Posted in

Rumus Matematis Antara Kelahiran dan Maksimal Umur Anak Rodo’ di Kalangan Fuqaha

Ada dua ayat yang diangkat ke permukaan dalam perdebatan masing-masing fuqaha (ulama mazhab) perihal keabsahan umur anak yang—ketika menyusu kepada selain ibunya—disebut mahram rodo’: pertama dalam Surah Luqman ayat 14, dan kedua dalam Surah Al-Ahqaf ayat 15.

Sebagai penyempurna tulisan ini, dan sebagai implementasi dari kajian tafsir yang sifatnya mengkaji teks, penulis mencoba memaparkan kedua ayat tersebut:

Luqman ayat 14:

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

Al-Ahqaf ayat 15:

وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ إِحۡسَٰنًاۖ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ كُرۡهٗا وَوَضَعَتۡهُ كُرۡهٗاۖ وَحَمۡلُهُۥ وَفِصَٰلُهُۥ ثَلَٰثُونَ شَهۡرًاۚ

Dari kedua ayat ini lahir dua aliran fikih: pertama, aliran fikih yang berpendapat dengan dalil Surah Luqman ayat 14, sebagaimana disampaikan oleh mazhab Maliki, Syafi’i, dan Ahmad; kedua, aliran fikih yang berpendapat dengan dalil Surah Al-Ahqaf ayat 15, yang diprakarsai oleh mazhab Abu Hanifah.


Tafsir Matematis Tiga Ulama Mazhab

Jumhur fuqaha (Syafi’i, Maliki, dan Ahmad) memaparkan sebuah analisis yang menarik. Ketiga mazhab ini memiliki satu pemahaman atas makna ḥamlu dan fiṣāl. Ketiganya menafsirkan kata ḥamlu sebagai ibu yang hamil, sementara fiṣāl adalah proses disapih dalam penyusuan anak.

Analisis linguistik ini tidak hanya diterapkan ketika memahami kata ḥamlu dan fiṣāl dalam Surah Luqman ayat 14, tetapi juga ketika memahami ayat yang terdapat dalam Surah Al-Ahqaf ayat 15.

Berangkat dari pemahaman linguistik tersebut, ayat dalam Surah Luqman ayat 14 menjadi dalil matematis atas batas maksimal umur seorang anak menyusu kepada perempuan selain ibu kandung (yang selanjutnya disebut sebagai anak rodo’) adalah maksimal dua tahun. Dengan pengertian lain, apabila anak menyusu ketika dalam keadaan umur lebih dari dua tahun, maka tidak ada konsekuensi hukum disebut mahram rodo’.

Bahkan, apabila dianalisis lebih jauh, pendapat yang menjadikan Surah Luqman ayat 14—sebagai dalil maksimal umur 2 tahun seorang anak disebut anak rodo’—justru menguatkan Surah Al-Ahqaf ayat 15 yang menyebut rentang umurnya 30 bulan atau 2,5 tahun.

Hal ini dengan menjadikan huruf wau dalam kata ḥamluhu wa fiṣāluhu sebagai wau ‘athaf yang berfaidah li-mutlaq al-jam‘.

Perhitungannya adalah: 30 bulan dikurangi masa tersingkat kehamilan yaitu 6 bulan = 24 bulan. Sisa waktu ini disebut masa menyusui. Jika 24 bulan menyusui ini dikonversi menjadi tahun, maka sisanya adalah 2 tahun.

Jika dianalogikan dengan rumus matematika, maka rumusnya adalah:
M = (H + S) − Hmin
yang berarti total masa hamil dan menyusui dikurangi masa tersingkat kehamilan.

Rumus sederhananya:
M = 30 − 6 = 24 bulan
Sementara 24 bulan = 2 tahun, sebagaimana dijelaskan dalam Surah Luqman ayat 14.


