Permintaan Ustadz Imron
Cerpen: Ahmad Sholihin
Derap langkah itu mengingatkanku pada sebuah malam. Tentang gemuruh tapak kaki yang saling melangkah terburu-buru agar cepat sampai ke asrama. Sedangkan aku masih mencari sepasang sandalku yang hilang, entah kemana, padahal sebelum masuk kelas aku menaruh di tepi tangga tepat di pinggir jendela nomer dua. Tapi ah, “Masak iya dighosob teman?” Batinku lirih mulai kebingungan.
Setelah beberapa lama tidak ketemu, aku putuskan kembali ke asrama. Cekeran. Aku tidak mau terlambat gerak batin di masjid. Apalagi yang akan memimpin malam ini adalah Pengasuh sendiri. Aku harus cepat-cepat sampai ke asrama, mengambil wudu’ dan langsung ke masjid.
“Mad,,, Ahmaaad…” Teriak seseorang seperti memanggil namaku dari belakang.
Aku menoleh ke asal suara tadi, ternyata Mardi sahabatku.
“Ada apa Di?” Tanyaku.
“Kata Ustadz Imron, nanti setelah gerak batin. Kamu disuruh menemui beliau,” ucap Mardi dan berlari ke arah masjid setelah mengucapkan salam.
Kepalaku seperti berdaun tanda tanya. Tak seperti biasanya Ustadz Imron menyuruhku untuk menemui beliau. Terlebih pada waktu seperti saat ini. Ini ‘kan diwaktu jam istirahat. Di pesantren ini, ketika sudah rampung gerak batin semua Santri harus tidur. Apabila ada santri yang ketahuan tidak tidur. Besok harinya akan dita’zir menulis istighfar seribu kali di depan masjid.
Temanku Samsul, tadi siang dita’zir gegara tadi malam masih menghafal bait al-Fiah Ibnu Malik. Apalagi aku? Yang hanya ingin menemui Ustadz Imron.
Aku terus melangkah ke bilik asrama. Aku masih dirundung tanya, apakah aku harus menemui beliau? nanti kalo dita’zir bagaimana? Ah, pikiran berkecamuk tak tentu.
Ustadz Imron adalah wali kelasku ketika aku masih kelas 3 ibtidaiyah dulu. Aku bisa membaca kitab kuning karena ketelatenan beliau membimbingku. Apa iya aku tidak menghiraukan panggilan beliau? Lagi-lagi pikiranku kacau.
***
Setelah gerak batin di masjid selesai. Aku meminjam sandal kepada Mardi. Karena sandalku masih belum nongol juga.
Aku beranikan diri untuk menemui Ustadz Imron, meski kutahu besok aku akan dita’zir. Tak apalah dita’zir dari pada ilmuku yang diperoleh dari Ustadz Imron tidak barokah. Lebih baik dita’zir.
Suara kodok di pinggir sawah semakin nyaring di telinga. Aku lihat ke atas, tidak ada gemintang, pun bulan seperti enggan mau keluar. Hanya kerlap-kerlip layangan yang dihiasi lampu masih berpijar.
Aku terus menyusuri halaman sekolah Madrasah Tsanawiyah Diniyah. Kantor ustadz Imron ada di sebelah utaranya kantor madrasah.
“Assalamualaikum,,, Assalamualaikum,,, Ustadz…. Ustadz Imron..” aku menguluk salam sembari mengetuk pintu. Tidak lama kemudian pintu terkuak,
“Waalaikumsalam, silakan masuk, Mad.” Ustadz Imron mempersilakan aku masuk.
“Begini, Mad, pesantren kita akan menjadi tuan rumah dalam acara HALAQOH SASTRA DAN BUDAYA. kebetulan, yang aku ketahui dari sekian banyak santri di sini, kamu yang lebih suka menulis puisi. Puisi-puisimu pernah dimuat di media; seperti Al-Qolaam Media, bahkan sekaliber Koran Jawa Post Radar Semeru juga pernah memuat puisimu. Nah, sekarang aku cuma minta tolong padamu. Kamu bacakan tiga atau dua puisimu yang paling bagus di acara HALAQOH nanti, bisa kan?” Pinta Ustadz Imron seperti petir menyambar.
