagaimana tidak

Sampai di sini, kita mulai mendapatkan gambaran mengenai batas-batas yang seharusnya dijaga oleh manusia, agar perilaku kita tetap selaras dengan kapasitas, kemampuan serta regulasi dan etika sebagai manusia. 🙂

Dentuman Ekonomi & Kesejahteraan Masyarakat

Lantas bagaimana dengan fenomena pertumbuhan ekonominya, bukankah Sound Horeg hal yg menguntungkan untuk perputaran ekonomi masyarakat lokal?

            Ya.. Tidak dapat disangkal bahwa adanya fenomena sound horeg ini juga mendatangkan manfaat secara ekonomi. Menurut teory analisisa dampak ekonomi, dalam sebuah konsep pengaruh festival mencakup efek langsung, tidak langsung, dan induksi; Efek Langsung artinya berasal dari pengeluaran pengunjung yang tidak hanya terbatas pada penjualan tiket dan parkir atau konsumsi di lokasi, tetapi juga mencakup belanja di usaha sekitar, seperti warung, genset, dan penyedia atribut dsb. Efek Tidak Langsung dan Induksi muncul ketika uang yang dibelanjakan beredar lagi di ekonomi lokal, misalnya pemasok bahan makanan memperoleh pesanan lebih banyak sehingga meningkatkan pendapatan karyawannya, dsb.

            Satu contoh yg hampir sama Studi LPEM UI yang dikutip media Tempo.com menegaskan besarnya skala dampak Coldplay, (diluar konteks Coldplay banyak di tentang dan di anggap haram karena mendukung kaum LGBT) tetapi selama perayaan festifal itu berlangsung enam hari lamanya di Singapura mampu menghasilkan perputaran ekonomi baru sekitar Rp 4,6 triliun dengan nilai tambah (PDB) Rp 2,8 triliun dan tambahan pendapatan rumah tangga pekerja Rp 1,67 triliun. Di Indonesia, konser yang sama namun hanya satu hari masih menciptakan output baru sekitar Rp 843,29 miliar dengan PDB Rp 434,65 miliar dan tambahan pendapatan rumah tangga Rp 150,83 miliar.

            Data ini menunjukkan betapa besarnya dampak finansial dari acara musik besar dan dalam skala lebih kecil, pawai sound horeg berpotensi menjadi katalis ekonomi lokal. Berbagai usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) seperti pedagang makanan, penyewaan kursi, parkir, hingga pengrajin suvenir mendapat limpahan pelanggan ketika ribuan orang datang menonton pawai. Bagi pemerintah daerah, kegiatan ini menjadi sarana promosi wisata murah meriah yang menghidupkan sektor kuliner, dan transportasi.

_____________________

Baca Juga

_____________________

            Perputaran uang inilah yang kemudian memunculkan dilema. Di satu sisi, fenomena sound horeg menyediakan ladang rezeki bagi pelaku usaha kecil dan membuka lapak penghasilan informal. UMKM mendapat kesempatan memperkenalkan produk, memperluas jaringan, dan meningkatkan pendapatan. Di sisi lain, tanpa pengaturan yang jelas, kebisingan yang dihasilkan berpotensi merusak pendengaran masyarakat, mengganggu tidur, serta memicu stres. Tragedi seperti pengrusakan fasilitas, infrastruktur, gangguan pendengan, kecelakaan, dan bahkan kematian. mengingatkan bahwa aspek keselamatan sering diabaikan demi mengejar ambisi.

            Oleh karena itu, membangga-banggakan sound horeg karna dentuman ekonominya juga kuat, tidak berarti kita harus menutup mata terhadap kesejahteraan dan kenyamanan bersama, Penguatan regulasi, misalnya pembatasan desibel, Sertifikasi alat, dan perizinan perlu ditegakkan agar toh meskipun tetap dilaksanakan, minimal ada unsur aman didalamnya.

Bagaimana Fiqih Berkomentar?

