Posted in

Ngaji Tafsir Rowā’i’ul Bayan: Pertemanan (Shadiq) Ala Kaum Sufi

Kaum sufi sering kali memiliki pandangan menarik dalam menafsirkan agama dalam kehidupan sosial. Merupakan anggapan yang keliru apabila ada yang mengatakan bahwa kaum sufi hanya berbuat baik kepada Allah dan menutup mata terhadap kebaikan di ruang-ruang sosial.

Misalnya, terdapat kisah menarik tentang Syaikh Hasan al-Bashri-seorang sufi tersohor dari kalangan Tabiin-yang dalam salah satu kisahnya memberikan syarat kepada seseorang yang ingin berteman dengannya.

Syaratnya adalah kesanggupan bahwa apa pun yang dimiliki oleh orang tersebut juga secara spontan dimiliki oleh Syaikh Hasan al-Bashri. Milikku adalah milikmu, dan demikian pula sebaliknya. Dalam cerita yang diangkat oleh Ahmad Dairobi dalam buku Sufi Berduit, dijelaskan bahwa orang tersebut tidak sanggup memenuhi syarat yang diajukan oleh al-Bashri.

⅞Cerita yang dikutip oleh Ahmad Dairobi ini memiliki korelasi yang cukup menarik dengan apa yang diangkat oleh Syaikh Ali ash-Shabuni dalam kitab tafsirnya Rowā’i’ul Bayan. Dalam tafsir Surah An-Nur ayat 61, ash-Shabuni mengangkat kisah para ulama sebagai contoh analisis tentang bagaimana dan seperti apa barometer seseorang yang disebut sebagai shādiqikum dalam Surah An-Nur, yang berarti “teman”.

Posisi Teman (Shadiq) dalam Al-Qur’an

Dalam Surah An-Nur ayat 61, ash-Shabuni mengungkapkan rahasia kata shādiq, yang berarti “teman”, dengan menukil kisah dari sebagian ulama yang memosisikan temannya bahkan lebih tinggi daripada sekadar saudara.

Suatu ketika, sebagian ulama ditanya: siapa yang lebih ia cintai, temannya atau saudaranya? Ulama tersebut menjawab, “Aku tidak mencintai saudaraku kecuali jika ia juga aku anggap temanku.”

Sebuah jawaban yang padat makna dan bernilai tinggi. Al-Qur’an yang diksinya penuh rahasia, ditambah dengan kisah yang disampaikan oleh ash-Shabuni sebagai sebuah tafsir, terasa seperti hidup dalam teks-teks keilmuan Islam yang tidak akan habis dalam melimpahkan kebijaksanaan dan kearifan kepada umat.

Jawaban dari ulama yang ditanya tersebut menggambarkan bahwa rasa cinta hanya diberikan kepada mereka yang telah dianggap sebagai teman dalam hidup. Sekalipun saudara biologis, jika tidak dianggap sebagai teman, maka tidak akan memiliki ruang cinta di dalam hati mereka.

Namun, dari cerita tersebut kita belum menemukan secara ucah seperti apa sebenarnya barometer seorang teman. Kisah ini sekadar menunjukkan bahwa teman memiliki posisi yang mulia dalam Islam. Mencintai seorang teman merupakan keniscayaan sebagai bagian dari kearifan dalam kehidupan sosial-keagamaan. Sebab itu, tidak heran ketika dalam Surah An-Nur ayat 61, kata shādiq disejajarkan dengan ābā’, ummahāt, ikhwān, akhawat, dan a’mām.

Bahkan di dalam ayat yang lain, seorang teman (shādiq) kelak di akhirat bisa memberikan syafaat. Tatkala Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surah Asy-Syu’ara’ ayat 100-101:

“Fa mã lanā min syāfiîn, wa lā shadīqin hamīm”. Artinya; “Tidak ada pemberi syafaat (penolong) untuk kami, dan tidak pula ada teman akrab.

Dari ayat ini, mafhum mukhālafah-nya ditafsirkan oleh para mufassir bahwa teman akrab (shadīqin hamīm) memiliki otoritas kelak di neraka Jahannam dalam memberikan syafaat.

Barometer Teman (Shadiq) dalam Al-Qur’an

Selain cerita tersebut, ash-Shabuni menambahkan kisah yang dialami oleh seorang sufi tersohor, Syaikh Hasan al-Bashri. Disebutkan bahwa sejumlah sahabatnya memakan makanan di rumahnya saat beliau sedang tidak berada di rumah. Menariknya, ketika al-Bashri mengetahui hal itu, ia justru bahagia dan berkata, “Inilah yang aku temukan dalam diri kalian.”

Penukilan kisah ini dalam tafsir Surah An-Nur ayat 61 membuka sebuah pola penting dalam mendefinisikan shādiq yang dimaksud dalam Al-Qur’an. Teman, dalam arti literal kata shādiq, memiliki hak yang setara dengan para kerabat biologis, manakala ada kerelaan tanpa batas dan tanpa sekat atas kepemilikan individu dari kedua belah pihak.

Teman yang disorot dalam Al-Qur’an pada Surah An-Nur ayat 61 bukan sekadar teman ngopi di kedai kopi. Konsep shādiq dalam Al-Qur’an adalah ketika telah menyatu dalam hati secara spontan, hingga beranggapan bahwa “hidupku adalah hidupmu, milikku adalah milikmu.” Oleh sebab itu, shādiq yang lantas memiliki posisi yang sama seperti aqarib (kerabat dekat)-dalam hal boleh masuk dan makan di rumah tanpa izin-adalah ketika telah ada unsur yakin atas kerelaan itu.

Kendati demikian, yang paling penting dipahami dari pembahasan kata shādiq ini adalah konsep “teman sejati premium” yang ditawarkan. Bahwa teman sejati pada hakikatnya adalah mereka yang hidup tanpa sekat, termasuk dalam hal harta. Jika seseorang masih menghitung-hitung apa yang telah kita ambil darinya, maka tingkat kesejatiannya dalam pertemanan masih pada level dasar. Sekali lagi, bukan berarti tidak sejati-hanya saja, tingkat kesejatiannya masih dasar.

Catatan Diskusi Tafsir Rowā’i’ul Bayan di PPK Alif Lâm Mīm Surabaya.

Author

Mahasiswa Pascasarjana UINSA Surabaya