Kebahagiaan : Sebuah Diskursus Tiga Filsuf, Imam Ghazali, Plato, dan Aristoteles
Kebahagiaan : Sebuah Diskursus Tiga Filsuf, Imam Ghazali, Plato, dan Aristoteles Serta Relevansinya dengan Kehidupan Modern
“Kenapa kau bertanya-tanya tentang kebahagiaan? Atau istilah lain dari rasa senang itu”
“mulanya, aku mencari sumber dari rasa senang itu, lalu, aku temukan rasa yang baik (aghatos) itu ketika aku berpikir, Ghazali”
“kita sudah membicarakan ini, ayolah, plato. Kebahagiaan adalah tindakan dan etika yang dilakukan manusia, bukan sekedar konsep berpikir”
Percakapan itu, bukan untuk Kembali merumuskan arti kebahagiaan, melainkan merefleksikan kembali tentang kebahagiaan itu.
Dimulai dari sebuah tesa yang menyatakan, apa tujuan dari kehidupan modern? Mengapa manusia dalam skala besar yang di sebut bangsa itu selalu mengejarnya? Bukankan kapasitas dan daya serap manusia berbeda? Jika memerlukan biaya besar, bukankah kekayaan ekonomi belum merata? Jika ada yang mampu mencapainya, apakah dia benar-benar siap sehingga tidak terjadi penyalahgunaan? Dan sederet pertanyaan lain yang timbul dari suatu kekhawatiran.
Tentu masing-masing manusia memiliki definisi tersendiri tentang arti kebahagiaan pada zaman ini, itu dikarenakan proses dan latar belakang yang bermacam-macam, baik itu profesi, lingkungan, Pendidikan, dan agama. Kenikmatan secangkir kopi dan sebatang rokok bisa jadi adalah arti dari kebahagiaan bagi beberapa orang yang tidak berniat memiliki rumah mewah dan besar dengan hidangan enak setiap harinya. Atau sebaliknya, nikmat kopi dan rokok, bukanlah sebuah kebahagiaan bagi seseorang dengan harta yang banyak yang hanya kegiatan tidur sebagai peristirahatannya.Realita ini adalah sebuah pertaruhan bagi tujuan dan maksud manusia modern untuk membangun akhir yang di inginkan. Kekacauan ini sudah mengglorifikasi Sebagian manusia yang tidak memiliki sandaran atau control diri, bagi beberapa orang hal itu di sebut dengan agama (religion).
“Aku pernah mengalami dua kali konflik batin” kata Ghazali
“Pertama, aku meragukan argumen dari semua ilmu yang aku pelajari, kedua, aku meresahkan manakah yang sebenarnya merupakan panggilan akhirat dan jeratan duniawi? Dalam kondisi chaos tersebut, aku memutuskan untuk pergi meninggalkan Baghdad menuju damaskus (489 H). ditahun yang sama, aku mengunjungi Baitul Maqdis dan tinggal disana, tentunya melakukan ritual sufistik, dan aku memberikan mereka buku karyaku, risalah al-qudsiyyah. Kemudian, aku berjalan menuju kota kalil (hebron) untuk berziarah ke makam nabi Ibrahim. Dan melanjutkan ke Makkah dan Madinah untuk melaksanakan haji. Lalu, aku kembali ke damaskus, merenung, dan menulis Ihya Ulum Ad-Din ”
”lalu, kapan kau temukan arti kebahagiaan?” ujar plato
“kebahagiaan, adalah sesuatu yang bisa di capai dengan perubahan kimiawi, bukan fisikawi. Maksudnya, bukan perubahan fisik atau jasad, melainkan non fisik, non-materi, perubahan jiwa, batin, pikiran,dan perasaan yang dapat menghantarkan manusia menuju kebahagiaan kebahagiaan sejati. Aku telah membahasnya secara rinci pada buku ku, Kimiyyah as Sa’adah”
“aku sudah tamat membaca bukumu, Ghazali, kau sebut di dalamnya bahwa manusia terdiri dari jasad dan ruh. Ruh berasal dari tempat suci yang kau sebut Lauhul Mahfudz, kemudian, ruh ditiupkan kedalam jasad untuk mendapatkan kebahagiaan, namun sayang, ia tidak Bahagia sebab menerima kebahagiaan jasad, dalam artian kebahagiaan materil adalah sesuatu yang tidak dia inginkan, benarkah begitu?”
“benar sekali, Aristoteles, namun untuk mendapatkan kebahagiaan versi ruh haruslah memenuhi empat asas, pengetahuan atas dirinya sendiri, Tuhan, Dunia, dan Akhirat”
Mendengar penjelasan itu, Plato, yang sedari awal sudah ‘mengosongan gelas’ dengan penuh kerendahan hatinya berkata:
“selama ini telah terjadi perbedaan di antara aku dan Aristoteles, aku menekankan pentingnya pikiran filosofis dan pengaturan akal untuk mencapai kehidupan yang baik dan bahagia. Sementara Aristoteles melihat kebaikan moral sebagai tujuan tertinggi dalam tindakan manusia, di mana kebahagiaan diperoleh melalui pembangunan karakter dan keutamaan moral yang baik”
“sekarang, semua pemahaman tentang apa itu kebahagiaan telah di satukan, oleh tiga pemikir yang sedang berkumpul saat ini” Aristoteles berguman
“oleh karena itu, ada sebuah adagium dalam islam yang oleh sebagian orang di anggap sebagai termint dari iman, yaitu kebenaran yang di amini oleh hati, di lakukan dengan badan, dan di ungkapkan dengan lisan. Jadi, untuk bahagia seseorang harus memiliki iman, karena, ia menduduki strata tertinggi dalam kehidupan”
Uniknya, tidak satupun dari ketiga pemikir besar itu memaksakan untuk memakai definisinya untuk dijadikan panduan dalam mencari kebahagian, atau, mereka juga tidak saling merasa benar, karena, sepanjang hidupnya mereka tidak mencari kebahagiaan, sebagaimana yang di dakwahkan oleh filsuf zaman sekarang, Dr. Fahruddin Faiz misalnya. Kebahagiaan justru menjauh Ketika ia di cari, dikejar, dan menjadi ambisi, ia akan menjadi parasit yang akan mengikis waktu dan tenaga orang-orang yang mengejarnya, seperti yang di simpulkan oleh imam Al-Ghazali, kebahagiaan adalah bagian kecil dari strata tertinggi yang kita sebut dengan IMAN.