            Dalam aspek fiqih , Islam mengajarkan pentingnya menjaga ketenangan dan kesejahteraan publik. Rasulullah SAW menekankan pentingnya memelihara kenyamanan dan menghormati hak-hak orang lain untuk hidup tenang. Salah satu hadits menyebutkan bahwa setiap tindakan yang mengganggu ketentraman orang lain adalah perbuatan yang tidak dibenarkan dalam Islam.

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ، عَنْ يَحْيَىٰ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَىٰ بْنِ حِبَّانَ، عَنْ لُؤْلُؤَةَ، عَنْ أَبِي صَرْمَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ قَالَ: “مَنْ ضَارَّ أَضَرَّ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ”

     “Telah menceritakan kepada kami Qutaybah bin Sa’id, telah menceritakan kepada kami Layth, dari Yahya bin Sa’id, dari Muhammad bin Yahya bin Hibban, dari Lu’lu’ah, dari Abu Sarmah, dari Rasulullah, beliau bersabda: ‘Barang siapa yang menyakiti (atau mengganggu) orang lain, maka Allah akan menyakitinya, dan barang siapa yang membuat kesulitan bagi orang lain, maka Allah akan memberinya kesulitan.'”[5]

اُدۡعُوۡا رَبَّكُمۡ تَضَرُّعًا وَّخُفۡيَةً​ ؕ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الۡمُعۡتَدِيۡنَ​ ۚ‏

     “Berdoalah kepada Tuhan kalian dengan rendah hati dan suara lembut; sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Surah al-A‘raf (7):55)[6]

وَفِي الصَّحِيحَيْنِ، عَنْ أَبِي مُوسَىٰ الْأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: رَفَعَ النَّاسُ أَصْوَاتَهُمْ بِالدُّعَاءِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَرْبِعُوا عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ؛ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلا غَائِبًا، إِنَّ الَّذِي تَدْعُونَهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ”

     “Dalam dua Sahih (Sahih Bukhari dan Sahih Muslim), dari Abu Musa al-Ash’ari r.a. berkata: ‘Ketika orang-orang mengangkat suara mereka dalam doa, Rasulullah berkata: “Wahai manusia, berlembutlah dengan diri kalian; sesungguhnya kalian tidak sedang memanggil orang yang tuli atau yang tidak hadir, sesungguhnya Tuhan yang kalian panggil adalah Maha Mendengar lagi Dekat.”‘”[7]

            Dalam konteks ini, sangat jelas bahwa suara keras yang mengganggu ketenangan masyarakat dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang mengajarkan untuk menjaga harmoni antar sesama makhluk hidup dan lingkungan.

Menariknya, dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin Sayyid Abdurrahman Ba‘alawi menyebutkan  bahwa  meskipun  membaca  Al-Qur’an  di masjid adalah ibadah,  namun  ketika  dilakukan dengan suara keras yang mengganggu orang yang shalat, tidur, atau ibadah lain di masjid, maka statusnya berubah menjadi makruh, bahkan bisa haram jika mengandung mudarat yang dominan. Dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa manfaat suatu aktivitas harus ditimbang dengan potensi kerusakannya  (maṣlaḥah wa mafsadah)[8];

لَا يُكْرَهُ فِي الْمَسْجِدِ الْجَهْرُ بِالذِّكْرِ بِأَنْوَاعِهِ، وَمِنْهُ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ إِلَّا إِنْ شَوَّشَ عَلَى مُصَلٍّ أَوْ آذَى نَائِمًا، بَلْ إِنْ كَثُرَ التَّأَذِّي حَرُمَ فَيُمْنَعُ مِنْهُ حِينَئِذٍ.

“Zikir dan sejenisnya antara lain membaca Al-Quran dengan lantang di masjid tidak makruh kecuali jika mengganggu konsentrasi orang yang sedang sembahyang atau mengusik orang yang sedang tidur.

            Jika suara bacaan Al-Qur’an yang agung saja bisa dihukumi makruh atau haram karena mengganggu, maka lebih-lebih yang tidak membawa nilai ibadah, melainkan lebih dekat kepada hiburan yang memicu maksiat seperti joget-jogetan erotis para biduannya.