Dari awal aku tak menyangka akan diminta untuk membacakan puisi. Apalagi di acara HALAQOH seperti itu.
“Bagaimana Mad, bisa kan? Ayolah..!”
“Insyaallah, Ustadz.” Entah kata itu tiba-tiba keluar begitu saja tanpa minta izin padaku.
“Alhamdulillah,” syukur Ustadz Imron sembari menengadahkan tangannya.
***
Matahari mulai meninggi sebelah dada, aku yang baru turun mengaji Al-Qur’an di kelas, tiba-tiba Mardi sahabatku menghampiri.
“Gimana Mad, apa kata Ustadz Imron?” Tanya Mardi penasaran.
Mardi adalah sahabat kecilku dari rumah. Dulu kami suka mengetapel burung di sawah-sawah. Meski kami tidak pernah mendapati burung sama sekali. Tapi pada waktu itu kami sangat bahagia sekali,
“Woy, ditanya malah bengong,” tepuk Mardi menyadarkanku dari lamunan.
“Eh, engg…enggak..!” Jawakku sekenanya.
“Dak usah mengelak, Mad. Tak seperti biasanya kamu murung begitu setelah dipanggil Ustadz Imron. Emang diapain sih sama Ustadz Imron kok sampai galau segunung gitu?” tanya Mardi sembari cengengesan.
“Gak ada, Mardi…!” aku coba menyakinkan Mardi.
“Jangan-jangan…”
“Jangan-jangan apa?” aku hentikan langkahku sembari memandang muka Mardi. Mardi tertunduk. Malu.
“Gak jadi dah…!”
“Aneh,”
***
Waktu yang aku khawatirkan kini telah tiba. Suasana Gedung Aula sesak dengan audien. Para penyair sekabupaten Lumajang berjejer rapi di kursi depan. Kiai-kiai dari berbagai Pesantren juga turut hadir dalam acara Halaqoh Sastra dan Budaya ini. Benar-benar sebuah acara yang sangat luar biasa. Aku yang duduk di kursi barisan ketiga dibuat gemetar. Seketika aku nervious, sebab hanya baru kali ini akan membacakan puisi di depan penyair-penyair yang notabene sudah sangat mumpuni di bidangnya. Sedangkan aku hanya santri yang baru kemarin sore yang gemar menulis puisi.
aku menutup mata, membenamkan diri dalam sebuah tawasul kepada pengasuh, guru dan orang tua. Kata ustadz, Imron. Jika kita dalam keadaan sulit, hendaknya kita bertawasul kepada guru-guru agar dimudahkan segala yang menimpa.
“untuk acara selanjutnya kita akan mendengarkan pembacaan puisi dari penyair muda yang berbakat. Kepada Ahmad Averus, dipersilakan menaiki panggung kehormatan.” Suara pemandu acara telah memanggil namaku.
Aku langkahkan kaki menuju mimbar yang disediakan oleh panitia. Dengan bismillah aku beranikan diri membacakan satu puisi yang menurutku puisi terbaik dari semua puisi yang aku tulis.
“kemana lagi aku mencari keberadaan-Mu
Menunggu Ketika malam mulai mengenakan jubah hitamnya
Sedang diri-Mu tak jua kujumpa
Padahal sudah kubersimpuh
Menanti berlama-lama
Yaa Rohman..
Yaa Rohim…” aku bacakan puisi yang berjudul Mencari 99 nama Tuhanku yang jauh.
Puisi itu adalah puisi nama-nama yang ada di Asmaul Husna. Tanpa aku duga, para audien gemuruh bertepuk tangan. Aku juga tidak mengira bahwa ada salah satu penyair tiba-tiba menaiki mimbar dan bersalam denganku sembari mengucapkan selamat. Aku benar-benar tak mengerti. Membaca puisi ini aku benar-benar menghayati tanpa ada hambatan. Entahlah.. benar kata Ustadz Imron bahwa tawasul dapat mengubah segalanya.