Pola Analisis Abu Hanifah terhadap Surah Al-Ahqaf Ayat 15

Sebagaimana telah disebutkan di dalam pengantar tulisan ini, Imam Abu Hanifah memiliki pendapat sendiri yang berbeda dengan ketiga ulama mazhab lainnya. Surah Luqman tidak menjadi dalil sebagai barometer maksimal umur seorang anak yang disebut rodo’. Ayat yang menjadi dasar argumentasi adalah Surah Al-Ahqaf ayat 15, yang berarti umur maksimal seorang anak yang nantinya disebut rodo’ adalah umur 30 bulan atau 2,5 tahun.

Pendekatan yang digunakan Abu Hanifah terhadap Surah Al-Ahqaf adalah aspek kebahasaan dan logika. Ada dua argumentasi yang dipakai Abu Hanifah untuk menguatkan pendapatnya, yaitu:

  1. Argumentasi pertama: memaknai kata ḥamlu dalam Surah Al-Ahqaf sebagai ibu yang menggendong anak, bukan bermakna seorang ibu yang di dalam perutnya terdapat janin. Dari argumentasi ini, menurut Abu Hanifah, dalam Surah Al-Ahqaf tersebut seolah-olah Allah berfirman: “Seorang ibu sesudah melahirkan menggendong anaknya agar supaya menyusui dengan rentang waktu selama 30 bulan.” Dengan demikian, bagi Abu Hanifah, kata ḥamlu dan fiṣāl dalam ayat ini adalah satu kesatuan.
  2. Argumentasi kedua: Abu Hanifah menguatkan pemahaman pertamanya tadi dengan logika bahasa sehari-hari. Misalnya, seseorang mengatakan: “Saya punya utang pada Fulan A dan Fulan B sejumlah 100.000 dalam rentang waktu satu tahun.” Maka dapat dipahami bahwa satu tahun tersebut merupakan masa rentang waktu dari masing-masing utang kepada Fulan A dan Fulan B, dengan tahun yang sama.

Demikian pula dalam Surah Al-Ahqaf ayat 15. Karena Abu Hanifah berangkat dari pemahaman bahwa ḥamlu bermakna digendong, maka maksudnya adalah menggendong (ḥamlu) dan menyapih (fiṣāl) seorang anak, masing-masing selama 30 bulan, dalam waktu yang sama. Mudahnya, saat seorang ibu menggendong, umumnya dilakukan dalam keadaan yang sama sambil menyusui. Jika dikonversi ke tahun berarti seorang anak disebut rodo’ apabila digendong dan menyusui saat umur maksimal 2 ½ tahun.


Kesimpulan

Dari kajian terhadap Surah Luqman ayat 14 dan Surah Al-Ahqaf ayat 15 dapat dipahami bahwa jumhur ulama (Syafi’i, Maliki, dan Ahmad) menetapkan masa penyusuan seorang anak sehingga disebut anak rodo’ maksimal menyusu saat umur 2 tahun atau 24 bulan, sedangkan Abu Hanifah berpendapat masa maksimal umur seorang anak, maksimal 30 bulan atau 2 ½ tahun.

Perbedaan ini lahir dari cara pandang yang berbeda dalam menafsirkan istilah ḥamlu dan fiṣāl, sekaligus menunjukkan keluasan penafsiran Al-Qur’an dalam menetapkan hukum penyusuan bagi batas maksimal umur seorang anak yang memiliki konsekuensi mahram rodo’.

Dari uraian ini memberikan isyarat kecakapan fuqaha yang tidak saja kuat dalam aspek ubudiyah tetapi kuat dalam mengemukakan logika dan perhitungan matematika. Faqih berarti tidak saja cerdas dalam aspek spiritual, tetapi kekuatan logika dan ahli dalam multidisiplin keilmuan.

Tabik

(Al-Shabuni, Rowaiul Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam, Maktabah Al-Ghazali, Juz 1, h. 244)

Author

Mahasiswa Pascasarjana UINSA Surabaya