ٱلْوُقُوفُ لَيْلَةَ عَرَفَةَ أَوِ ٱلْمَشْعَرِ ٱلْحَرَامِ، وَٱلِٱجْتِمَاعُ لَيَالِيَ ٱلْخُتُومِ آخِرَ رَمَضَانَ، وَنَصْبُ ٱلْمَنَابِرِ وَٱلْخُطَبُ عَلَيْهَا، فَيُكْرَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ ٱخْتِلَاطُ ٱلرِّجَالِ بِٱلنِّسَاءِ بِأَنْ تَتَضَامَّ أَجْسَامُهُمْ، فَإِنَّهُ حَرَامٌ وَفِسْقٌ

     “Berkumpul pada malam Arafah atau di Muzdalifah, berkumpul pada malam-malam khataman Al-Qur’an di akhir bulan Ramadhan, serta mendirikan mimbar dan berkhutbah di atasnya. Semua itu hukumnya makruh selama tidak terjadi percampuran laki-laki dan perempuan hingga tubuh-tubuh mereka saling bersentuhan. Namun apabila terjadi hal demikian, maka hukumnya adalah haram dan termasuk kefasikan.”[9]

Dari sudut pandang fiqih, hiburan yang menyebabkan kerusakan fisik dan sosial, serta mengabaikan kewajiban agama, dan mengandung maksiat seperti melalaikan salat atau menimbulkan syahwat, dianggap sebagai perbuatan yang harus dihentikan.

            Al-Faqih  Abdillah  Bin  Muhammad  Baqsyir  Al-Hadromy dalam Qalā’id  al-Kharā’id, menjelaskan  bahwa  setiap  tindakan  yang  membahayakan  orang  lain,  baik  secara  fisik  maupun psikis,  wajib  dicegah.  Bahkan,  bila  ada  bentuk  permainan  atau  suara  gaduh  yang  mengganggu ketenangan warga, maka menjadi kewajiban bagi para pemimpin, orang tua, dan siapa saja yang mampu,  untuk  menegur  dan  menghentikannya.  Jika  tidak,  mereka  yang  membiarkannya  turut menanggung  dosa  karena  membiarkan  kemungkaran  terus  berlangsung.

Secara realitas sound horeg tidak hanya mengajak pendengarnya untuk berjoget dengan gerakan yang dalam kajian fiqih sudah pasti dilarang. Musik yang didengarkan melalui sound horeg kerap  kali  menyebabkan  pendengarnya  lalai, mengganggu ketenangan orang lain, bercampurnya laki2 dan perempuan, serta kemaksiatan lainnya.

Kesimpulan

            Sebagai penutup, tulisan ini hendak menegaskan kembali bahwa fenomena sound horeg bukan sekadar persoalan hiburan. Dentuman musik yang membahana tak hanya memantik euforia, tetapi juga membawa dampak sosial, kesehatan, dan spiritual yang harus diakui secara jujur. Berbagai kisah tragis di lapangan menunjukkan rapuhnya struktur pengamanan dan lemahnya pengawasan, sementara temuan medis memperingatkan kita akan bahaya kebisingan terhadap pendengaran, kualitas tidur, hingga risiko penyakit serius. Suara lantang yang melampaui ambang batas bukanlah bentuk syiar, melainkan potensi kedzaliman yang menghancurkan keseimbangan lingkungan dan menafikan hak-hak mereka yang ingin hidup tenang.

manfaat ekonomi itu perlu ditempatkan dalam kerangka etika yang lebih luas. Jika pertumbuhan yang dikejar justru mengorbankan ketenteraman masyarakat, merusak moralitas, serta mengabaikan ajaran agama dan hukum yang berlaku, maka kita sedang berdagang di atas penderitaan sesama. Oleh karena itu, kita dituntut untuk bijak: memaknai hiburan sebagai ruang gembira tanpa melupakan batas-batas kemanusiaan. Menikmati dentuman musik tidak boleh merampas hak orang lain atas kesehatan dan kedamaian, apalagi menjerumuskan ke dalam maksiat dan kezaliman.

Refrensi

PMC. Interplay between noise-induced sensorineural hearing loss and hypertension: pathophysiological mechanisms and therapeutic prospects. National Center for Biotechnology Information. Diakses 13 Agustus 2025. https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC12009814/

Tingkat Kesadaran Hukum Pelaku Usaha Sound Gigantic di Kecamatan Gondanglegi: Studi pada Usaha Sound Horeg, tesis tidak diterbitkan, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2025, https://etheses.uin-malang.ac.id/76735/

Damayanti, G. (2025). Sound Horeg Parade: A Cultural Legal Perspective.
In: International Journal of Humanities Education and Social Sciences (IJHESS),4(5) 2316–2322. https://doi.org/10.55227/ijhess.v4i5.1498

National Institute on Deafness and Other Communication Disorders. (2022). Noise-induced hearing loss. National Institutes of Health. https://www.nidcd.nih.gov/health/noise-induced-hearing-loss

QS. Al-A’raf:55. https://quran.com/id/tempat-tempat-tinggi/55-67

 الامام أحمد بن حنبل. مسند الإمام أحمد بن حنبل. دار إحياء التراث العربي، 1414 هـ / 1993 م، 9 أجزاء. تم الاسترجاع من https://isla.mw/1atkjp

تفسير القرآن العظيم للإمام ابن كثير (ت: 774هـ)، الطبعة الرقمية – مكتب الشاملة الإلكترونية صفحة/رقم المرجع: 8473 – حاشية رقم 1692. shamela.ws/book/8473/1692

الفقه عبد الله بن محمد باقشير الحضرمي الشافعي، «قلائد الخرايد وفرائد الفوائد»، الجزء الثاني (جدة: دار القبلة للثقافة الإسلامية، ١٩٩٠م)، ص ٣٥٦

الشيخ ابو بكر شطا. حاشية إعانة الطالبين. ج 1، ص 313. المكتبة الشاملة. تم الاسترجاع من https://shamela.ws/book/963/307

سيد عبد الرحمن باعلوي، بغية المسترشدين (بيروت: دار الفكر، 1994)، ص 108، ‏https://thahabi.org/book/14762/read/125


[1] PMC. Interplay between noise-induced sensorineural hearing loss and hypertension: pathophysiological mechanisms and therapeutic prospects. National Center for Biotechnology Information. Diakses 13 Agustus 2025. https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC12009814/

[2] Tingkat Kesadaran Hukum Pelaku Usaha Sound Gigantic di Kecamatan Gondanglegi: Studi pada Usaha Sound Horeg, tesis tidak diterbitkan, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2025, https://etheses.uin-malang.ac.id/76735/

[3] Damayanti, G. (2025). Sound Horeg Parade: A Cultural Legal Perspective.
In: International Journal of Humanities Education and Social Sciences (IJHESS),4(5) 2316–2322. https://doi.org/10.55227/ijhess.v4i5.1498

[4] National Institute on Deafness and Other Communication Disorders. (2022). Noise-induced hearing loss. National Institutes of Health. https://www.nidcd.nih.gov/health/noise-induced-hearing-loss

[5]الامام أحمد بن حنبل. مسند الإمام أحمد بن حنبل. دار إحياء التراث العربي، 1414 هـ / 1993 م، 9 أجزاء. تم الاسترجاع من https://isla.mw/1atkjp

[6] QS. Al-A’raf:55. https://quran.com/id/tempat-tempat-tinggi/55-67

[7] تفسير القرآن العظيم للإمام ابن كثير (ت: 774هـ)، الطبعة الرقمية – مكتب الشاملة الإلكترونية صفحة/رقم المرجع: 8473 – حاشية رقم 1692. shamela.ws/book/8473/1692

[8] سيد عبد الرحمن باعلوي، بغية المسترشدين (بيروت: دار الفكر، 1994)، ص 108، ‏https://thahabi.org/book/14762/read/125

[9] اعانة الطالبين على حل الفاظ فتح المعين – باب الصلاة (المكتبة الشاملة)، المقطع المشار إليه: الوقوف ليلة عرفة … فإنه حرام وفسق. الرابط: shamela.ws/book/963/307

Author

Alumni STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang